Memang agak terdengar klise jika agama disebut candu. Marx
menyebutnya opium, zat yang memiliki kemampuan untuk membalikkan dan
menghancurkan kesadaran. Bahkan memiliki efek halusinatif dan
"menyenangkan". Mengapa Marx mengambil metafora opium untuk menggambarkan
ekses negatif agama? Kemungkinannya ada dua. Pertama di abad Marx hidup, opium
massif diperdagangkan sebagai komoditi. Di Nusantara sendiri opium malah
diperdagangkan di bawah pemerintah Kolonial Belanda dengan pajak tertentu. Kala itu opium memang menjadi konsumsi elit bangsawan dan
sekaligus massa rakyat sebagai bahan untuk mendapatkan sensasi khayali dan
menghilangkan rasa lelah bagi buruh upahan. Penggunaan yang massif ini
--menurut James R. Rush dalam buku Opium of Java, yang membawa masuk opium ke
Nusantara adalah saudagar-saudaar Arab-- memiliki efek keuntungan bagi yang
memperdagangkannya. Kedua, yakni karena efek opium itu sendiri yang membuat
pemakainya menjadi halusinatif dan "menyenangkan." Dengan arti ini maka
agama berubah fungsinya menjadi alat dagang dan menipu. Dua hal yang belakangan
banyak terjadi di negeri ini. Agama dengan dimensi demikian, akhirnya
menghilangkan unsur spiritualitas ke ambang kehancuran. Nilai sakral agama
hanyalah gelembung mudah pecah akibat berubahnya agama menjadi komoditi
ekonomi. Tesis Max Weber yang mengatakan paralelnya semangat kapitalisme dan
etika agama, menandai suatu pembacaan yang setidaknya memberikan analasis bahwa
agama ketika bersimbiosis menjadi alat dagang, mampu mengubah orientasi ukhrawi
agama menjadi lebih “kekinian” dan “duniawi”. Memang agama dengan proporsional tidak
mengelakkan dunia sebagai kutub yang mesti diperjuangkan mati-matian, melainkan
melalui kacamata bahwa “dalam yang duniawi ada yang bernilai akhirat” atau “di
dalam yang ukrawi tersimpan yang duniawi”, agama menekankan pentingnya
penekanan nilai sakral ke dalam seluruh aktifitas yang berbau keduniaan atau
sebaliknya. Pemahaman di atas tidak mungkin terwujud jika menggunakan alat
berpikir yang dikotomis. Jika hitam, maka mustahil putih, dan sebaliknya, putih
berarti sudah pasti hitam. Melainkan, suatu cara pandang “meliputi”, atau
seperti yang digunakan dalam etika sufistik, yakni tidak ada pemisahan antara “yang
sakral” dengan “yang profan”. Sekarang, malangnya agama malah dipahami dan dihayati
seperti cara kita melihat warna hitam putih. Ketika seseorang memutuskan
memilih putih, maka tiada peluang bagi dirinya untuk memilih hitam. Agama yang
berubah ekonomis, saya kira sudah dicontohkan dengan baik oleh kasus bas-bos
First Travel. Agama menjadi alat dagang dengan memanfaatkan kebutuhan beribadah
orang banyak. Di sini saya kira, memanfaatkan kebutuhan agama orang banyak
adalah sala satu dosa yang tidak gampang untuk dimaafkan. Bukankah
memperdagangkan agama sama halnya mempermainkan agama setara seperti benda
komoditi yang gampang diperjual belikan? Satu hal lagi, terbongkarnya kelompok
Saracen baru-baru ini oleh kepolisian, mengindikasikan agama di waktu tertentu
bukannya memberikan manfaat meningkatkan ruhani dan pemahaman kegamaan
masyarakat, melainkan dijadikan sebagai alat agitasi dan pemecah umat dengan
hoax yang disebarkan bebas. Malangnya, di atas kebodohan sebagian orang, hoax
bermuatan SARA, malah tumbuh subur dibagikan dengan maksud membela-bela
seseorang atau kelompok tertentu. Agama akhirnya dengan begitu menjadi rendah
nilainya, bukan menjadi penguat kesadaran, tanggung jawab, melainkan sudah
seperti candu, ya candu, membuat orang kehilangan konsentrasi. Kehilangan
kesadaran. Kalau sudah begitu siapa yang diuntungkan coba?
Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...