![]() |
John Locke (1632-1704) Filsuf berkebangsaan Inggris Bapak liberalisme, terkenal dengan konsep Tabula Rasa-nya |
ILMU dan ideologi dua hal yang berbeda, walaupun keduanya bisa saling berkelindan. Ilmu ditelusuri dari fakta-faka, ilmiah, dan sifatnya mesti objektif nan bebas nilai.
Sementara ideologi justru
berbeda, berkebalikan sifatnya, bisa bukan atas fakta-fakta, sifatnya
nonilmiah, dan bertendensi subjektif.
Pengertian umum ini kadang masih
diyakini ilmuwan Barat akibat konteks sejarah pemikiran yang mendasarinya.
Dominannya cara pandang saintis yang merelatifkan pandangan-pandangan
metafisika, sedikit banyak membuat antinomi ini masih berlaku hingga sekarang.
Sebagai contoh, agama yang
sebagian besar dibangun dari pandangan metafisis tidak dimungkinkan untuk
dijadikan optik atas suatu soal akibat sifatnya yang tidak ilmiah. Bahkan,
kecenderungan metafisika yang dimiliki agama disamakan sebagai ideologi yang
alih-alih mampu dipertanggungjawabkan sebagai ilmu yang ilmiah daripada
sifatnya yang dogmatis.
Titik puncak dari pandangan seperti
ini banyak ditemukan di kalangan pemikir abad pencerahan Eropa. Pemikir seperti
--untuk menyebut beberapa-- David Hume, John Locke, Sigmund Freud, August Comte,
hingga Karl Marx adalah orang-orang yang mengidentikkan pemikirannya dengan
penolakkan terhadap segala hal yang berbau metafisika.
Keyakinan terhadap ilmu (sains)
yang dipercayai mampu memberikan perubahan, justru mengalami perbedaan mendasar
dari pikiran-pikiran Ali Syariati, seorang sosiolog abad 20.
Selain memperkenalkan analisis
transformasi masyarakat melalui piramida kebudayaannya, Ali Syariati memberikan
pengertian lain tentang ideologi berdasarkan faktor-faktor etimologisnya.
Walaupun mengalami simplifikasi --berbeda dengan cara pendefenisian selama ini
yang cenderung melihat ideologi dari bagaimana terbentuknya-- cara sederhana
ini membantu kita untuk lebih mudah memahami ideologi itu sendiri.
Secara teknis-etimologis,
ideologi terbentuk dari dua suku kata: ideo dan logos. Ideo berarti pemikiran,
khayalan (dari sinonimitas inilah pengertian ideologi dari cara pandang marxis
diambil), konsep, dan atau keyakinan. Sementara logos berarti ilmu, sabda, dan
atau pengetahuan. Singkatnya, ideologi berarti penganjur keyakinan yang
didasarkan atas pengetahuan tertentu.
Dalam konteks kelas masyarakat,
ideologi bisa berarti pemahaman yang subjektif dari golongan tertentu. Menurut
Ali Syariati, ideologi bisa diwujudkan tergantung pemahaman yang ditaati oleh
suatu kelompok, ras, atau bangsa tertentu.
Dari segi sifatnya, ideologi
lebih cenderung menarik penganutnya kepada komitmen tertentu. Bahkan ideologi
behubungan langsung dengan ketertarikan yang menyebabkan berubahnya pikiran
penganutnya. Hal ini berbeda dengan ilmu yang tidak sama sekali mununtut
komitmen apa-apa selain keterkaitan di antara ilmu itu sendiri.
Sebagai contoh, Ali Syariati
mencontohkan tidak adanya pengaruh apa-apa dari penemuan hukum gravitasi bagi
fisikawan. Hukum objektif yang ditemukan sebagai gaya gravitasi tidak mengubah
isi pikiran dan sikap sama sekali dari seorang fisikawan.
Hal ini karena hukum gravitasi
adalah hukum objektif sebagaimana pengamatan yang ditemukan atasnya. Pikiran
sang fisikawan ibarat cermin yang hanya memantulkan gejala-gejala yang
ditemuinya. Dengan kata lain cermin tidak memengaruhi objek, dan sebaliknya,
objek tidak mengubah cermin sama sekali.
Melalui kontestasi ilmu
demikian, Ali Syariati mengurai dua macam penilaian yang secara kategoris akan
memperlihatkan secara dikotomik perbedaan ilmu dan ideologi secara metodelogis.
Pertama, judgement de faite. Model penilaian ini adalah tahap penentuan
nilai yang bersifat kategoris. Judgement de faite hanya beroperasi ketika suatu
realitas dijelaskan berdasarkan ciri, bentuk, sifat, hubungan, dan modelnya,
yang hanya bersifat analitik. Keyakinan ini sering dibangun dengan bunyi
proposisi "sesuatu ini adalah...", "itu adalah...", atau
"maka ia adalah..."
Judgement de faite dengan begitu
hanya bekerja dengan maksud menyatakan fakta sebagaimana fakta itu sendiri
tanpa melibatkan penilaian lain di luar dari dirinya.
Model penilaian yang kedua
adalah judgement de valeuer.
Penilaian ini disebut Ali Syariati sebagai penilaian tentang nilai.
Artinya, penilaian model kedua
ini berusaha membangun pertanyaan-pertanyaan atas temuan-temuan dari penilaian
tahap sebelumnya. Misalnya, hukum objektif gravitasi sebagai fakta yang
dinyatakan sebagai suatu hukum yang mengikat benda-benda di bumi agar tidak
melayang ke angkasa, dinilai apakah pengertian itu memiliki dampak etis bagi
masyarakat?; baikkah hukum itu?; apa berbahayanya hukum gravitasi?; apa
manfaatnya?; apa negatifnya?; dlsb.
Dengan kata lain, judgement de
valeur, adalah jenis penilaian yang memperkarakan secara etis dan epistemologis
nilai atas faka itu sendiri.
Menurut Ali Syariati dua
penilaian ini sering sulit dipisahkan, oleh itu mesti mampu dibedakan.
Sebagai contoh, dalam
membincangkan gerakan ekstremis agama, atau fundamentalis agama ataupun pasar
di Indonesia, dalam kerangka judgement de faite, maka kita harus menyatakannya
dengan cermat seperi apa pengaruhnya terhadap nasionalisme negara, bagaimana
dia berkembang, bagaimana gerakan ekstremis agama menguasai cara pandang
sebagian masyarakat Indonesia, apa dampaknya mestilah objektif sebagaimana
kejadian-kejadian yang sebenarnya.
Dengan kata lain, kita mesti
menahan penilaian dan sentimen pribadi ketika menggambarkan keseluruhan fakta
yang ada. Ketika hal ini tidak diindahkan, maka itu akan merusak secara objetif
dan metodelogis fakta-fakta yang kita temui.
Di tahapan kedua, yakni
judgement de valeur, barulah sang pengamat dimungkinkan menguji
temuan-temuannya dengan menganalisis, mengevaluasi, dan memutuskan, apakah
ektremisme atau fundamentalisme agama memiliki kebaikan, kekuatan positif,
ataukah berdampak progresif terhadap kemajuan Indonesia ataukah tidak. Apakah
ekstremisme agama memberikan manfaat yang jauh lebih berfaedah; apakah kekuatan
itu menguatkan rasa cinta tanah air atau malah sebaliknya?
Tahap pertama (judgement de
faite) kita hanya berusaha memaparkan fakta berdasarkan temuan-temuan yang
ditemukan, sementara di tahap kedua (judgement de valeur) kita berusaha
mengkaji fakta-fakta berdasarkan perangkat nilai dan kebenaran yang mungkin
kita terima atau tidak sama sekali dipakai.
Menurut Ali Syariati, di tahap
kedualah ilmu berubah menjadi jauh lebih ideologis. Di tahap inilah
temuan-temuan itu dikaji dalam konteks apa manfaat teoritis dan praktisnya bagi
kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang.
Hatta, masih menurut Ali
Syariati, ilmu di tahap kedua inilah yang membedakan ideologi dengan jenis
pengetahuan lainnya.