Semalam seseorang menanyakan apa
maksud kutipan di tulisan yang saya upload di blog saya. Mungkin dia merasa ada
yang salah dari motivasi saya mengutip pernyataan itu. Bukan apanya, kutipan
itu adalah perkataan dari Niccolo Machiavelli, pemikir politik modern yang
dinyatakan negatif akibat pemikiran-pemikirannya yang melabrak etika dalam
politik kepemimpinan. Apalagi Machiavelli, kadang disebut sebagai “setan besar”
yang banyak dimusuhi kaum moralis dan agamawan.
Ini kutipan yang “digugat” itu:
berbahagialah orang yang hidup di zaman yang korup.
Pernyataan-pernyataan kontroversial
macam itu memang nampak anomali dalam keadaan masyarakat yang selama ini sangat
menyukai hal-hal yang berbau normatif. Pernyataan-pernyataan yang kontradiktif
secara moral memang sulit diterima oleh masyarakat yang sudah terbiasa dengan
cara berpikir konvensional. Bahkan
sistem pemikiran yang rumit-rumit susah diterima dengan tanpa harus
menyertakan penalaran kritis di dalamnya. Sehingga jika ada yang pernyataan
yang sedikit saja melenceng dari “norma-norma” berpikir masyarakat, maka akan
dianggap sebagai penyimpangan, dan kemungkinan besarnya adalah sebuah
kesalahan.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin
orang dapat bahagia dalam keadaan zaman yang korup? Orang dapat mengatakan
“sekarang saya baik-baik saja, walau zaman banyak mengandung
kesalahan-kesalahan?” Atau, bisakah orang dapat hidup normal, walau di
sekelilingnya penuh dengan masalah-masalah? Etiskah tindakannya itu? Perbuatan
baikkah jika demikian, dan jika memang baik, patutkah seseorang berbahagia?
Baiklah, memang hal mendasar yang
mengundang kesalahan dari kutipan itu adalah tidak dinyatakannya secara
langsung hubungan logis dengan isi tulisan yang saya muat. Dan juga, akan
sangat mudah ditemukan masalahnya jika suatu pernyataan kehilangan konteks
penuturannya, atau, dalam tulisan saya, ia kehilangan konteks penjelasannya.
Alasan yang paling masuk akal,
mengapa ada tanggapan negatif dari seperti si penanya di atas, adalah dengan
sebelumnya membangun presuposisi (prasangka) tentang siapa Machiavelli itu
sebenarnya. Selain narasi selama ini yang “miring” tentang pemikir
berkebangsaan Itali ini, juga akibat sang penanya telah terlanjur memandang
Machiavelli sebagai orang yang tak layak diterima pemikirannya.
Dalam ilmu-ilmu sosial, orang ini
terjebak ke dalam kesalahan berpikir yang disebut fallacy ad hominem, yakni
penilaian atas suatu pernyataan dari siapa sang penuturnya. Jika si penuturnya
adalah orang yang dikenal baik, maka otomatis apa pun pernyataannya dianggap
sudah pasti benar. Begitu juga sebaliknya. Dalam kasus Machiavelli ini, karena
sudah mengganggap Niccolo ini orang yang buruk, maka apapun pemikiran dan
pernyataannya sudah pasti salah.
Secara hermeneutik, suatu
pernyataan akan sangat bergantung maknanya dengan maksud penutur, sang pembaca,
dan teks itu sendiri. Masalah akan sangat pelik jika, ada suatu pernyataan yang
sudah kehilangan penuturnya. Dalam kasus pernyataan Machiavelli di atas,
masalah ini yang muncul. Sulit menemukan makna yang otentik akibat sang
penuturnya telah tiada. Akibatnya, konfirmasi atas teks sudah tidak dapat
dilakukan lagi.
Namun, bukan tidak mungkin makna
atas suatu teks tidak dapat kita tangkap akibat sang penutur telah tiada. Jika
satu-satunya cara memaknai hanya dimungkinkan melalui ada tidaknya sang
penutur, maka akan sangat problematis jika itu diperhadapkan kepada pernyataan
atau teks-teks dari masa silam seperti buku-buku sejarah, buku kuno, atau
bahkan kitab-kitab sakral semisal hadis dan kitab suci.
Bagaimana mungkin memahami kitab
suci, misalnya, jika itu bergantung sepenuhnya pada sang penutur? Bukankah
kitab-kitab suci beberapa di antaranya tidak memiliki “sang penutur”?
Maka, ada salah satu jalan untuk
dilakukan apabila menemukan suatu teks jika sang pengarangnya telah tiada. Atau
ketika mendapatkan teks yang berasal dari masa lampau. Jalan hermeneutik ini
adalah metode empati yang diperkenalkan Schleiermacher, filsuf hermeneutik
modern. Metode empati yang dimaksudkan Schleiermacher dijalankan dengan prinsip
yang dia sebut “lingkaran hermeneutik” antara “memahami partikularitas melalui
keseluruhan” dan “memahami keseluruhan dari partikularitas”.
Pertama-tama, ada penjelasan
sederhana tentang apa itu metode empati. Menurut Schleiermacher ketika ingin
menafsirkan suatu teks, si penafsir harus mengambil jalan dengan cara
membayangkan dirinya seolah-olah adalah sang pangarang teks itu sendiri. Dengan
kata lain, sang penafsir didorong “menjadi” sang pengarang untuk “mengalami”
dalam momen apa yang melatarbelakangi sang pengarang mau menuliskan teksnya.
Dengan cara ini, selain penafsir
dimungkinkan untuk mengetahui situasi diri sang pengarang. Si penafsir dapat
masuk ke dalam “alam pikir” sang pengarang, membayangkannya,
menimbang-nimbangnya, dan merenung-renungkan bagaimana ketika sang pengarang
berpikir menuliskan teksnya. Dan juga membuka jalan untuk mengetahui situasi
sosial-budaya-politik sang pengarang ketika “membangun” kembali keadaan otentik
sang penulis dalam menangkap maksud yang
“sebenarnya” dari suatu teks.
Ketika mengikuti kaidah
“kesebagian-keseluruhan” dan “keseluruhan-kesebagian” dari Schleiermacher, itu
berarti pentingnya relasi pemahaman antara sang pengarang dengan keseluruhan
teksnya. Caranya, untuk memahami teks, si penafsir melakukan jalan masuk dari
diri sang pengarang untuk “melihat” keseluruhan jaringan teks sang pengarang.
Sementara dengan model
“keseluruhan-kesebagian” yakni sang penafsir melakukan jalan sebaliknya dengan
cara memahami sang diri pengarang dari keseluruhan teks-teksnya.
Prinsip lingkaran hermeneutis juga
dapat diartikan dengan cara kita diharuskan “membuka” keterhubungan teks-teks
yang ingin dipahami dengan teks-teks lain yang lebih luas demi mengungkap
“timbunan” makna. Itu artinya, penting mendudukkan teks dalam kaitannya dengan
teks-teks lain yang terkait yang pernah ditulis sang penulis itu sendiri.
Artinya tidak ada teks yang dapat dipahami seluruhnya tanpa keterhubungannya
dengan teks lain. Suatu makna hanya bisa dipahami jika terjadi
intertekstualitas.
Itulah sebabnya sangat mungkin
terjadi kesalahan ketika ingin memahami ungkapan “berbahagialah orang yang
hidup di zaman yang korup” ketika diartikan begitu saja tanpa mengikutkan
perangkat epistemologik dalam menangkap suatu maksud.
Artinya yang lain, untuk mau menangkap
maksud yang sebenarnya dari teks yang dikutip itu, pertama mesti memahami diri
Machiavelli dengan cara menjadi dirinya saat mengungkapkan teksnya itu tadi.
Ini secara beriringan dengan suatu proses memahami dalam situasi zaman seperti
apa teks itu ditulis oleh pengarangya.
Kedua, dengan model lingkaran
hermeunetis, pemaknaan akan jauh lebih baik jika melibatkan teks-teks di luar
teks yang ingin diartikan itu tadi. Dengan cara itu, maka penting mengetahui
keseluruhan teks yang pernah ditulis Machiavelli, atau yang berkaitan
dengannya, untuk menangkap maksud “sebaris” teks yang dikutip di atas.
Model lingkaran hermeunetis semakin
lengkap jika sebelumnya juga melakukan jalan masuk untuk mengenal alam pikiran
Machiavelli melalui profil dan sejarah
hidupnya di saat hendak memahami keseluruhan teks-teksnya.
Teks “berbahagialah orang yang
hidup di zaman yang korup”, secara harafiah memang menyesatkan (saya menduga
cara mengartikan seperti ini banyak dialami orang-orang masa kini ---termasuk
orang yang bertanya tadi). Tapi, jika sedikit mau “bersusah payah” mengikuti
cara penafsiran Schleiermacher, kemungkinan besarnya ada perubahan dalam
menangkap makna yang “tersembunyi” di balik teks yang dimaksud.
Sekarang dengan bantuan perangkat
pemahaman yang dikenalkan Schleiermacher, saya mengusulkan kepada si penanya
untuk menerapkan cara yang ditawarkan si filsuf asal Jerman ini untuk memaknai
teks yang saya kutip itu.
Namun, sedikit bocoran, pemikir
politik modern ini adalah seorang realis, apa yang diitulisnya adalah apa yang
ia saksikan. Jadi jika banyak ditemukan teks-teksnya yang selama ini disebut “
tujuan menghalalkan segala cara” dalam etika politiknya, maka itu merupakan
cerminan langsung dari keadaan zamannya
yang tidak menentu saat itu.
Selain itu, Machiavelli memiliki
pandangan yang humanis atas manusia. Di zamannya, Machiavelli-lah pemikir
modern pertama yang memisahkan politik (publik) dari kekuatan adi kodrati
metafisis ke tangan manusia. Urusan politik bagi Machiavelli merupakan urusan
akal budi, bukan kekuatan di luar manusia. Manusia harus mandiri mengatur
urusannya, termasuk dalam urusan publik, yang berarti politik semata-mata
adalah ekspresi akal budi manusia.
Menurut Robertus Robert, selama ini
Machiavelli sangat diidentikkan dengan karyanya yang berjudul “Sang Pangeran”
sehingga banyak mengundang apresiasi negatif terhadap pemikirannya. Bertolak
dari karya itulah, semata-mata penilaian atas pemikirannya disandarkan.
Padahal menurut Robert, jika
membaca karyanya yang lain terutama Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio,
maka kesan berbeda akan segera nampak. Di karya itulah pandangan-pandangan
humanis Machiavelli banyak diungkapkan. Bahkan Robertus Robert mengatakan,
karya itu sangat jauh berbeda dengan karyanya “Sang Pangeran” yang dianggap
merendahkan moralitas itu.
Machiavelli yang seorang humanis,
sangat kritis terhadap kekuatan adi kodrati yang terlembagakan sampai bersifat
totaliter terhadap cara pandang manusia. Akibatnya, manusia menurutnya harus
mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa disandarkan kepada kekuatan selain
daripada kekuatan akal budinya. Manusia harus mandiri, menjadi mahluk otonom
yang bertanggung jawab dan mampu berdiri di atas cara pandangnya sendiri. Dari
pandangan ini pula, perspektif manusia menurut Machiavelli adalah mahluk bebas
non dominasi.
Melalui pandangan inilah konsep
politik Machiavelli juga sebernanya tidak bisa dan harus menyertakan manusia
sebagai subjek politik yang mengedepankan akal budi. Dalam situasi politik yang
memerlukan kepastian manusia membutuhkan apa yang disebut Machiavelli sebagai
virtu, yakni kualitas kemanusiaan berupa kebajikan, ketangkasan, keberanian dan
kecerdasan yang dimiliki manusia. Virtu sangat berbeda dengan fortuna, yakni
apa yang dikiaskan Machiavelli sebagai keberuntungan, ketidakpastian, dan
ketidakberaturan yang sering kali melingkupi dan “mengancam” subjek politik
dalam mengambil keputusan-keputusan yang bersifat substansial dan fondasional.
Dengan kata lain, subjek politik
harus pandai menempatkan dirinya dalam segala situasi yang serba tak menentu.
Manusia mesti mampu bergerak dengan kualitas kemanusiaannya di antara dua
pendulum yang saling tarik menarik, yakni virtu dan fortuna.
Dalam kaitannya dengan maksud
inilah, kutipan yang saya sematkan itu dapat sedikit membantu menerangkan makna
apa yang ada di balik pernyataan di atas. Berbahagialah orang yang hidup di
zaman yang korup, dengan kata lain ingin mengatakan bahwa di zaman yang korup,
subjek politik yang ideal adalah seseorang yang mampu merealisasikan dan mengembangkan
kualitas akal budinya untuk menjadi warga politik yang baik. Di zaman yang
korup-lah, subjek politik menemukan peluang dan momentumnya demi mempertahankan
kehidupan publik melalui kabjikan virtu yang dipunyainya.