Ego atau diri dalam khazanah teori sosiologi adalah konsep
yang mendua. Tidak sebagaimana dalam ilmu psikologi, diri dalam teori-teori
sosiologi tidaklah berparas tunggal. Diri, atau ego, melalui teori-teori
sosiologi, adalah serangkaian perubahan yang ditentukan dan dipengaruhi oleh
hubungan-hubungan konkret masyarakat sebagai fondasi kenyataannya.
Diri yang berparas jamak, dengan begitu adalah rupa yang
licin, dan bahkan mudah menipu. Erving Goffman, seorang sosiolog Amerika,
mendakukannya melalui dramaturgi.
Tiada orang-orang yang tidak bermain peran dalam interaksi
sehari-hari. Begitu kira-kira maksud dari teori dramaturgi Goffman. Baik-buruk,
etis-tidak etis, bohong-tidak bohong, bahagia-tidak bahagia, adalah peran yang
diambil setiap orang. Ibarat sinetron, di sana selalu ada peran antagonis dan
protagonis.
Yang unik dari dramaturgi Goffman, sang manusia seringkali
menyembunyikan peran utamanya melalui drama panggung. Di atas panggung, sang
manusia bisa memakai topeng dan berperan baik, namun tidak sebaliknya di
belakang panggung. Jauh dari sorot lampu panggung, di belakang panggung sang
manusia kembali kepada watak sebenarnya melalui skenario yang disusunnya ketika
hendak mementaskan dramanya.
Di atas panggung (front stage) dan belakang panggung (back
stage) adalah metafora dramaturgi Gooffman. Dua medan itu seringkali tampak
ambivalen. Semuanya tergantung skenario pertunjukkan. Peran sang manusia di
atas panggung dan belakang panggung adalah tegangan yang melibatkan identitas
yang sebenarnya tidak stabil, dan mudah berubah sejauh interaksi yang
mengikatnya.
Itulah sebabnya, diksi persona (latin) “memalsukan”
identitas seseorang melalui kata personal (inggris) yang berarti topeng.
Person, yang menunjuk kepada diri, sebagaimana asal artinya, adalah topeng yang
dipakai untuk menyembunyikan identitas diri seseorang yang sebenarnya.
Jika sudah demikian, yang manakah identitas asli seseorang:
di atas panggungkah yang bersembunyi di balik topeng, atau ketika turun ke belakang panggung yang
jauh dari sorot mata masyarakat jamak?
George Mead, yang juga seorang sosiolog Amerika menyatakan
identitas seseorang selalu berjangkar kepada dua kemungkinan: “i” dan “me”.
"I " adalah aku bebas yang spontan, diri yang menjadi subjek dalam
percakapan dan interaksi. Sementara "me" adalah saya yang menjadi
objek dalam tindakan berbahasa melalui interaksi sehari-hari.
“I” atau “sang aku” didakukan Mead sebagai pasak dari
nilai-nilai yang diyakini. Di dalam "I"-lah sang manusia menyimpan
dan mengembangkan nilai-nilai yang dianutnya. "I" adalah tempat sang
manusia berhadapan dengan subjektifitasnya. “I” adalah identitas asli atau
“sang aku” yang bertopeng dan bersembunyi di balik person yang menghadap
keluar.
Person, atau “me” sebaliknya adalah “sang aku” yang
ditundukkan nilai dan aturan main masyarakat. Dalam masyarakat, “me” adalah
identitas yang mengemban peran tertentu setelah “bernegosiasi” dengan kehidupan
orang banyak. Kasarnya, "me" adalah identitas pragmatis yang licin
mengubah perannya sesuai konteks masyarakatnya.
Masa sekarang, sang manusia banyak bersembunyi di balik
topeng-topeng. Sang manusia membangun jarak antara “i” sebagai sang aku, dengan
“me” sebagai topeng yang bermain peran. “I” dan “me” ibarat dua sknario di atas
pundak “kejahatan” dan “kebaikan” yang saling menipu sang manusia.
“Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan
yang bahri”. Begitu salah satu bunyi syair Gurindam 12 Raja Ali Haj, seorang
penyair dari masa silam. Syair didaktik ini mendedahkan sesuatu yang misterium
dari “diri”, yang sebenarnya adalah pintu masuk mengenal “diri” Tuhan yang Maha
Dalam.
Siapa mengenal “diri-nya”, maka telah mengenal Tuhannya,
juga adalah ungkapan “perjalanan” yang ditemui dalam tirakat-tirakat sufisme.
Barang siapa berjalan mengenal “ego dirinya”, maka dia bakal membuka selubung
tabir tempat dia mengenal Tuhannya.
“Diri” dalam dua literasi syair dan sufisme, adalah pangkal
utama dari semua topeng-topeng identitas. “Tempat” sang aku berpulang dan
berkenalan dengan dirinya yang sebenarnya. Di sanalah “sang aku” menemukan
asalnya. Dalam dua literasi syair dan sufisme, asal sang aku adalah “Sang
Pemilik semua Diri”.
Ketika sang manusia di era sekarang banyak memuja
“person-person” yang menipu, alangkah baiknya kita berbalik arah berjalan
“pulang” menemukenali diri yang sebenarnya. “Sang aku” seperti yang
diliterasikan dalam syair 12 gurindam dan tirakat-tirakat sufisme. “Sang aku”
yang reflektif mencari identitasnya yang asali.
Hatta, “diri”, “sang aku” atau “self”, bukanlah apa yang
tampak dalam gambar-gambar yang mudah ditangkap mata. Diri yang demikan ibarat
pasir gersang drama modernisme yang menyuguhkan fatamorgana. Semuanya menguap
tanpa sisa, dan licin menipu seperti minyak. Ibarat kisah burung sufi Simurgh
mencari Maha Raja Para Burung, “Sang aku” sejati hanya bisa ditemukan di dalam
“sang aku” itu sendiri sebagai pangkal segala asal.
---
Terbit sebelumnya di kalaliterasi.com, 12 September 2017