Betapa berharganya seorang John
Steinbeck bagi warga Ocean View Avenue sehingga mengubah namanya menjadi
Cannery Row. Ini dilakukan atas penghormatan terhadap Steinbeck yang mengambil
Ocean View Avenue sebagai latar cerita novelnya ini (akan sangat membanggakan kalau hal ini juga dilakukan terhadap sastrawan-sastrawan kita di Indonesia). Jika ingin tahu di daerah
mana Ocean View Avenue berada, maka bukalah peta via goggle map, letaknya
berada di kota Monterey, California, Amerika Serikat. Cannery Row adalah daerah
pesisir menghadap laut, kawasan pemukiman yang berisikan orang-orang yang hidup
dari hasil lautan. Mungkin sebagian besar warga Cannery Row akrab dengan perahu-perahu
nelayan, desir angin asin, air pasang, dan tentu ikan-ikan yang menjadi
penghasilan keuangan mereka. Sesekali menyesap bir atau wiski ketika angin
dingin melanda. Atau membuka lebar-lebar pintu atau jendela ketika matahari
sedang terik-teriknya. “Cannery Row di Monterey California adalah puisi,” tulis
Steinbeck, “kebusukan, kebisingan yang menjengkelkan, cahaya, nada, kebiasaan,
nostalgia, dan mimpi. Cannery Row adalah kerumunan dan hamburan orang-orang,
kaleng dan besi dan karat dan serpihan kayu, aspal yang mengelupas dan tanah
yang penuh rumput dan timbunan sampah, pabrik-pabrik pengalengan sarden dan
dibangun dari pintu-pintu lipat besi, tempat-tempat kumuh, restoran-restoran,
rumah pelacuran, dan toko-toko kelontong kecil yang berdesak-desakkan, laboratorium,
dan rumah-rumah kumuh.” Itu sebagian kalimat pembuka novel yang diterjemahkan
Eka Kurniawan. Seperti gado-gado, seluruh kesan bercampur baur. Puisi dan
kebusukan, kebisingan yang menjengkelkan dan cahaya, nada dan kebiasaan, dan
nostalgia dan mimpi, yang semuanya memberikan semacam kesan Cannery Row
adalah tempat yang unik dan antik. Ya, Cannery Row adalah cerita orang-orang
pinggiran, dan yang dianggap tak berguna, namun masih memiliki hati yang luas
seperti lautan yang melingkupi daerah mereka. Orang-orang yang sama yang ditulis
Steinbeck sebagai germo, tukang tipu, judi, pelacur, anak haram jadah, tapi
jika dilihat dari lubang yang lain adalah “para santo, dan malaikat dan
orang-orang suci.” Cerita masyarakat kelas kedua. Cannery Row punya Le Chong,
yang diceritakan memiliki toko kelontong ketika segala kebutuhan dapat segera
terpenuhi, toko serba ada yang tak pernah memberikan diskon walaupun barang
dagangannya telah digigit tikus-tikus pengganggu. Cannery Row punya Doc, lelaki
tua yang gandrung dengan hewan laut, yang sering dicarinya di sekitar pesisir pantai California, pria aneh yang sering menyalurkan pesanan berkilo-kilo hewan laut
ke universitas-universitas, laboratoriun, bahkan museum, juga seseorang yang
menempati Western Biological, gedung yang befungsi sebagai laboratorium tempat menyimpan benda-benda aneh, segala jenis binatang-binatang laut, zat-zat
beracun, obat-obatan yang sulit diketahui untuk apa menyimpannya, dan
benda-benda yang diawetkan di dalam stoples yang berisikan ramuan khusus. Doc
memiliki Franky seorang bocah gangguan mental yang hanya mau tinggal
bersamanya di sebuah lemari yang disenanginya. Cannery Row memiliki Dora Flood, perawan tua berumur 50 tahun dengan gadis-gadis peliharaanya. Si induk semang yang
memiliki gaya etika seperti orang terhormat dari rumah pelacuran bernama Bear
Flag Restauran dengan insting bisnis yang memukau, yang membantu tagihan-tagihan
toko kelontong di sekitar Cannery Row. Di Bear Flag, siapa pun bisa memesan
segelas bir dengan memakan sandwich –suatu
istilah bagi orang-orang dewasa yang sering berdatangan di Bear Flag. Di
Cannery Row ada Mr. dan Mrs. Molly, pasangan suami istri yang menjalani hari
tuanya dengan tinggal di dalam pipa ketel uap bekas yang dibuang begitu saja di
hamparan tanah kosong. Dengan jeli mereka menyulap pipa-pipa bekas sebagai
tempat tinggal bagi gelandangan-gelandangan dengan cara menyewakannya. Di
Cannery Row tinggal juga Henry, pria yang senang melukis menggunakan kulit
kacang, tapi lebih suka membuat perahu sepanjang sepuluh tahun dan tak pernah
dibawanya berlayar karena selalu dibongkarnya untuk dibuat kembali dari awal. Dan,
Cannery Row juga memiliki Mack, seorang pemimpin dari segerombolan yang ia sebut anak-anak, yang
mempunyai kejeniusan seorang pengangguran untuk bertahan hidup dari keacuhan
Cannery Row, dengan rela bekerja apa saja melalui tipuan-tipuan handalnya. Mack
tinggal di sebuah bangunan tak terawat yang mirip gudang—setelah dipinjamkan
oleh Le Chong dengan sedikit tipuan yang cerdik-- bersama Hazel, seorang pemuda
26 tahun yang pernah bersekolah di sekolah tempat anak-anak bermasalah. Hazel memiliki kecakapan berbicara yang bisa memancing obrolan dengan menjebak lawan
bicaranya tapi tak memahami dengan baik apa yang seringkali diomongkan, bersama
Eddie, seseorang batender pengganti di sebuah pub bernama La Ida yang sering
kali mengumpulkan sisa-sisa bir, wiski, scotch, anggur, rum, gin, atau minuman
apapun yang tidak dihabiskan dari para pelanggan di bawah meja kerjanya untuk
dibawa pulang agar dapat diminum bersama lainnya, bersama Hughie yang memiliki
sedikit kecerdasan ketika memanfaatkan barang-barang bekas yang dipungutnya
entah di mana dan mampu diubahnya menjadi tempat tidur sederhana yang tidak
dipunyai teman-temannya, bersama Jones seseorang yang rela bekerja apa saja
untuk membantu kelompoknya agar dapat menikmati hari-hari tanpa harus
kelaparan, dan anggota terakhir, Gay,
pria yang memiliki kecakapan bak montir berbakat yang mampu menyulap seonggok
truk yang ditinggal begitu saja menjadi alat transportasi menguntungkan
bagi mereka. Mereka semua tingga di tempat bernama Palace Flophouse yang
dipermak menjadi tempat tinggal seadanya dari barang-barang rongsokan. Di
Cannery Row mereka semua saling bersinggungan, sehari-hari bertukar sapa, di
antara bising dan busuknya tempat tinggal yang asin dibawa angin laut. Tapi,
selalu ada saat-saat kebaikan entah muncul dari mana yang membuat satu dengan
lainnya harus memberikan yang terbaik untuk menunjukkan simpati dan tentu,
kebaikan itu sendiri. Dan, kebaikan itu adalah pesta sederhana yang menyatukan
mereka di bawah suatu persahabatan di malam hari yang dirancang oleh Mack
beserta gerombolannya. “Si Doc itu sahabat sialan yang baik hati, ia akan
memberi kalian seperempat galon setiap waktu. Ketika tak sengaja aku terluka
ia menyiapkan perban baru setiap hari. Sahabat sialan yang baik hati.” “Aku
telah berpikir sangat lama… apa yang akan kita lakukan untuknya—sesuatu yang
manis. Sesuatu yang ia suka.” Kemudian rencananya ini menyebar dari mulut ke
mulut seperti rambatan angin yang menyelinap ke setiap jendela untuk memberikan
kejutan terhadap Doc–dan akhirnya adalah pesta dan kebahagiaan bagi mereka bersama.
Sangat jarang menemukan orang semacam Mack, apalagi seorang gelandangan yang
memiliki hati murni untuk membalas kebaikan seseorang dengan sesuatu harta yang tidak ia
miliki di sepanjang hidupnya. Di mana-mana suatu pesta perayaan
seringkali dilakukan oleh orang-orang berduit, orang-orang yang memiliki akses
yang besar terhadap kemeriahan dan keberlimpahan. Dengan tujuan kegembiraan
yang seringkali malah sebagai ajang pamer diri ketika mampu mengambil langkah
keberhasilan yang tak dapat orang lain tiru. Dengan kata lain suatu pesta yang
tak berfaedah, bukan sebagai ajang simpati dan terima kasih. Tapi, Pesta Mack ini
bukanlah pesta yang meriah, namun cukup untuk menarik setiap dari mereka menyiapkan
waktu dan kado khusus untuk menunjukkan kebaikan satu persatu di antara mereka.
Suatu pesta yang sebenarnya adalah balas budi bagi kehidupan mereka, yang
memiliki orang-orang yang rela melalukan apa saja demi suatu kebaikan yang
dapat dikenang bersama. Pada akhirnya suatu pesta yang dikerjakan bersama-sama
tanpa bersembunyi dari kenyataan pahit
dan kere, yang mereka alami sehari-hari. Suatu kebaikan yang akan
dibicarakan dan dibagi di sisa usia warga Cannery Row.
Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...