![]() |
Penulis: Robertus Robert &
Hendrik Boli Tobi
Penerbit: Marjin Kiri
ISBN 978-979-1260-32-9
ix + 219 hlm, 14 x 20,3 cm
|
MELALUI suatu kesempatan, Robertus Robert menyatakan kaburnya konsep republik sebagai basis pemahaman mengantarai interaksi antara warga, posisinya di tengah negara, dan pemilahan hak dan kewajiban sebagai warga negara, adalah sumber masalah yang sekarang banyak menyebabkan isu-isu kewarganegaraan di negara ini belum dapat terpecahkan. Masalahnya menjadi semakin dalam akibat sejauh ini wacana kewarganegaraan tidak pernah mengemuka dalam khazanah ilmu-ilmu sosial-politik dan hukum.
Secara historis, wacana republik
sebagai basis kedaulatan warga Indonesia hanya pernah muncul sekali di saat
sidang persiapan kemerdekaan Indonesia. Itu pun konteks pemikiran mendasarinya belum radikal mengupayakan suatu dalil teoritis yang akan
memungkinkan setiap warga negara dipandang sebagai subjek politik, dan memiliki
dasar hukum yang setara dalam negara.
Menurut Robertus Robert, republik dipilih sebagai bentuk negara kala persiapan kemerdekaan Indonesia, hanya berdasarkan politik diferensiasi sederhana dari bentuk negara yang ada pada saat
itu. Republik dipilih sebagai bentuk negara hanya karena ingin membedakan
negara Indonesia di masa depan dari bentuk negara berbasis feodalisme yang
mencuat dengan model pemerintahan kerajaan.
Kedua, republik menjadi satu-satunya pilihan hanya untuk menjadi dasar legitimasi bagi kekuasaan negara pasca kemerdekaan saat itu agar absah berdasarkan suara seluruh masyarakat Indonesia. Tanpa itu, kekuasaan negara pasca
kemerdekaan hanya meneruskan dan tidak memutuskan mata rantai bentuk-bentuk pemerintahan berciri
tradisional dan feodalistik. Semangat dan model kekuasaan ini akan sangat
berbeda dengan cita-cita founding father saat itu yang menghendaki suatu bentuk
negara yang menjunjung kesetaraan dan bersifat modern.
Praktis pasca kemerdekaan, republik
sebagai suatu konsep politik dan bentuk negara, tidak pernah lagi dibincangkan.
Padahal, menurut Robertus Robert, melalui pemahaman republik-lah yang akan menjadi fondasi bernegara ketika mendasari praktik-praktik politik warga negaranya. Hal ini juga sekaligus akan memberikan
dalil-dalil kewarganegaraan secara epistem dan ontologisbagi bagi setiap individu dalam hubungannya sebagai warga negara dan negaranya.
Tapi, akibat minimnya penggalian
makna republik, ditilik dari konsep filosofis, pandangan politik, dan hukum, konsep republik akhirnya hanya menjadi terma yang kabur dan ahistoris. Juga, apa
implikasi-implikasinya terhadap kehidupan warga negara dalam hubungan dengan
negaranya menjadi sulit diterangkan. Bahkan, imbas dari gelapnya makna
republik, dan minimnya pencarian dan penggalian atasnya, republik sudah hilang
dalam perbincangan intelektual sebelum ditemukan.
Atas beberapa pertimbangan itulah,
sampai sekarang praktik-praktik yang mendasari keberadaan warga negara, kebebasan warga negara sebagai
subjek politik, hubungannya dengan negara, dan hak dan kewajibannya dalam
negara, masih ditandai dengan kecenderungan-kecenderungan yang mendeskreditkan
warga negara dengan mengabaikan kedaulatannya dan posisinya di mata hukum dan
politik.
Republikanisme
Aritoteles dan Polis
Republik yang mendasari wacana
kewarganegaraan berakarpanjang dalam pemikiran Aristoteles dan Cicero. Menurut
Hannah Arendt hampir semua penelusuran pemikir republik menunjuk praktik dan
pemikiran Athena klasik yang ditemukan dalam karya-karya klasik Aristoteles.
Dalam republikanisme, warga negara
dan politik adalah satu mata rantai yang saling mengandaikan. Politik hanya
mungkin jika ditunjang dengan konsep warga negara. Dan sebaliknya, warga negara
hanya dapat eksis melalui kerja-kerja partisipasifnya dalam kerangka politik.
Kesatuan mata rantai yang saling
mengemuka itulah yang menjadi inti dari republikanisme. Republikanisme
mengyakini politik adalah wahana tindakan subjek politik dari warga negara. Itu
berarti kebebasan menjadi kerangka dasar dalam suatu wahana politik yang
mendasari suatu tindakan dari warga negara.
Kebebasan bagi republikanisme
adalah tindakan. Tidak sebagaimana konsep kebebasan dalam liberalisme yang
memiliki kecenderungan metafisik dan abstrak, kebebasan dalam republikanisme merupakan
suatu upaya yang ditunjukkan dalam tindakan konkret. Itulah sebabnya, politik dalam
republikanisme hanya dapat dilihat dari mereka yang bertindak langsung. Sebagaimana yang
diandaikan Hannah Arendt, rasion d’etre politik adalah kebebasan, dan medan
pengalamannya adalah tindakan.
Melalui pandangan republikan, ide
mengenai siapa itu warga negara hanya bisa dilihat dalam hubungannya dengan
polis. Menurut Hannah Arendt, polis
sebetulnya bukan negara kota dalam lokasi fisiknya: ia adalah organisasi rakyat
karena tumbuh dari bertindak dan berbicara bersama-sama, dan ruangnya yang
sesungguhnya bertempat di antara rakyat yang hidup bersama demi tujuan ini, tak
peduli di mana pun kebetulan letaknya.
Dengan kata lain, polis tidak serta
merta hanya dimaknai seperti selama ini dipahami sebagai negara-kota. Pemaknaan
demikian hanya akan membuat makna polis menjadi sekadar teritorial geografis
dan bersifat lokal spasial. Implikasinya kemudian membuat polis menjadi suatu
fenomena diam dan statis dari suatu kawasan geografis.
Dalam imajinasi masyarakat Yunani
kuno, polis adalah suatu wahana yang berbeda dengan oikos. Perbedaan polis
dengan oikos berdasarkan suatu pengertian bahwa polis adalah “ranah publik
kehidupan politik.” Oikos sebagai ranah privat yang menjadi titik seberang dari
polis diandaikan sebagai “ranah privat kehidupan rumah tangga.”
Melalui konteks yang lain, polis
menemukan padanan latinnya dalam res
publika yang secara subtansial sangat berbeda dengan oikos yang bergerak
dalam ranah yang lebih privat.
Menurut Hannah Arendt, polis adalah
wahana yang digerakkan dengan semangat dan sistem berpikir “logika
deliberatif.” Di bawah motivasi demikian, individu yang tampil dalam polis
adalah subjek yang mencari kebutuhan mencari apa yang terbaik bagi orang banyak
(yang umum, yang publik). Itulah sebabnya, polis selalu merujuk ke dalam suasana
yang spesifik berupa dalam “kerangka kebersamaan.”
Sementara oikos dalam pengertian
Aristotelian menundukkan segala urusannya di dalam “logika pertahanan hidup”.
Di masyarakat Yunani kuno, oikos berarti wahana yang berurusan dengan
benda-benda dalam konteks perdagangan, beranak pinak, dan perang. Dengan
demikian, dua wahana ini secara esensial sangat berbeda dan tidak boleh
dicampuradukkan dengan cara semena-mena.
Percampuran dua wahana ini, akibat
dua “sistem” yang berbeda akan menunjukkan segi krisisnya apabila tidak ada
pemisahan secara total antara oikos dan polis. Dalam pengenalan lebih lanjut
polis inilah yang menjadi akar kata dari politik.
Melalui pendasaran inilah, dalam
pengertian Aristotelian dan republikanisme awal siapa itu warga negara menemukan
pengertiannya. Pertama, warga dalam polis berdasarkan pemilahan antara polis
dan oikos adalah individu yang sudah meninggalkan urusan-urusan privatnya.
Dalam konteks masyarakat Yunani kuno, segala urusan privat diserahkan kepada
golongan perempuan dan budak. Kedua, dalam arti yang lain, pemisahan ini juga
dipahami dalam konteks bahwa warga yang berurusan dengan polis tidak boleh
menggubris atau ambil bagian dalam urusan-urusan privat.
Dengan kata lain, siapa itu warga
negara adalah mereka yang telah memenuhi kualifikasi dalam arti telah melampaui
urusan privat dengan mengedepankan urusan publik (polis) dengan syarat tidak
lagi terikat kepentingan-kepentingan pribadinya. Dalam hubungannya dengan
kebebasan, warga negara adalah subjek politik yang benar-benar bertindak atas
dasar dorongan “kepublikan” tanpa bisa diintervensi oleh siapa pun dalam urusan
privatnya.
Pengertian yang lebih dalam
mengenai siapa itu warga negara juga dapat ditemui dari pemilahan Aristoteles
tentang phone dan logos. Phone adalah kemampuan untuk
menyuarakan sesuatu, misalnya rasa lapar, rasa sakit dlsb. Phone adalah
kemampuan yang dimiliki hewan dan juga manusia. Namun, logos adalah kemampuan
ekslusif yang hanya dimiliki manusia, yakni kemampuan yang untuk berdialog
secara deliberatif dan rasional, sehingga dengan itu manusia mampu menyuarakan –tidak
saja rasa sakitnya, misalnya—tetapi tentang apa yang adil dan tidak adil bagi
kehidupannya.
Logos dalam wahana polis, dengan
begitu adalah kemampuan warga negara untuk membangun dan menyuarakan dialog
dalam kerangka yang deliberatif dan rasional. Itu artinya politik selalu
mensyaratkan pertemuan rasional melalui dialog dalam bentuk praktik. Politik
adalah urusan untuk mencapai kebaikan bersama dengan cara deliberatif demi
memenuhi kebutuhan dan tuntutan keadilan itu sendiri.
Dengan demikian, Aristoteles
memandang politik atau polis bersifat konstitutif dalam pendasaran mengenai
siapa itu manusia. Manusia sebagai mahluk politik adalah individu yang hidup dengan logos. Aristoteles mengandaikan bahwa manusia yang hidup tanpa politik berarti mengingkari
logos sebagai kemampuan ekslusif yang dimilikinya. Hal ini didasarkan kepada
pengertian bahwa manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup dalam logos,
dan logos hanya dapat diandaikan dalam polis. Singkatnya, kualitas
manusia hanya bisa diukur melalui keterlibatannya di dalam polis.
Cicero,
Romawi Kuno: dari Zoon Politikon ke Homo Legalis
Cicero-lah orang yang memodifikasi
secara mendasar ideal republikanisme awal dari pemahaman zoon politikon menjadi homo
legalis. Pergeseran ini ditandai dari cara Cicero memahami polis bukan
sekadar keberadaan alami bagi orang yang mengyakininya, melainkan suatu persekutuan
yang memiliki dimensi legal-formal dan satu-satunya yang dianggap sah.
Dengan demikian, orang-orang Romawi
kuno-lah yang pertama kali yang menganggap polis bukan seperti yang dipahami
dalam pengertian Aristotelian, yakni hanya dalam dimensi moral-politiknya, tapi
juga sebagai res publika. Res publika dalam nuansa yang lebih demografis
dinyatakan Cicero sebagai; an “assemblage”
of people in large numbers held ini common when it came together “ini agreement
with respect to justice” and “for the common good”, regardles of the form of government
and citizens alike.
Dalam pengertian yang diberikan
Cicero, maka perbedaan mendasar siapa itu warga negara dari konsep warga negara
Aristoteles adalah ditandai dari keberadaan keperluan praktis dan tata
kemasyarakatan yang konkret. Menurut Robertus Robert pengertian warga negara
Aristoteles lebih didasarkan kepada kapasitas moralnya terlebih dahulu
dibandingkan Cicero yang lebih mengutamakan aspek legal warga negara berupa
kedudukan hukumnya di hadapan negara. Dengan kata lain, siapa itu warga negara
diarahkan sebagai peran, status, dan kedudukan hukum dari “orang banyak”.
Cicero melalui konsep warganya yang
lebih legal-formalis, dengan kata lain memperkenalkan republik sebagai
persoalan rekonstruksi hak dan kewajiban dalam arena relasional antara
pemerintahan dan warga. Pengandaian ini berarti setiap pemerintahan dituntut
untuk bersetia dengan ideal keadilan, atau menurut Robertus Robert “ikatan
kepada yang adil”. Sementara warga yang baik adalah mereka yang memegang
tanggung jawab dan taat terhadap hukum.
Singkatnya, pergeseran konsepsional
dalam antropologi filosofis siapa itu warga negara (subjek politik) Aristotelian
yang secara moral teleologis dinyatakan sebagai subjek yang bermoral melalui
logos dalam polis, maka dalam pengertian Cicero, siapa itu subjek politik
adalah mereka yang dipandang melalui aspek legalis-instrumentalis sebagai warga
negara yang bertanggung jawab dan taat kepada hukum.
Implikasi dari konsep antropologi
filosofis siapa itu warga negara dari Aristoteles dan Cicero dengan sendirinya
akan memberikan pengertian bahwa warga negara dalam tradisi Athena adalah
subjek politik yang bertindak bebas dalam polis, dan dalam tradisi Romawi
kuno, warga negara ditandai dengan keberanggotaan dalam sebuah komunitas
bersama atau hukum bersama yang bisa identik dengan sebuah komunitas
teritorial.
---
*Saduran dan dikutip dari bab 7 Kewarganegaraan dalam Republikanisme dalam buku karangan Robertus Robert dan Hendrik Boli Tobi: Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan Dari Marx sampai Agamben