Yang hilang belakangan ini saya
kira adalah keagenan yang dimiliki setiap orang. Keagenan saya kira penting. Di
situ “aku-diri” mengaktual. Dengan kata lain, keagenan adalah sifat otonom “aku-diri”
untuk bebas menentukan pilihan-pilihannya. Namun, rasa-rasanya menjadi agen
yang sadar diri di waktu ketika menguatnya tekanan kelompok menjadi agak riskan
akibat tidak adanya penghargaan terhadap individu. Orang-orang akan merasa kurang enak jika tidak mengikuti pilihan-pilihan kelompok
yang sering kali mengeliminasi hak-hak pribadinya. Ya, kebanyakan dari kita masih khawatir jika
merasa berbeda. Takut jika memilih jalan yang berlainan dari kebanyakan. Barangkali
ini akibat telah lama kemerdekaan individu disingkirkan dari pemahaman kita. Kita
lebih sering diingatkan tentang kebaikan kelompok, keutamaan bersama, dan juga
kemuliaan kelompok, tinimbang keberadaan individu. Bahkan, telah lama hidup
kita dibentuk oleh kokohnya sistem. Kuatnya otoritas, dan ajegnya kebersamaan. Sehingga yang terjadi
adalah jika ada kecenderungan-kecenderungan yang berbeda bermunculan maka akan
mati sebelum berkembang. Seakan-akan diri kita tidak memiliki arti sejauh
menjadi diri pribadi. Kita hanya disebut bermakna jika diri kita diartikan sebagai
bagian dari kawanan. Tubuh diri kita mesti menjadi bagian tubuh kawanan. Tubuh masyarakat.
Mentalitas kawanan saya kira merupakan watak pribadi yang menjadi ciri umum
kita. Kebanyakan kita bagai kawanan anjing-anjing yang hanya mengikuti insting
alam untuk hidup berkelompok. Di luar dari itu, jika kita seorang diri, kita
malah merasa terasing, merasa bukan apa-apa. Tanpa daya. Makanya, eksesnya
terhadap kehidupan kita, hampir semua yang kita miliki adalah ciri khas kelompok;
selera, minat, hobi, cara berpikir, atau bahkan hidup kita sendiri.
rasa-rasanya kita belum bisa menjadi pribadi yang otonom. “Aku-diri” yang
berani memilih cara sendiri, pilihan sendiri. Bukankan kita ini dilahirkan
sendiri-sendiri. itu artinya hidup kita punya jalan dan caranya sendiri. Otak
kita tumbuh sendiri, di kepala kita sendiri. makanya, seharusnya keunikan diri
kita juga harus dihargai. Kemerdekaan individu. Dengan begitu tanggung jawab
menjadi jelas artinya. Secara etis segala konsekuensi moral mau tidak mau menjadi
tanggungan kita sendiri. Bukan tanggungan kelompok. Menjadi aneh rasanya, jika
kita mau disebut individu yang bertanggung jawab tetapi sebelumnya kita tidak
diberikan ruang untu memilih sendiri. Bagaimana mungkin seseorang harus
dimintai tanggung jawabnya jika dia tidak memiliki kebebasan? Maka itu semuanya
harus dimulai dari diri pribadi. Seorang yang sadar diri. Dari situlah keagenan
muncul. Yakni rasa keharusan untuk bertindak. Mau melakukan sesuatu dengan
kemerdekaannya. Dan mau bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.
Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...