![]() |
Tutur Jiwa karangan Sulhan Yusuf |
Rongga yang luas bisa berarti tidak
berisi sesuatu yang padat di dalamnya. Seperti lorong kereta api yang kosong
melompong agar gerbong kereta api mampu melewatinya. Lorong kereta api bukan
tempat yang diciptakan untuk pemberhentian kereta api, dia hanya jalan, tempat silih
berganti jalur laju kereta api. Dengan kata lain, tidak ada tempat tetap untuk
berhenti di dalam lorong. Kereta api diharuskan terus bergerak agar dapat
mengantar penumpangnya sampai ke tempat tujuan. Pengertian, dengan begitu,
tidak bisa ditemukan dalam lorong, di dalam rongga-nya.
Rongga yang luas hanya bermakna
tidak ada pengertian yang ajeg, yang fixed. Dalam Tutur Jiwa, bisa jadi semua
percakapan antara Sang Guru dan Han hanyalah lorong kosong tanpa maksud
apa-apa. Sang pembacalah gerbong kereta api-nya, dia bebas mengarahkan
percakapan-percakapan dalam Tutur Jiwa berdasarkan terminal-terminal peristiwa
yang dia jadikan tujuan kisahnya. Latar belakang kejadian dalam Tutur Jiwa hanyalah
kisah aksesoris. Kisah yang sebenarnya ada dalam setiap benak sang pembaca. Di situlah
sebenarnya arti rongga yang luas itu, mungkin.
Atau sebaliknya,”rongga yang luas” merupakan
kata lain dari tidak berdayanya Sulhan Yusuf ketika mengemas epigramnya ke
dalam satu frame utama dari mana dia melihat beragam kejadian yang dia tuliskan.
Dari seluruh kisah epigram yang dituliskannya, ini menandakan Sulhan Yusuf
ibarat ”disetir” beragam kejadian dengan sesekali mendomplengnya untuk
menyampaikan pesan, nasehat, dan petuah melalui percakapan yang dibuatnya.
Dugaan ini menjadi cukup beralasan apabila
mencermati banyaknya judul berulang yang bahkan ditulis di hari bersamaan atau di hari yang berturut-turut (Altruis, hal. 34 dan 35; Biji, hal. 51 dan 52; Buah, hal. 53 dan 54; Buku, hal. 54 dan 56; Cermin, hal. 62, 63 dan 64 dlsb). Dalam proses kreatif kepenulisan, judul yang berulang
juga menandai minimnya dimensi eksploratif dan kreatif itu sendiri sebagai satu
satuan dasar untuk menciptakan karya tulis.
Juga label ”literasi paragraf
tunggal” mesti digeledah karena secara sepihak dipakai Alwy Rachman untuk
menyebut gaya dan bentuk kepenulisan Sulhan Yusuf yang konon berbeda dari bentuk
dan gaya kepenulisan lainnya. Jika penggeledahan
dilakukan dengan sodoran pertanyaan, maka menjadi semisal: betulkah bentuk
kepenulisan Sulhan Yusuf dalam Tutur Jiwa-nya adalah bentuk kepenulisan yang
baru? Apakah memang betul-betul baru, dengan kata lain tidakkah ada kesamaan
dengan bentuk kepenulisan sastra lainnya selama ini? Jika memang tidak ada, mengapa
mesti disebut ”literasi paragraf tunggal”? Apakah ada pertimbangan khusus
dengan nama yang diberikan? Jika memangg ada, apakah pertimbanganya?
Pertanyaan di atas dapat juga
diperpanjang menjadi: apakah penyematan ”literasi paragraf tunggal” terhadap
Tutur Jiwa, hanya dipakai akibat bertolak dari ”prinsip perbedaan” semata? Artinya,
itu hanya sekadar identitas pembeda saja dengan bentuk kepenulisan yang pernah
ada selama ini, selain tanpa ada maksud apa-apa? Jika memang penyematan itu didasarkan atas
suatu prinsip “yang esensial”, apa indikatornya? Dengan apa kita mengenalnya?
Akan menjadi lebih panjang jika
pertanyaan-pertanyaan sebelumnya dilengkapi dengan beberapa pertanyaan baru
seperti: kepada apa literasi paragraf tunggal sebenarnya digolongkan, kepada
perilaku tulis Sulhan Yusuf atau teks-nya itu sendiri? Pertanyaan ini
didasarkan dari perbedaan antara perilaku tulis Sulhan yang memproduksi teksnya
melalui bentuk paragraf tunggal atau dengan isi teksnya itu sendiri yang
mengisahkan kejadian-kejadian tunggal di dalamnya?
Eksposisi terhadap gaya dan bentuk
tulisan Sulhan Yusuf kali ini mesti diangkat ke atas meja bedah yang mampu
menerangkan apa maksud dari ”literasi paragraf tunggal” itu, yang disebut Alwy
Rachman memberikan “rongga yang luas”? Suatu pelabelan yang belakangan membuat beberapa
pihak bertanya-tanya.
Dua pokok terakhir, berkaitan
dengan metode percakapan yang dipakai penulis ketika menghidupkan karakter Sang
Guru. Pertama apa arti dari percakapan yang disebutkan Alwy Rachman dalam
Pracita-nya? Meskipun sebenarnya tidak ada satu pun percakapan terbangun antara
Sang Guru dengan Han dalam Tutur Jiwa. Akan riskan jika mau menyebut percakapan
karena seluruh nasehat atau petuah Sang Guru ditanggapi tanpa ada percakapan
balik dari Han! Bukankah percakapan mensyaratkan komunikasi timbal-balik? Suatu
perbincangan yang disebut seimbang? Dalam hal ini, pasif-nya Han menerima ”segala”
masukan dari Sang Guru juga dapat dipersoalkan!
Kedua, ini hanya mempertegas dugaan
eike berkaitan dengan ”pengangkatan” Han menjadi Guru Han oleh Sang Guru (hal. 209).
Penisbahan Han menjadi Guru Han nampak aneh mengingat Sang Guru dan Han sebagai
tokoh fiktif merupakan dua orang yang sama, yakni sang penulis itu sendiri. Walaupun
itu terjadi dalam dunia teks Tutur Jiwa, gelagat berbahaya akan terasa jika itu
terjadi dalam realita sehari-hari: mirip seseorang yang menasbihkan dirinya
sendiri sebagai penguasa, dengan cara memilih dirinya sendiri? Bukankah itu terasa
janggal?