|
PB Syndicate |
Momen seperti inilah
yang eike kira mesti dipertahankan. Kelak, yakin dan percaya, momen-momen
seperti ini yang bakal memberikan dan menjadi fondasi intelektual ketika je
sekalian sudah melakoni beragam pengalaman kemanusiaan. Mau apalagi, eike harus
berterus terang, kampus hari ini tidak banyak memberikan kemungkinan pengalaman
yang lebih diskursif. Kebanyakan pengalaman belajar dalam kampus ibarat
panggung sirkus yang berisi pawang singa dan gerombolan singa jinak yang mangut
di ujung tongkat sang pawang. Sementara pengetahuan ibarat instruksi kepolisian
yang tidak memberikan pilihan lain selain menjadi tersangka. Pendidikan
a la kampus sekarang menurut eike lebih
menyerupai apa yang dinyatakan Bourdieu sebagai penjajahan dengan gaya halus.
Penyelenggaraan pendidikan di kampus umumnya bukan hal yang merangsang jiwa
ingin tahu mahasiswa, melainkan menjadi ancaman yang menyiutkan nyali kritis
mereka. Akibatnya, pendidikan kampus seperti pabrik pencetak kue. Bentuk dan
macamnya mirip seratus persen. Berkenaan pengetahuan dengan motif ideologis di
balik paham pendidikan, tak perlu eike jelaskan di sini. Je sudah pasti banyak
mendengar tentang analisis Michele Foucault, Ivan Illich, atau Paulo Freire
yang banyak menelaah secara kritis penyelenggaraan pendidikan beserta paham di
belakangnya dalam setting masyarakat kapitalis. Kalau je belum banyak tahu,
gugling saja sekalian. Lebih praktis, seperti gaya belajar mahasiswa masa kini.
Sementara organisasi-organisasi kemahasiswaan sekarang memang dari kulitnya
tampak kelihatan garang, tapi sebenarnya garing. Tak banyak harapan muncul dari
sana. Kolektifitas organisasi di tangan generasi milenial akhir tidak tampak
memperlihatkan organisasi yang mampu meng-cover kebutuhan mahasiswa generasi Z
yang jauh sangat berbeda dari mereka. Itulah sebabnya, kesenjangan dari sisi
pilihan-pilihan ideologis nampak benderang dalam dua generasi berbeda yang
berbagi medan pengalaman sehari-hari yang sama. Kebutaan dalam merumuskan
pengalaman bersama atas generasi milenial bagi senior-senior mereka adalah
kegagalan pertama mengubah tradisi kemahasiswaan menjadi adaptabel dengan
semangat zaman. Yang miris, pola-pola lama dari segi pengalaman, praktik
berlembaga, visi pengetahuan, dan pilihan-pilihan ideologis masih menggunakan
tradisi 90an yang sudah tidak cocok dengan minat mahasiswa generasi mutakhir. Sudah
tentu idealisme mahasiswa generasi Z sangat bertolak belakang dengan generasi Y
atau bahkan generasi X. Pengalaman hidup mereka sangat berbeda. Apa yang hari
ini disebut idealisme sudah memiliki pemaknaan yang lebih baru dan variatif di
tangan generasi Z. Idealisme di tangan mahasiswa generasi Y dan Z di waktu
silam ibarat air kelapa yang mesti dijaga kemurniannya. Kini, apa arti
idealisme bagi mahasiswa generasi Z? Tapi, memang idealisme itu masih ada. Ia
tidak bisa diartikulasikan dari lisan dan gaya berpikir mahasiswa-mahasiswa
produk zaman tua. Juga, bukan yang berasal dari dunia pengalaman senior-senior
mereka. Melainkan idealisme itu harus dirumuskan sendiri oleh mahaiswa-generasi
Z itu sendiri. Karena itulah model dan gaya, sampai bentuk organisasi harus
segera dirumuskan sendiri oleh generasi Z. Jika keputusan penting
organisasional masih dipegang generasi tua sudah seharusnya disesuaikan dengan
kebutuhan mahasiswa masa kini. Itu pun dengan syarat generasi tua harus legowo
membuka barisan baru. Menghilangkan superioritas egonya atas
mahasiswa-mahasiswa kekinian yang lebih maju dan fresh. (Sudahlah, eike mesti
katakan masa-masa je sebagai senior tanggung sudah mulai habis dan bahkan bukan
zamannya lagi. Lapangan je jauh lebih luas hanya sekadar teritori kampus. Je
sebagai senior harus keluar pagar. Tempat je di dunia yang lebih luas hanya
dari pada kampus. Berkarya-lah di dunia yang lebih "nyata"). Harus
ada organisasi yang bisa menyerap aspirasi, semangat, dan gaya berpikir
mahasiswa zaman sekarang yang nampak cuek bebek, individualis, hedonis, dan
pragmatis. Juga, eike kira ini juga penting, adalah perlunya dosen-dosen
memahami selera dan kecenderungan belajar mahasiswa mutakhir. Generasi Z adalah
generasi yang khas abad kontemporer, mereka cenderung terbuka, dan lebih peka
dengan geliat zaman milenial. Itulah sebabnya, jika je adalah dosen, penting
untuk mengubah gaya belajar mengajar di dalam kelas. Mahasiswa generasi Z
adalah mahasiswa yang sulit dirumuskan dengan etika lama. Mereka mesti
diberikan pendekatan baru, gaya yang lebih adaptabel dan kreatif. Terakhir, ini
yang sebenarnya eike ingin katakan, komunitas kreatif itu penting. Sepenting je
merasakan jatuh cinta. Karena itu pandai-pandailah mengelola perkumpulan macam
begini. Apalagi melihat kecenderungan mahasiswa generasi Z yang jauh berbeda
dari karakter dan selera je sekalian. Mesti ada yang berubah.