Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2017

Niccolo Machiavelli dan Sesat Pikir yang Menyertainya

Semalam seseorang menanyakan apa maksud kutipan di tulisan yang saya upload di blog saya. Mungkin dia merasa ada yang salah dari motivasi saya mengutip pernyataan itu. Bukan apanya, kutipan itu adalah perkataan dari Niccolo Machiavelli, pemikir politik modern yang dinyatakan negatif akibat pemikiran-pemikirannya yang melabrak etika dalam politik kepemimpinan. Apalagi Machiavelli, kadang disebut sebagai “setan besar” yang banyak dimusuhi kaum moralis dan agamawan. Ini kutipan yang “digugat” itu: berbahagialah orang yang hidup di zaman yang korup. Pernyataan-pernyataan kontroversial macam itu memang nampak anomali dalam keadaan masyarakat yang selama ini sangat menyukai hal-hal yang berbau normatif. Pernyataan-pernyataan yang kontradiktif secara moral memang sulit diterima oleh masyarakat yang sudah terbiasa dengan cara berpikir konvensional. Bahkan   sistem pemikiran yang rumit-rumit susah diterima dengan tanpa harus menyertakan penalaran kritis di dalamnya. Sehingga jika ...

Perempuan dan Media

Seringkali saya menyaksikan pengalaman saudara perempuan saya di waktu ia beranjak remaja. Ketika itu menulis diari adalah suatu kebiasaan --barangkali bagi sebagian besar perempuan seumuran di zamannya. Di tiap malam, pengalaman itu membentuk persepsi saya, bahwa perempuan memiliki rahasia yang diucapkannya melalui "bibir kedua", tempatnya berbicara. Berhari-hari kebiasaan itu dilakukannya. Menulis apa saja yang datang dari pikiran dan perasaannya. Berlembar-lembar halaman dihabiskan hingga selanjutnya dia harus bersekolah jauh dari rumah. Sampai akhirnya, saya tidak pernah lagi melihatnya menulis di buku yang disimpannya entah di mana. Setelah selama ini sedikit mempelajari posisi dan peran perempuan dalam sejarah perkembangan masyarakat, peristiwa itu saya refleksikan kembali. Saya cari apa hubungan diari perempuan sebagai medan ekspresifnya dengan alam kebudayaan tempat perempuan hidup. Berdasarkan pemikiran Luce Irigaray, seorang feminis Prancis, yang mengandaika...

Berbahagialah Orang yang Hidup di Zaman yang Korup

Berbahagialah orang yang hidup di sebuah zaman yang korup (Machiavelli) Menarik menyaksikan penuturan Robertus Robert, sosiolog dari UNJ dalam suatu kuliah online tentang konsep republikanisme yang diambil dari ide-ide dasar Aristoteles, yang ternyata mengandung kecacatan. Apalagi menurut pendakuannya, cacat bawaan itu bersifat epistemik lantaran dari awal pemisahan res privata dan res publika sangat diwarnai dengan aura maskulin yang kuat.   Sebelumnya, dalam imajinasi politik Aristoteles, pembelahan ranah privata dan publik didasari dengan pembelahannya atas kepemilikan bawaan yang dipunyai dan tak dipunyai antara laki-laki dan perempuan.   Pertanyaan mendasar dari Aristoteles   adalah apa perbedaan fondasional antara manusia dengan hewan? Dari pertanyaan ini akan nampak kemudian pandangan "maskulin" Aritoteles mengenai pembagian kualitas manusia yang sebenarnya akan terang hanya dimiliki oleh laki-laki, tapi tidak dengan perempuan.   Berdasarkan ...

Ruang Kudus di KLPI Makassar

Kami tersentak kaget dengan penuturan Muhary Wahyu Nurba yang tidak dibayangkan sebelumnya, tentang kita kejamakan yang kehilangan banyak ruang kontemplatif di era kiwari. “Kita” saat ia berbicara dengan suaranya yang berat itu bukan saja ditujukan kepada peserta KLPI yang sudah menjadi rutin itu. Melainkan juga kepada masyarakat yang dikepung gaya hidup modern. Ya, orang-orang yang gila kerja, gila berbelanja, gila uang, gila jabatan, gila media sosial, gila politik, gila agama, dan entah gila apa lagi (Anda bisa menambahkan sesuka hati Anda di sini). Sebenarnya, apa yang disampaikan Muhary hanya mengulang apa yang sudah banyak disitir scholar ilmu-ilmu sosial. Namun, melalui konteks pembicaraannya dalam kaitannya dengan sastra, terutama puisi, membuatnya memiliki konotasi yang baru, setidaknya menurut kami. “Kita tidak akan lagi melahirkan Jalaluddin Rumi,” Ucap Muhary dalam kaitannya dengan hilangnya ruang permenungan kala ingin melahirkan syair-syair yang bernas. Kita ti...

Pengalaman atas Bahasa

Taro ada’ taro gau . Simpan kata, simpan perbuatan. Begitulah peribahasa Bugis mendudukkan bahasa antara perkataan dan perbuatan. Bahasa dengan kata lain, dalam falsafah Bugis, tidak terbelah  antara keduanya. Apa yang diucapkan, itu pula yang dilakukan. Sebaliknya, apa yang telah dilakukan  pasti cermin  dari perkataan. Konsistensi. Itu yang pokok. Itu yang prinsipium. Dalam konteks pengalaman, manusia Bugis, belum mengenal dua dunia antara teori dan praktik seperti  manusia modern masa kini. Tidak adanya pemisahan antara perkataan dan praktik, mengakibatkan perspektif yang bulat tentang realitas. Artinya, apa yang diucapkan kemudian dilakukan, selalu ditilik dari satu ruang yang sama. Ruang yang sama itu berarti pula mengandaikan tingginya “dunia kata” yang harus dijunjung melalui perbuatan. Secara etik, moral orang bugis bersandar dalam “dunia kata” ini. Ketika “dunia kata” tidak mampu direalisasi dalam pengalaman kongkrit, maka pada titik itulah secara ...

Menyoal Negara Islam

Pasca pidato Jokowi dalam peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara  di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, tentang pemisahan politik dengan agama, akhir Maret lalu, berakibat banyak reaksi. Tiba-tiba diskursus hubungan agama dan politik, atau agama dan negara menguat kembali. Sesungguhnya perdebatan ini berakar panjang dalam sejarah Indonesia. Mulai dari memanasnya perdebatan Soekarno dengan M. Natsir, dalam sidang BPUPKI, piagam Jakarta, hingga pada sidang Majelis Konstituante pasca kemerdekaan.  Secara umum wacana relasi agama dan negara terbelah menjadi dua kubu, yakni nasionalis sekuler dengan nasionalis agama. Mengapa mesti negara Islam    Apabila menelisik asumsi-asumsi agama sebagai dasar negara, berangkat dari pengalaman historis Rasulullah ketika mendirikan negara-kota Madinah pasca hijrah. Pendasaran ini bukan saja menjadi ideal type bagi kelompok muslim yang ingin mendirikan negara agama, melainkan juga ditopang dengan sejumlah ayat-ayat y...

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Cantik itu Memang Luka

Malam itu  saya tidak sengaja menyaksikan pagelaran pemilihan Putri Indonesia 2017. 38 perempuan dari pelbagai provinsi menjadi finalisnya. Acara itu dibuka oleh dua master ceremoni, Choky Sitohang salah satu MC memulainya dengan berkata: “Selamat malam dan inilah perempuan-perempuan cantik…dan bla dan bla, bla, bla, sambil membuka acara. Mendengar kata cantik, pikiran saya tidak karuan.  Apakah yang dimaksudkan cantik di situ? Bagaimanakah cantik dibayangkan seperti dalam acara demikian? Apakah itu berarti akan mewakili konsep cantik berdasarkan persepsi kebudayaan tertentu? Atau memang cantik yang dikatakan Choky, seperti yang hari ini diketahui, merupakan imajinasi yang banyak dibentuk media? Kadang, cantik, menjadi kata yang obsesif diinginkan perempuan. Berbagai upaya  banyak dilakukan sebagian besar perempuan-perempuan untuk terlihat cantik. Tidak sedikit untuk memenuhi ambisi kecantikannya, banyak perempuan rela mengeluarkan uang yang banyak. Mulai dari u...