Langsung ke konten utama

Kewarganegaraan dalam Tinjauan Sosiologi Kewarganegaraan

Penulis: Robertus Robert & Hendrik Boli Tobi
Penerbit: Marjin Kiri
ISBN 978-979-1260-32-9
ix + 219 hlm, 14 x 20,3 cm


Tiga pengertian kewarganegaraan: Pertama, kewarganegaraan sebagai bagian dari demokrasi yang dinyatakan dalam bidang politik bahwa semua warga negara setara di hadapan negara. Kedua, kewarganegaraan dimengerti sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Ketiga, kewarganegaraan sebagai keberanggotaan dari komunitas yang khas dan hubungan-hubungan sosialnya yang khas pula.

Ditinjau dari teori-teori sosiologi, kewarganegaraan disebutkan Brian S. Tunner sebagai gejala yang beciri sosiologis. Dari teori-teori sosiologi klasik, dua pemikir sosiologi awal, yakni Karl Marx dan Max Weber, secara tersirat sudah membahas kewarganegaraan melalui tulisan-tulisan mereka. Marx misalnya, seperti yang dikemukakan dalam buku ini, memunculkan konsep kewarganegaraan yang khas melalui pemikirannya setelah sebelumnya mengajukan kritik terhadap Bauer yang mengulas peristiwa orang-orang Yahudi Jerman yang berjuang mendapatkan status kewarganegaraan di negara Jerman.

Kritik Marx terhadap tulisan Bauer menyangkut dua hal, yang pertama, berkaitan dengan agama sebagai sumber masalah alienasi manusia yang dilihat melalui relasi agama dan negara, dan yang kedua kritik fondasionalnya terhadap kapitalisme yang dinyatakannya sebagai sumber dari keterasingan manusia yang sebenarnya.

Menurut Marx, berbeda dengan Bauer, agama bukanlah sebab utama keterasingan, toh jika disebut agama yang menjadi dasar keterasingan dalam negara, Marx mengambil contoh Amerika yang mengambil bentuk negara yang tidak memihak kepada satu agama sebagai fondasi kenegaraannya adalah negara yang dinyatakan “baik” walaupun masyarakatnya banyak menganut agama tertentu. Berbeda dari Jerman atau Prussia waktu itu di mana Kristen menjadi “agama resmi” negara, sehingga dinyatakan Bauer sebagai sumber keterasingan rakyat Jerman.

Dengan menunjukkan kelemahan analisa Bauer, Marx mengemukakan pemilahan dua konsep masyarakat berdasarkan apa yang ia sebut political community dan civil society dalam konteks masyarakat kapitalis. Menurut Marx dalam dimensi political community, manusia dilihat dan menyatakan diri sebagai makhluk komunal. Dalam dimensi ini, manusia memperlakukan manusia yang lain dengan cara yang sederajat dalam negara.

Sementara dalam civil society, manusia dimaknai sebagai makhluk privat. Akibatnya, dalam civil society, manusia melihat manusia lainnya sebagai alat. Dalam civil society, menurut Marx, kaum borjuasi memiliki keleluasan untuk menguasai segelintir orang demi mencapai kepentingan mereka. Artinya, tidak ada kesetaraan dalam konteks civil society diakibatkan munculnya manusia satu yang memperlakukan manusia lainnya sebagai alat pemenuhan kepentingan pribadi.

Singkatnya, menurut Marx, kesetaraan yang ada dalam political community hanyalah semu semata akibat adanya penjajahan manusia atas manusia lainnya di wilayah civil society. Bagi Marx, kewarganegaraan yang sebenarnya harus diperjuangkan dalam wilayah civil society dengan mengusulkan suatu model masyarakat baru yang dikenal sebagai masyarakat komunis.

Sementara Weber jauh lebih teliti mengamati perkembangan terbentuknya kewarganegaraan melalui sejarah tumbuhnya kota dan pasar dari era masyarakat klasik, pertegngahan, dan modern.

Menurut pendakuannya, Weber melihat status kewarganegaraan pertama-tama muncul seiring dengan fungsi kota sebagai benteng pertahanan dan pasar sebagai arena pertukaran. Kota-kota di masa peradaban klasik dibangun dengan maksud mempertahankan diri dari serangan bangsa lain berupa didirikannya tembok-tembok tinggi hingga disebut benteng. Melalui konteks ini, masyarakat yang ikut mendirikan dan mempertahankan benteng dari serangan bangsa luar menjadi warga negara yang memiliki kedudukan penting dimasyarakat. Itulah sebabnya menurut Weber, di kemudian hari militer menjadi unsur penting dari sebuah kota yang sekaligus menjadi dasar kewarganegaraan.

Di sisi lain, Weber juga menyoroti perkembangan selanjutnya yang ditandai dengan kehadiran gilda-gilda yang lahir dan berkembang dari bengkel-bengkel kerja dan para tuan-tuan tanah. Dua unsur baru masyarakat ini memiliki posisi penting di kemudian hari, setelah melalui pertentangan di antara mereka ketika memperebutkan tenaga-tenaga kerja yang dipekerjakan. Melalui aktivitas perekonomian, dua jenis kelas masyarakat ini juga turut memberikan dasar pengertian kewarganegaraan yang dikemukakan Weber (prajurit dan pedagang).

Melalui khazanah sosiologi kontemporer, kewarganegaraan sedikit banyak dapat diterangkan dari perspektif Antony Giddens dalam memandang posisi subjek yang mengandaikan kebersatuan lokus struktur dan tindakan. Dengan kata lain, kewarganegaraan berarti pengukuhan individu melalui tindakannya tanpa meninggalkan konteks sosial tempatnya terbentuk dan bertindak. Artinya, kewarganegaraan menghilangkan dualisme tindakan aktor dan determinasi struktur yang selama ini menjadi masalah dalam teori ilmu-ilmu sosiologi.

Diri sebagai konsep dari proyek yang berkelanjutan Giddens juga menjadi sumbangsih bagi teori kewarganegaraan. Menurutnya, identitas dalam diri adalah suatu proses kemampuan untuk mempertahankan narasi mengenai diri. Dengan pengertian yang lebih sederhana, diri adalah identitas yang bukan final. Diri bukanlah tujuan akhir, melainkan gerak yang dinamis dan terbuka terhadap segala kemungkinan yang dihadapinya.

Sementara di sisi lain, Turner berpendapat teori sosiologi masa kini sudah mengembangkan konsep yang lebih maju yang melampaui dikotomi antara alam-kebudayaan, pikiran-tubuh, dan individu-masyarakat. Upaya memahami relasi di antara keduanya yang dalam kajian teori sosiologi mutakhir, menurut Turner dapat diajukan melalui konsep yang ia sebut “emboided personhood”. Artinya, menurut Turner setiap kali kewarganegaraan dibincangkan maka itu berarti ikut membicarakan  suatu model subjek yang terikat dengan relasi-relasi sosial yang menjadi dasar kenyataannya.

Turner sendiri mendefenisikan kewarganegaraan sebagai seperangkat tindakan baik itu yuridis, politis, ekonomi, maupun kebudayaan, yang darinya sesorang diartikan sebagai anggota kompeten dari suatu masyarakat yang berakibat kepada mengalirnya sumber daya ke individu ke kelompok-kelompok sosial.

Dua hal yang patut diperhatikan dari defenisi kewarganegaraan Turner di atas adalah pertama, kewarganegaraan adalah seperangkat tindakan, bukan sekadar kumpulan hak dan kewajiban yang pasif. Dengan pemahaman demikian, kewarganegaraan adalah rangkaian proses yang dibentuk dan bergerak melalui kontruksi sosial dan sejarah. Kedua, dengan melihat implikasi aliran sumber daya individu  ke kelompok,  maka kewarganegaraan juga mesti memerhatikan soal-soal mengenai dsitribusi kekuasaan, ketaksetaraan, dan perbedaan dalam kelas-kelas sosial di masyarakat.

Turner juga mengemukakan empat dimensi pokok yang untuk melakukan studi kewarganegaraan, yaitu: pertama content of citizenship (isi dari kewarganegaraan) yang berangkat dari hak dan kewajiban dari keeranggotaan seorang warga dari bagian politiknya. Menurut Turner, soal inti dari content of citizenship yang mesti diejawantahkan adalah asal mula hak dan kewajiban yang mnendefiniskan seorang individu menjadi warga negara. Kedua, type of citizenship (tipe kewarganegaraan). Pengertian ini merujuk kepada bentuk spesifik apa saja yang menata partisipasi sosial dan politik warga negara dalam melakukan aktifitas kewarganegaraannya. Ketiga, condition of citizenship (kondisi kewarganegaraan) yang diandaikan Turner sebagai kondisi kewarganegaraan yang melihat aneka relasi dan kekuatan sosial yang memproduksi dan mereproduksi partisipasi warga dalam pebagai bentuk tindakan politiknya. Keempat adalah arrangements of citizenship (modus penataan kewarganegaraan) yang melihat mekanisme dan prosedur seperti apakah konsep kewargaan dicocoktanamkan dalam masyarakat.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...