![]() |
Ilustrasi Kesyahidan Imam Husain di Karbala |
SIANG itu di sekitar rumah-rumah penduduk Madinah, pecah isak tangis seorang perempuan baya. Tanah di sebuah cawan, yang disimpannya tiba-tiba berubah berwarna merah menjadi darah.
Parasnya beruraikan air mata.
Isak pilu tangis itu, menandai suatu ramalan yang pernah ia
dengarkan melalui mulut mendiang suaminya. Suatu pesan penting seorang Rasul terakhir.
Di suatu padang nun jauh dari rumahnya pesan itu
akhirnya terjadi juga: Seorang pemuda cucu kesayangan Nabi Terakhir telah gugur dikepung ratusan pasukan berkuda.
***
Ummu Salamah
menemukan suaminya dalam keadaan resah. Sang Nabi disebutnya ”berbaring untuk
tidur, kemudian bangun kembali dalam keadaan resah, berbaring kembali lalu
bangun kembali.” Seperti ada yang tak bisa didamaikan dalam jiwa manusia suci
itu. Ada sebongkah tanah dalam genggaman Sang Nabi yang tengah gelisah.
”Apa yang membuatmu gelisah ya
Rasul Allah?”
”Baru saja Jibril datang kepadaku…Simpanlah tanah ini. Nanti, ketika cucuku Husein terbunuh di Karbala, kau akan
melihat tanah ini berubah menjadi darah”.
***
”Oh, zaman.
Alangkah buruk engkau sebagai
teman.
Betapa banyak peristiwa sedih telah
terjadi.
Pada pagi dan petang hari.
Peristiwa-peristiwa yang menimpa
para sahabat
yang menuntut balas terbunuhnya
keluarga.
Dan engkau, wahai zaman, tidak puas
dengan pengganti
menuntut terus tiada henti.
Sesungguhnya, segala urusan kembali
pada Yang Maha Esa.
Semua makhluk hidup menempuh jalan
itu juga.”
Suara parau pemuda itu
melantunkan syair di malam sebelum ia menjemput kematian. Malam-malam itu
adalah malam kepiluan.
Malam semakin larut. Rombongan
kecil keluarganya terisak-isak berurai kesedihan. Siapa mengira, malam itu
adalah malam terakhir orang yang paling mereka cintai.
***
”Akan kupenuhi kantongku dengan
emas dan perak
Sebagai ganjaran membunuh raja
tanpa mahkota
Seorang yang pernah sembahyang pada
dua kiblat
Berasal dari keturunan manusia
termulia
Akulah pembunuh orang terbaik, ayah
bundanya...”
Pasca 10 muharam, di Kufah, setelah
bersyair seseorang menyerahkan kepala pemuda yang sering kali dikecup Sang Nabi
itu kepada Ubaidillah bin Ziyad. Bersamaan dengan kepala-kepala keluarga dan
sahabatnya, kepala cucu Sang Nabi itu tidak lagi bergerak sama sekali. Tubuhnya
ditinggal sendiri di padang Nainawa.
***
Ia meminta izin agar kepala pemuda itu dibawa masuk ke dalam biara. Ia bopong kepala itu dari rombongan
pasukan yang sedang beristirahat. Ia bersihkan kepala itu memberikan wewangian setelah membilas bersih kepala sang pemuda. Isak tangis tidak pernah kering dari pipinya.
Pendeta Nasrani itu semalaman
suntuk memangku kepala yang diketahui adalah anak Siti Fatimah binti Muhammad. Ia dekap erat kepala Husein.
Sampai pagi ia menjaga kepala yang
disayanginya itu. Setelah dia bermimpi, tak lama di pagi itu pula ia menyatakan
diri menjadi pengikut Rasulullah, kakek dari kepala yang didekapnya sedari malam.
CLARISSA Pinkola Estes, seorang psikolog
pasca trauma menyatakan manusia adalah makhluk berkisah. ”Kisah”,
ibarat asupan bagi tubuh, dibutuhkan jiwa untuk menandai kesehatannya. Jiwa
yang sehat kata Pinkola Estes, ditandai dengan kemauannya mengikat parasnya
pada kisah-kisah puncak kemanusiaan.
Dengan kata lain ”kisah” adalah induk sang jiwa. Melalui ”kisah” sang jiwa dididik dan
dibesarkan untuk sampai ke ”ketinggiannya”. Itulah sebabnya, sang
jiwa manusia bakal bergeming ketika ia diperdengarkan ”kisah ”.
Peristiwa Karbala adalah kisah epik
tiada duanya. Persitiwa Karbala, adalah kisah yang bertutur melalui
puncak-puncak kemanusiaan. Hanya di peristiwa Karbala-lah, semua ketinggian
nilai kemanusiaan ditemukan.
Dalam tradisi syiah, Karbala adalah
kisah yang memugar jiwa kepada paras aslinya. Melalui kisah Karbala, jiwa
manusia diingatkan pulang kepada tiga nilai utamanya: bertanggung jawab, rela bersetia, dan
rela berkorban.
Tiga nilai utama jiwa ini, jika diintisarikan melalui ”bahasa ketinggian”
adalah cinta. Cinta-lah inti kisah yang berjangkar kepada sang jiwa. Cinta-lah
strategi sang jiwa mempertahankan dirinya dari kerusakan.
Erich Fromm menandai ideal cinta
adalah perasaan mendalam yang membuat seseorang menjadi care (peduli), responbility (bertanggung jawab), respect (hormat), dan knowledge (pengetahuan).
Dalam kisah Karbala, cinta mendalam,
cinta yang peduli, cinta yang bertanggung jawab, cinta yang saling menghormati,
dan cinta kepada ilmu pengetahuan adalah sejumlah nilai utama yang digaungkan
Husein kepada jiwa-jiwa seantero persada.
Itulah sebabnya, Karbala adalah
peristiwa bagi semua orang. Kisah untuk semua jiwa. Tiada jiwa yang tidak
merindukan kisah seperti yang sudah dilakoni Husein melalui peristiwa Karbala.
Dengan begitu, melalui cinta
peristiwa Karbala menjadi ”jembatan” ingatan bagi sang jiwa untuk memperbaiki
dirinya.
Di setiap 10 Muharam, peristiwa
Karbala-lah yang menjadi penanda secara sosial-psikologis antara jiwa-jiwa yang
rela berpulang kepada paras aslinya, atau jiwa-jiwa yang bertungkus lumus di ”kerendahan”.
Melalui kisah Karbala, sang jiwa
diberikan peluang secara sosio-kultural untuk menyatakan diri sebagai ”ingatan
kolektif” memerangi tindak anomali yang menjadi rintangannya.
Di era kiwari, ketika kisah-kisah
kemanusiaan banyak dikalahkan oleh narasi modernisme dalam ingatan sang jiwa,
Peristiwa Karbala-lah kisah agung yang berdiri di atas literasi gugatan dan
gugahan bagi siapa saja yang menyadarinya.
Kisah Karbala juga dengan begitu
adalah kisah politik kemanusiaan. Di setiap 10 Muharam, bagi yang
memperingati-duka peristiwa Karbala, adalah momen politis untuk merefleksikan
dan menyebarluaskan fragmen-fragmen peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah
peristiwa Karbala. Melalui penelusuran itulah, sang jiwa bakal menangkap nilai
keutamaan politik Husein, dan sebaliknya cara-cara licik dari lawan-lawannya.
Pada akhirnya, kisah Karbala adalah
kisah kemanusiaan-universal. Kenyataannya, 10 Muharam bukan sekadar penanda
atas waktu, juga bukan sebatas ruang geografis nun jauh dari jiwa orang-orang.
Kisah Karbala 10 Muharam, merupakan
tugu ingatan dan jiwa, yang memapah-pikul keduanya agar terus berjangkar kepada
puncak-puncak kemanusiaan. Semua ingatan adalah Asyura, semua tubuh adalah
Karbala.
---
Sebagian kutipan diolah dari
pelbagai sumber