“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. (Surah Maryam: 54)
ISMAIL pasrah, barangkali
tercengang kaget. Di tempat yang bernama Jabal Qurban itu, dia yang sudah
menggeletakkan diri, berakhir dengan leher hewan gembala yang menganga.
Sementara pedang Ibrahim, ayahnya, urung memenggal leher buah hatinya. Ibrahim
mungkin tersentak. Tapi, di akhir peristiwa itu, mimpi yang pernah datang
kepadanya berubah mencengangkan.
Memang tak ada mukjizat di hari
itu. Tapi itu adalah momentum bersejarah. Suatu peristiwa yang berkisah tentang
jiwa sabar. Jiwa yang rela bersetia.
Qurban juga kisah kemanusiaan.
Adegan yang mempertontonkan tegangan antara rasa cinta tanpa pamrih dan pengorbanan
yang tak gentar.
Tak ada peristiwa pengurbanan
setelah kisah Habil dan Qabil, selain kisah pengurbanan Ismail dan Ibrahim yang
menghentak sekaligus menyejarah.
Ibrahim, bertahun-tahun tak diberi
anak merasakan ujian yang begitu berat. Sejak ia menerima wahyu, kasih sayang
terhadap anak semata wayangnya diuji. Ibrahim menghadapi dilema: mengikuti rasa
cinta mempertahankan anaknya, atau bersetia terhadap perintah Tuhannya.
Ibrahim tahu konsekuensinya. Dia
bakal kehilangan Ismail. Tapi, Ibrahim seorang nabi. Dia tahu suatu perintah
Tuhan jauh lebih utama kendati dibandingkan anaknya.
Maka diceritakanlah mimpinya.
Dan, tiada kesetiaan tulus seperti kerelaan Ismail
mendengar permintaan mimpi ayahnya. Ismail tidak sedikit pun menyoal mimpi
Ibrahim. Kerelaan Ismail kesetiaan terhadap isi mimpi ayahnya. Kesetiaan Ismail
cermin keyakinan dan kepatuhan terhadap perintah yang diemban Ibrahim, ayahnya.
Sementara Ibrahim, dengan cintanya
terhadap buah hatinya, setelah Ismail menyatakan kesetiaannya, menjadi terang.
Tak ada mesti dikhawatirkan. Ismail seorang anak kala itu berusia tujuh tahun,
sudi menyatakan kesediaannya.
Di hari itu, akhirnya keduanya
melampaui batas hubungan sempit antara sang ayah dan sang anak. Kasih sayang
yang bertumpu dari ikatan biologis semata, bertransformasi menjadi kerelaan
keduanya untuk “memenangkan” misi tersembunyi di balik peristiwa itu. Rela
berkorban dan rasa cinta antara Ibrahim dan Ismail, seketika menjadi misi
ideologis yang kelak akan diperagakan seantero bumi dengan peragaan menyembelih
hewan qurban.
Syahdan, begitulah kisahnya.
Ibrahim dan Ismail dinyatakan lolos sebagai hamba yang bersetia dan sabar atas
perintah Tuhan. Menjadi dua hamba bagi sejarah manusia tentang kerelaan
berkorban, apapun konsekuensinya.
***
Jiwa sehat adalah jiwa yang rela
berkorban. Begitu pendakuan Clarissa Pinkola Estes, seorang psikoanalisis pasca
trauma. Clarissa Pinkola Estes menyatakan, jiwa sehat selalu merindukan “kisah” sebagai narasinya. Di hadapan kisah, jiwa menjadi “anak-anak” yang digembleng
menjadi dewasa.
Kisah Ibrahim-Ismail, adalah kisah
tanpa kejadian supranatural. Ibrahim sebagai sang ayah, dan Ismail sebagai sang
anak, adalah dua makhluk berdaging dan bertubuh. Mereka hidup di dalam sejarah
dan mati dalam sejarah. Walaupun demikian, kisah mereka menjadi monumen
kesadaran di hadapan “sang ego” yang licin dan mudah terbakar.
Di masa-masa sekarang, “sang ego”
yang dibilangkan Sigmund Freud –seorang psikonalisis– sebagai ruang “sang id”
bergerak liar, banyak merepresentasikan paras manusia yang mudah kesal,
beringas, dan individualis. “Sang ego” yang dikontrol liar “sang id” pada
akhirnya menjadi sulit ditundukkan.
Dalam politik, “sang ego” menjadi
kekuasaan penindas, dalam ekonomi, “sang ego” merusak tatanan keadilan, dan
dalam kebudayaan “sang ego” menandai keterasingan manusia. Bahkan dalam agama,
“sang ego” bagai raja secara imperatif harus diakui sebagai satu-satunya
kebenaran.
Kiwari, “sang ego” bagai lupa
kepada keadaannya yang asali, yakni jiwa yang selalu mendudukkan “kisah”
sebagai pasangannya.
Dalam keadaan “sang ego” hegemonik
itulah kisah Ibrahim-Ismail, menjadi “palu godam” untuk menghentak “sang ego” agar
jangan sampai lupa diri. “Sang ego” walaupun senantiasa diperebutkan oleh
kerakusan “sang id”, memiliki “kisah” sebagai narasinya.
Itulah mengapa jiwa manusia akan
mudah gemetar jika diliterasikan “kisah” di hadapannya. Dalam agama, jiwa
gemetar mendengarkan nama Tuhannya, itulah jiwa sebaik-baiknya jiwa.
Kisah pengurbanan Ibrahim-Ismail,
jika dibilangkan sebagai suatu “pengalaman kemanusiaan”, mestinya disikapi
sebagai “pengalaman keseharian” yang mampu dihayati seluruh umat manusia. Agak
berbeda jika dikatakan kisah serupa sebatas peristiwa singular yang hanya
dialami Ibrahim dan Ismail. Padalah, dalam tataran kisah, Ibrahim dan Ismail
adalah simbolisasi universal dari paras jiwa yang rela dan bersetia untuk
memerangi “sang ego”.
Di hari Idul Qurban, kemenangan
hanya milik “sang ego” yang berhasil mengalahkan sifat “kerelaan”, “kesetiaan”,
dan “kesabaran”. “Sang ego” yang telah bertransformasi melampaui dirinya
menjadi “ego-kekitaan”.
Melalui ego-kekitaan, tubuh
Ibrahim-Ismail bertransformasi dan menginisiasi pelaksanaan qurban. Pelaksana
qurban adalah tubuh Ibrahim yang menyetarakan kasih sayang di dalam daging
kurban. Ia menjadi “sang ego”
memerdekaan “kerelaan” kepada orang penerima kurban. Dan tubuh Ismail
bermetamorposa menjadi sang penerima kurban yang memenangkan “kesabaran” dan
“kesetiaan” dari sang pelaksana kurban. Hubungan saling membebaskan inilah yang
diharapkan menumbuhkan sikap saling mengasihi antara sesama.
Akhir kata, perayaan Idul Qurban
merupakan kemenangan bersama. Kemenangan solidaritas dan kebersamaan siapa pun.
Perayaan pembebasan kelas masyarakat yang selama ini ditawan “sang ego”
kekuasaan. Di hari Idul Qurban, sekali lagi, “sang ego” harus turun dari atas ketinggian singgasananya mengunjungi
pelataran “kisah”, tempat dia mendekat dan menjadi setara di hadapan “Sang
pemilik jiwa”.