Berbahagialah orang yang hidup di
sebuah zaman yang korup (Machiavelli)
Menarik menyaksikan penuturan
Robertus Robert, sosiolog dari UNJ dalam suatu kuliah online tentang konsep
republikanisme yang diambil dari ide-ide dasar Aristoteles, yang ternyata
mengandung kecacatan. Apalagi menurut pendakuannya, cacat bawaan itu bersifat
epistemik lantaran dari awal pemisahan res privata dan res publika sangat
diwarnai dengan aura maskulin yang kuat.
Sebelumnya, dalam imajinasi politik
Aristoteles, pembelahan ranah privata dan publik didasari dengan pembelahannya
atas kepemilikan bawaan yang dipunyai dan tak dipunyai antara laki-laki dan
perempuan.
Pertanyaan mendasar dari
Aristoteles adalah apa perbedaan
fondasional antara manusia dengan hewan? Dari pertanyaan ini akan nampak
kemudian pandangan "maskulin" Aritoteles mengenai pembagian kualitas
manusia yang sebenarnya akan terang hanya dimiliki oleh laki-laki, tapi tidak
dengan perempuan.
Berdasarkan pendakuan Robertus
Robert, pendasaran Aristoteles dilihat dari kemampuan manusia dalam hubungannya
dengan bahasa dan kemampuan merasakan rasa sakit. Binatang menurut Aristoteles
hanya memiliki satu kemampuan yakni phone. Menurut Robertus Robet phone adalah
kemampuan bunyi yang dimiliki hewan ketika mengalami rasa sakit.
Disebutkan pula, dalam keadaan
lainnya, atau dalam pelbagai macam ekspresi, binatang hanya mampu mengutarakan
kualitas kehewanannya hanya dengan bunyi. Melalui bunyi, hewan menyampaikan
keadaan biologisnya.
Sementara manusia, selain memiliki
kemampuan phone, menurut Aritoteles memiliki logos. Logos adalah kualitas
manusia yang diekspresikannya dalam kemampuan linguistik melalui bahasa. Dengan
kata lain, melalui kemampuan ini manusia mampu menangkap dan mengutarakan
simbol-simbol melalui kemampuan tindakan linguistiknya.
Itulah sebabnya dalam menentukan
keadilan misalnya, phone, kemampuan yang dimiliki hewan, tidak mampu dipakai
sebagai perangkat epistemologis dalam menentukan apa yang adil dan sebalinya,
apa yang tidak adil. Hanya dengan logoslah, manusia mampu mengekspresikan
kemampuannya dalam membunyikan apa yang baik, apa yang adil melalui kualitas
kebahasaannya.
Namun, menurut Aristoteles yang
hanya memiliki kemampuan logos hanyalah laki-laki. Perempuan dikategorikan
Aristoteles bagaikan hewan yang hanya memiliki kemampuan phone. Begitu pun
budak, dalam hirarki sosial Aristoteles, dikelompokkan satu kasta dengan
perempuan di bawah laki-laki sebagai satu-satunya kelompok yang menempati kasta
tertinggi.
Afirmasi atas logos dikatakan
Aristoteles hanya dapat ditemukan dalam polis. Polis dalam bayangan
sosiologis-antropologis Aristoteles adalah suatu wahana dan wadah tindakan
tempat apa yang adil, yang baik, yang indah dapat dieksplorasi dengan perangkat
epistemologis logos.
Secara geografis-antropologis,
polis merupakan pusat yang mempertemukan segala kemampuan yang dimiliki manusia
dalam mengandaikan eudaimonia (apa yang terbaik/kebahagiaan) dapat
dimungkinkan.
Tapi, kembali kepada pemilahan
manusia Aristoteles, polis pada akhirnya hanyalah medan ekspresif yang paling
afdol diisi oleh laki-laki, oleh sebab hanya laki-lakilah yang memiiliki
kemampuan bahasa atau logos.
Pemetaan yang hanya memusatkan
polis sebagai wahana deliberatif bagi kaum laki-laki, perempuan yang memiliki
kemampuan phone pada waktu dan tempat yang lain akhirnya dipinggirkan ke
wilayah oikos.
Oikos sebagai antipoda polis
memiliki karakter yang berlawanan dengan polis itu sendiri. Jika polis
berkarakter logis, terbuka, dan emansipatif, maka tidak bagi oikos yang
bersifat nonlogis, tertutup, dan hirarkis.
Dalam konteks politik, polis adalah
ruang publik yang terbuka, dan hanya bisa diperankan oleh laki-laki, maka oikos adalah ruang rumah tangga yang
merupakan ranah privat bagi perempuan dan budak.
Berdasarkan alur demikian, menurut
Robertus Robert, Aristoteles memulai pemilahan antara yang polis dan yang oikos
yang nanti dipertajam oleh Cicero menjadi polis yang berpadanan dengan res publik dan oikos yang berpadanan dengan
res privata.
Dalam konsep ini, polis adalah
wahana tempat tindakan memperjuangkan kebaikan bersama berdasarkan telosnya
(tujuan akhir). Menurut Aristoteles, tujuan akhir dari manusia adalah
penerjemahan logos tentang apa yang terbaik (kebahagiannya) baginya, dan dalam
masyarakat kebaikan bersama diatur berdasarkan prinsip common good (kebaikan
tertinggi bersama).
Kelak berdasarkan pemilahan ini,
yang diandaikan sebagai politik hanyalah apa yang tersedia melalui polis,
sementara oikos dikategori sebagai nonpolitik beserta implikasi
sosio-antropologiknya.
Jika dilihat dari kacamata
-pandangan feminis, terang sekali secara epsitemik pendasaran atas yang polis
dan yang oikos sedari awal mengalami bias gender. Inilah yang disebut dari awal
sebagai cacat bawaan, yakni ketika mengandaikan yang politik sekaligus yang
publik itu sendiri adalah hanya merupakan representasi logos yang berwatak
maskulin. Bahkan gagasan tentang politik adalah gagasan atas afirmasinya
terhadap laki-laki sebagai satu-satunya kelompok yang sangat berperan melalui
kemampauan logosnya.
Lantas apa hubungannya dengan
gagasan republikasnisme yang nyatanya menjadi bentuk negara Indonesia?
Menurut Robertus Robert, melalui
ide-ide dasar yang sudah dimulai Aristoteles ini, kita dapat menemukan titik
terang berkenaan dengan apa yang diandaikan sebagai politik itu sendiri.
Namun ada poin menarik yang
disampaikan Robertus Robert berkenaan dengan momen-momen politik ketika
Indonesia membicangkan bentuk negara dalam sidang BPUPK. Menurut Robert ide-ide
dasar dalam kosakata politik Indonesia tentang republik muncul di tahap ini.
Dalam salah satu sidang BPUPK-PPKI Soekarno, Muh. Yamin dan Joko Sutono
berdebat untuk merumuskan apa bentuk negara. Muh. Yamin berargumen bahwa
republik dipilih agar proklamasi kemerdekaan akan terus langgeng, kedua agar
setiap keputusan yang akan diambil setelah pasca kemerdekaan bersifat legitim
(sah). Bersifat legitim untuk membedakan bahwa semua keputusan politik diambil
atas nama publik bukan atas keturunan (feodalisme). Argumen ini sekaligus
“bantahan” terhadap Joko Sutono yang menginginkan bentuk negara kerajaan.
Syahdan, keputusan untuk mengambil bentuk republik dinyatakan Robert akhirnya
“hanya” melalui jalan voting.
Atas dasar asumsi ini, Robert
mengemukakan bahwasannya gagasan republik dipilih hanya didasarkan kepada
pilihan politik diferensiasi dengan politik kekuasaan kolonialisme dan
feodalisme yang bercokol lama di Nusantara. Dengan cara sederhana itu, republik
hanya dipilih untuk membedakan secara karakter dan watak kekuasaan politik yang
pernah ada dalam sejarah Indonesia.
Dengan kata lain, tidak ada
elaborasi mendalam secara filosofis-politik-antropologis yang dipertemukan
dengan “pergesekan” antara gagasan untuk mempertajam gagasan republik sebagai
bentuk negara yang akan diambil.
Imbas betapa sederhananya gagasan
republik yang dipilih saat itu, dan tidak ada lagi penggalian secara mendalam
mengenai gagasan politik republikanisme itu sendiri, mengakibatkan persoalan
antara yang publik dan yang privat, yang politik dengan yang nonpolitik, antara
yang etis secara publik dan yang etis secara individual, menjadi problematis
dan berimplikasi secara nyata dalam kehidupan publik selama ini.
Itulah sebabnya, dalam kehidupan
politik, publik, menjadi sarat dengan kepentingan privat yang seharusnya tidak
dimunculkan dalam kehidupan bersama. Ambil contoh soal keyakinan beragama yang
sifatnya privat dalam konsep negara modern, di Indonesia banyak mengemuka dan
menjadi simbol-simbol yang mengkooptasi kehidupan publik. Masih minimnya
pembedaan secara ranah inilah sehingga banyak merusak kehidupan bersama
akhir-akhir ini.
Lemahnya pemahaman atas yang
publik, juga berimplikasi kepada keroposnya pemahaman atas kebebasan yang
sangat signifikan dalam gagasan republik itu sendiri. Kebebasan dalam gagasan
republik adalah konsep yang bersifat praktis tinimbang kodrati seperti yang
dibayangkan dalam liberalisme.
Kebebasan dalam republik adalah
tindakan itu sendiri yang berarti bukan gagasan konseptual belaka yang sekadar
“dipikirkan”, melainkan sangat ditentukan dengan tindakan itu sendiri sebagai
gagasan yang merekah.
Dari sini, kaitannya dengan subjek
politik adalah warga negara yang mengafirmasi kebebasan melalui tindakannya
dalam polis. Itu berarti kehidupan publik adalah wahana subjek politik yang
bertindak bebas demi menciptakan kebaikan bersama dalam masyarakat.
Sehingga, ketika ada kehidupan
publik yang membatasi tindakan subjek politik dan dengan disesaki
partikularitas berupa cara berpikir dan simbol-simbol tertentu, maka itu akan
berimplikasi kepada kehidupan bersama yang defisit toleransi. Dengan kata lain
itu bukan publik, atau kehidupan publik yang telah dikotori dengan hal-hal yang
berbau res privata.
Kembali persoalan mendasar, seperti
yang diajukan Robertus Robert berulang-ulang, --dan ini disebutnya tugas utama
kita semua—apa dasar pemikiran dan mengapa republik menjadi bentuk negara Indonesia,
bukan bentuk negara yang lain? Apa implikasi sosio-antropologis pilihan atas
republikanisme sebagai bentuk negara dalam kehidupan publik (bersama)? Apakah
selama ini sudah ada tindakan politik dari pelaku politik (legislatif,
eksekutif, yudikatif, warga negara) yang mampu membedakan res publik dan res
privata?