Taro
ada’ taro gau. Simpan kata, simpan perbuatan. Begitulah peribahasa Bugis mendudukkan bahasa antara perkataan dan perbuatan. Bahasa dengan kata lain,
dalam falsafah Bugis, tidak terbelah antara keduanya. Apa
yang diucapkan, itu pula yang dilakukan. Sebaliknya, apa yang telah dilakukan pasti cermin dari perkataan. Konsistensi.
Itu yang pokok. Itu yang prinsipium.
Dalam konteks pengalaman, manusia Bugis, belum mengenal dua dunia antara teori dan praktik seperti manusia modern masa kini. Tidak adanya pemisahan antara perkataan dan praktik,
mengakibatkan perspektif yang bulat tentang realitas. Artinya, apa yang
diucapkan kemudian dilakukan, selalu ditilik dari satu ruang yang sama.
Ruang yang sama itu berarti pula
mengandaikan tingginya “dunia kata” yang harus dijunjung melalui perbuatan.
Secara etik, moral orang bugis bersandar dalam “dunia kata” ini. Ketika “dunia
kata” tidak mampu direalisasi dalam pengalaman kongkrit, maka pada titik itulah
secara sosial orang-orang bugis akan merasa malu.
Dunia kata, selain tinggi juga
sakral. Sakralnya kata dapat ditemui seperti dari padanan kata Logos, Yunani
Kuno. Logos berarti ilmu atau sabda, kata. Dalam khazanah Islam, ilmu berwujud
suci dan melalui itu semesta kata lahir. Sebagaimana dalam teologi Kristiani,
Tuhan pertama kali hadir melalui sabda. Wahyu dalam Islam juga dimediasi kata.
Melalui hubungan itulah kata sama sucinya dengan ilmu.
Itulah sebabnya, “taro gau” seluas
“taro ada”, kesucian kata terletak juga dalam realisasi perbuatan. Bahkan,
ketika kata telah dituturkan, pantang mundur untuk tidak dilaksanakan. Pengalaman
atas bahasa inilah, yang menyebabkan kata bukan sekadar bahasa yang hanya diucapkan,
tapi harus disetubuhi melalui realisasi perbuatan atau tindakan.
Dalam khazanah filsafat Islam,
dikenal konsep ilmu yang menihilkan jarak antara bahasa(kata) dan konsep. Ilmu
kehadiran (ilmu huduri, knowlegde by
presence), seperti yang dianut kaum sufistik, tidak lagi memilah-milah
pengalaman atas kenyataan berdasarkan pemisahan bahasa dengan praktik yang
diturunkan dari konsep itu sendiri. Subyek-obyek
dalam bahasa menjadi nihil akibat pengamalan atas pengetahuan itu telah evident. Terang dan tunggal.
Ketika konsep ini diafirmasi ke
dalam filsafat barat, setidaknya pemakanaan yang sama ditemukan dalam pemikiran
Heidegger. Pengetahuan menurut Heidegger tidak mengakui dualisme antara subjek
pengetahuan dan objek pengetahuan. Dalam bahasa, subjek dan objek pengetahuan
adalah satu kesatuan yang mengarah langsung kepada fenomen. Kesadaran macam ini
disebut Heidegger sebagai kesadaran intensionalitas.
Yang menarik dalam pemikiran
Heidegger adalah pengakuannya terhadap puisi sebagai pengetahuan paling murni. Puisi
sangat berbeda secara fundamental dengan jenis pengetahuan lain. Bagi
Heidegger, puisi mampu membawa manusia kepada pemahaman yang paling otentik dan
mendalam terhadap sesuatau dalam kehidupannya.
Puisi sebagai pemahaman otentik,
dinyatakan Heidegger hanya mungkin dicapai jika manusia (dalam konteks
pemikiran Heidegger, manusia disebut dengan terma khas bentukan Heidegger
sendiri: Das Sein) mengalami keadaan
yang disebutnya situasi destitute time.
Destitute
time, bisa dibilang adalah situasi “kekosongan atas kekesongan”, atau dalam
konotasi Heidegger sebagai keterputusan manusia terhadap “benda-benda” yang
mengikat dirinya. Menurut Heidegger, dalam situasi ini manusia akan menemukan
kedaan natural atas dirinya. Manusia akan menemukan “dasar” dirinya dalam
keberadaannya yang penuh. Di kondisi ini manusia mengalami dirinya dengan maksud mencari makna sekaligus menjadi
tempat makna itu sendiri.
Itulah sebabnya, banyak ditemukan
karya literasi berbentuk syair lebih dominan memengaruhi pembacanya akibat
dihasilkan dari kedalaman pengalaman penyair yang mengalami situasi destitute time seperti dalam konsep
Heidegger. Dengan kata lain, bahasa yang datang dari pengalaman murni, yang
sublim, yang kontemplatif, jauh lebih dahsyat dari bahasa yang lahir ala
kadarnya.
Chairil Anwar, misalnya,
sajak-sajaknya yang mempelopori kesusastraan Angkatan 45, sedikit banyaknya didorong dari pengalaman bahasanya
yang hidup dengan cara yang tak biasa. Bahkan pengalaman-pengalaman hidupnya
pasca berpindah ke Jakarta, dibetot dengan nuansa kebebasan, kreatifitas, dan
tanpa sekat-sekat. Maman S. Mahayana dalam Legenda
Charil Anwar, menyebutkan bahwa sajak-sajak Chairil sarat dengan refleksi
atas pandangan, sikap, dan pengalaman hidupnya. Pengalamannya adalah sajaknya
itu sendiri.
Sekarang, era yang massif
digerakkan nalar instrumental (pengetahuan yang digerakkan akal hanya sebatas
alat yang menghamba ke dalam kekuasaan intitusi birokratis-teknoratis) malah
mengubah dunia jauh lebih “gila” melampaui penafsiran kelompok mazhab
Frankfurt. Era kiwari, pengalaman atas bahasa yang menjelma ke dalam
konsep-konsep, gagasan-gagasan, sistem-sistem, intitusi-institusi, hukum-hukum,
dlsb., hanyalah pengetahuan yang
bergerak di tingkatan “permukaan” dibanding “kedalaman”.
Perubahan pengalaman manusia dari
kapitalisme industrial menjadi kapitalisme libidinal, hancurnya kenyataan ril atas
simulakrum, berubahnya tatanan kenyataan menjadi hyper-realitas dan citra-citra semu melalui media massa, menjadi
sebab dunia berubah total dan berefek kepada tatanan mental manusia yang
tercerabut dari eksistensinya. Fenomena fantasmagoria informasi, seperti yang
dibilangkan Baudrillard, misalnya, membuat masyarakat dikepung informasi yang
serba pesat dan cepat yang mengakibatkan hilangnya ruang reflektif.
Muhary Wahyu Nurba, penyair Makassar, ketika diskusi yang diadakan di Paradigma Institute, sempat
berkomentar tentang betapa mirisnya keadaan hari ini yang kehilangan waktu
kontemplatif. Imbas kemajuan teknologi informasi, apa yang ia istilahkan
sebagai ruang kudus, tercerabut dari pengalaman sehari-hari melalui pesatnya
rembesan informasi yang tak bisa ditangguhkan. Akibatnya, masyarakat menjadi orang-orang
yang mengalami krisis eksistensi.
Dalam konteks pengalaman bahasa,
masyarakat mengalami penjarakan dengan pengalamannya yang ugahari. Pengalaman
sehari-hari dan bahasa akhirnya menjadi dua dimensi yang terpisah. Bahasa
akibatnya menjadi banal, kering pengalaman, dan sebaliknya, pengalaman
kehilangan dasar narasinya melalui bahasa.
Itulah sebabnya, Muhary mengatakan
di zaman sekarang sulit lagi melahirkan syair-syair seperti yang pernah
dituliskan Jalaluddin Rumi. Orang-orang seperti Chairil Anwar, Rendra, dan
bahkan Wiji Thukul. Dunia pengalaman manusia telah penuh sesak dengan berbagai
macam atribut dan kepentingan sehingga kehilangan karakternya yang sublim dan
subtansial.
Era kiwari, bahasa yang dilisankan
atau diliterasikan, sudah banyak mengalami “erosi” atau pendangkalan pemaknaan
akibat tidak diliputi pengalaman atas bahasa. Bahasa akhirnya menjadi dangkal,
dan secara etik tidak lagi mencerminkan makna yang dikandungnya. Bahasa
hanyalah bahasa sejauh dia dilisankan, tapi tidak mampu menjadi narasi yang
menopang dan ditopang pengalaman.
Akhir kata, idealitas yang
seringkali ditunjukkan dalam bahasa, entah itu berakar dalam pengalaman
politik, budaya, ekonomi, dan bahkan agama, di era terjadinya erosi pemaknaan,
citra-penampakan-permukaan, hanyalah kata-kata yang tercerabut dari pengalaman.
Jika melalui bahasa, dunia
dipresentasikan, kini bahasa bukanlah apa-apa selain kata-kata tanpa arti.