Langsung ke konten utama

Rausyanfikr atau Ilmuwan?

Rausyanfikr bukan terma yang sepenuhnya tepat disinonimkan dengan istilah free thinker, atau dalam terjemahan Inggrisnya yang disebut intellectual. Selain secara genetis dua istilah ini lahir dari alam pikir dan cara pandang yang berbeda, Dr. Ali Syariati, seorang sosiolog abad 20, menyebutkan beberapa kategori perbedaan di antara keduanya.

Pertama, rausyanfikr (orang-orang yang tercerahkan) berbeda dari ilmuwan yang menemukan "kebenaran" tinimbang "kenyataan". Dalam hal ini, "kebenaran" berbeda dari "kenyataan" yang mana "kenyataan" sering kali hanyalah apa yang sering tampak dipermukaan. Sementara kebenaran adalah capaian atas sesuatu yang "digali" di dalam selimut kabut "kenyataan".

Seorang rausyanfikr banyak mencurahkan pikiran-jiwanya untuk menemukan kebenaran lebih dari hanya gejala-gejala faktuil.

Kedua, ilmuwan bekerja atas dasar menampakkan fakta sebagaimana adanya. Sikap etis ini membuat seorang ilmuwan berjarak dari fakta yang diamatinya. Di titik ini sikap etis kadang berseberangan dengan sikap politis seorang ilmuwan. Sementara seorang rausyanfikr, jauh lebih dari pada memaparkan fakta. Dia menilai fakta sampai kepada titik penilaian sebagaimana seharusnya fakta itu sebenarnya.

Imuwan menggunakan bahasa universal. Akibatnya ilmuwan kadang susah menempatkan bahasanya pada kepentingan atau keberpihakan terhadap kaum tertentu. Bahasa ilmuwan adalah bahasa yang selain universal juga kerap abstrak. Di titik ini bahasanya tidak praktis dan tidak adaptabel dengan kebutuhan masa kini.

Sedangkan rausyanfikr berbahasa dengan bahasa kaumnya. Ali Syariati menyamakan kedudukan ini sebagaimana nabi-nabi. Ibarat nabi, rausyanfikr berbicara seakan-akan menggunakan lidah kaumnya. Bibir kaumnya, atau bahkan cara berpikir kaumnya. Ini tiada lain untuk mengikuti tingkat pemahaman kaumnya yang tidak semuanya mampu menyerap bahasa teknis keilmiahan.

Keempat, seorang ilmuwan dituntut agar netral ketika menjalankan pekerjaannya. Sebagai suatu profesi, ilmuwan malan lebih sering menjauhkan diri dari konflik kepentingan yang dapat mengancam pekerjaannya dalam dunia akademik. Sedangkan rausyanfikr malah harus melibatkan diri pada ideologi. Itu artinya seorang rausyanfikr sehari-hari dalam profesinya menceburkan diri dalam "sejarah" masyarakatnya.

Itulah sebabnya, sebagai sosiolog, Dr. Ali Syariati melihat transformasi sosial hanya bisa dijalankan ketika rausyanfikr ikut terlibat di dalamnya. Sejarah, kata Syariati dibentuk hanya oleh kaum rausyanfikr.

Artinya dari kategori di atas, rausyanfikr lebih dari sekadar ilmuwan yang sibuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Atau alih-alih menjadi seorang sarjanawan yang telah menempuh tingkatan studi tertentu.


Rausyanfikr secara kategoris membedakan dirinya sebagai kelompok orang yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, membaca dan menemu-tangkap aspirasi masyarakatnya, kemudian merumuskan skema kerja sebagai gerakan alternatif dengan bahasa yang dapat ditangkap indera masyarakat dalam memecahkan suatu soal fundamen yang dialami.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...