Langsung ke konten utama

Karl Marx di Dean Street Soho

"Penulis boleh menghasilkan uang untuk bisa hidup dan menulis, tapi tidak sedikit pun ia boleh hidup dan menulis untuk menghasilkan uang. Tidak sedikit pun penulis boleh menganggap karyanya sebagai harta. Baginya, karyanya adalah tujuan dalam dirinya sendiri; dan sama sekali bukan harta baginya sampai bila perlu si penulis siap mengorbankan hidupnya demi karyanya. Sampai taraf tertentu, sebagaimana yang diperbuat alim ulama terhadap agama, penulis mengem ban prinsip ‘patuhi Tuhan sebelum manusia’ ketika berurusan dengan makhluk manusia yang di dalamnya ia terkekang oleh hasrat-hasrat dan kebutuhan manusiawinya." Karl Marx
 
Salah satu olok-olok, atau bahkan ironi bagi Karl Marx barangkali datang dari suatu nama jalan; Dean Street. Panjangnya kurang lebih 400 yard. Di peta, letaknya di antara Oxford Street dengan  Shaftesbury Avenue. Di situ tidak berbeda dengan jalan-jalan di Soho, London: banyak toko-toko mentereng, klub-klub malam, bar, restoran, penjual-penjual kembang, toko pernak-pernik dlsb. Singkatnya bilangan itu adalah salah satu pusat keramaian di London. Tempat kelas borjuis, kelas yang menjadi sasaran kritik Marx, berbelanja.

Di jalan itulah Marx pernah tinggal. Menghabiskan kurang lebih waktu enam tahun hidup dengan miskin.

Sekarang, sebaliknya, Dean Street adalah salah satu jalan paling konsumtif di London. Sebagai salah satu pusat perbelanjaan, Soho adalah salah satu destinasi kaum borjuis era kiwari.

Tapi, sebelum Soho menjadi seperti sekarang, di situlah Marx menulis catatan awal Das Capital yang menginspirasi itu. Di rumah yang sekarang ditilap gedung-gedung mentereng.

Di kala Marx hidup, di Dean Street yang kumuh itu, tidak ada satupun orang borjuis yang bakal menginjakkan kakinya di sana.

Begitulah, setelah diusir dari Jerman, Marx pergi  ke pemukiman buruh di Brussels, namun Marx ditangkap polisi dan dibuang ke Prancis. Semenjak diusir dari Prancis, Marx akhirnya tiba di London, yang akhirnya kehabisan uang dan diusir dari kediaman sebelumnya di Camberwell.

Akhirnya Marx tiba di gang yang kala itu banyak ditinggali kelas pekerja. Ketika itu sekira tahun 1850an, kali pertama  Marx menempati rumah tempat yang disebutnya banyak mengalami kemalangan.

Di rumah itulah Marx kehilangan anak bungsu dan seorang putrinya akibat kelaparan dan diterpa penyakit. Di rumah itu pula barang-barang Marx termasuk pakaian, sepatu, dan mantelnya disita karena utang yang menumpuk.
  
“Aku telah mengalami segala jenis permusuhan,” tulisnya pada Engels suatu waktu, “tapi kini, untuk pertama kalinya aku tahu apa arti kemalangan.”

Hidup miskin suatu soal lain, tapi di saat kehilangan buah hati tercinta? Bukankah itu lebih daripada penderitaan?

Tapi kemalangan Marx juga barangkali adalah kemalangan kelas pekerja yang selalu disuarakannya. Di rumah itu, selain menulis catatan-catatan perdana Das Capital, lahir The Class Struggle in France, serta Der 18te Brumaire des Louis Bonaparte.

Di rumah ketika Marx bukan saja nampak sebagai seorang pemikir, tapi juga sebagai seorang ayah yang senang menuliskan karangan cerita untuk anak-anaknya. Menjadi seorang kepala keluarga yang bisa berperan selayaknya teman bagi anak-anaknya.

Pekerjaan yang mungkin agak berbeda ketika masih tinggal di tempat sebelumnya, ketika pertama kali datang ke London; membelikan  dan membacakan novel kepada anaknya di usia yang masih sangat muda.

Bukan saja membacakan karangan sastra, ketika masih tinggal di Grafton Terrace, Mohr, begitu panggilan anak-anaknya terhadap Marx, kadang bermain “kuda-kudaan” seperti yang dikatakan Eleanor, anaknya, “Dengan duduk di pundaknya, memegangi rambutnya yang lebat, hitam dan beberapa yang sudah menguban”.

Namun, Marx yang diliputi kemiskinan –seperti yang sudah menjadi profilnya—adalah pemikir yang disiplin secara intelektual. Mengenal Marx berarti mengenal seseorang yang dari muda memiliki gairah terhadap hampir seluruh disiplin keilmuan; filsafat, politik, hukum, sejarah, seni, musik, sastra. Itu termasuk banyak membaca dan menerjemahkan buku-buku.

Saat muda, Marx sempat menulis tentang perasaannya ketika tiba di Berlin, “begitu tiba di Berlin, aku memutuskan segala ikatan yang ada dengan handai taulan, jarang berkunjung dan mencoba menenggelamkan diriku ke dalam ilmu pengetahuan dan kesenian”. Betapa Marx menjadi orang yang soliter.

Di sini Marx mau bilang betapa konsentrasinya hanya untuk ilmu pengetahuan dan seni, sampai-sampai harus menjadi orang yang menarik diri dari hiruk pikuk.

Sebagai seorang penulis, energi Marx bisa jadi lahir dari suatu niat yang jarang ditemukan dari penulis yang melihat hubungan antara karya dengan dirinya sebagai jaringan yang menguntungkan. Selama delapan jam, di London, Marx menghabiskan waktunya di British Museum, menulis berbagai bahan yang akan dirampungkannya dalam karya-karya monumentalnya. Pergi di saat pagi belum begitu panas, dan pulang di pukul sembilan malam dengan ditambah mengurung diri di kamarnya selama hampir lima jam hanya untuk menulis.

“Penulis”, kata Marx, “boleh menghasilkan uang untuk bisa hidup dan menulis, tapi tidak sedikit pun ia boleh hidup dan menulis untuk menghasilkan uang. Tidak sedikit pun penulis boleh menganggap karyanya sebagai harta. Baginya, karyanya adalah tujuan dalam dirinya sendiri; dan sama sekali bukan harta baginya sampai bila perlu si penulis siap mengorbankan hidupnya demi karyanya. Sampai taraf tertentu, sebagaimana yang diperbuat alim ulama terhadap agama, penulis mengem ban prinsip ‘patuhi Tuhan sebelum manusia’ ketika berurusan dengan makhluk manusia yang di dalamnya ia terkekang oleh hasrat-hasrat dan kebutuhan manusiawinya."

Sulit membayangkan suatu ikhtiar yang begitu mendalam terhadap pemahamannya atas penghargaannya terhadap suatu karya pemikiran. Suatu keyakinan yang ditulisnya ketika masih menjadi mahasiswa, ketika Hegel menjadi salah satu bacaan dan tokoh yang diikutinya, dan ketika surat-surat romantisnya masih dia tuliskan kepada Jenny, kekasihnya.

Pemahaman literasi semacam ini tidak mungkin lahir jika Marx tidak memahami hakikat kerja itu sendiri. Kerja, seperti yang diterangkannya, adalah suatu rangkaian usaha perealisasian diri menjadi mahluk yang  bebas. Kerja hanya mungkin terjadi jika manusia memiliki kebebasan. Tanpa kebebasan, kerja disebutnya hanya alat yang mengalienasi manusia.

Karya adalah manifes ide manusia. Hasil realisasi dirinya sendiri. Sesuatu yang disebutnya mesti dikorbankan segala hal daripadanya.

Itulah sebabnya,  berkarya—dalam hal ini menulis—merupakan suatu pekerjaan yang mengutamakan tingkat lebih daripada hasrat rendah manusiawi. Sesuatu yang tak mungkin mampu diperkirakan harganya.

Di titik ini Marx lebih dari sebuah nama. Marx adalah suatu model. Bahkan suatu pemahaman.

Tapi, jika di Soho degup kapitalisme yang bagai olok-olok itu tak pernah berhenti, dengan itu Marx sebagai pemahaman, akan juga senantiasa hadir bersamaan menjadi semacam antitesa. Selama ketika dua buah ruangan di jalan Dean Street dihiliri turis-turis dari berbagai penjuru.

---

*Sebagian besar kutipan disadur dan diambil dari sastraalibi.blogspot.co.id., dari blog pribadi Ronny Agustinus (penerjemah buku-buku dari penerbit alternatif Marjin Kiri)

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...