![]() |
Herbert Spencer
27 April 1820 –8 Desember 1903
Filsuf Inggris dan seorang
pemikir teori liberal klasik
dia lebih dikenal sebagai bapak
Darwinisme sosial
|
--suatu catatan singkat
Ilmu-ilmu sosial klasik memandang
masyarakat sebagai entitas yang stabil dan statis. Ini mesti dimaklumi akibat
pengaruh cara pandang positivistik yang menghinggapi ilmuwan sosial ketika merepresentasekan masyarakat sebagai
satuan konsep atomistik.
Paling banter, jika mengisyaratkan adanya tanda-tanda gerak di dalamnya, masyarakat umumnya dipahami ibarat satuan organik. Terbangun atas sistem kehidupan, jaringan interaksi sel-sel, bertingkat-tingkat, dan memiliki karakteristik yang monoton. Tapi tetap saja, konseptualisasi demikian masih ditawan pandangan biologistik, yang sebenarnya sangat tidak representatif menggambarkan masyarakat sebagai entitas yang cair, kompleks, bergerak, rumit, dan menyejarah.
Paling banter, jika mengisyaratkan adanya tanda-tanda gerak di dalamnya, masyarakat umumnya dipahami ibarat satuan organik. Terbangun atas sistem kehidupan, jaringan interaksi sel-sel, bertingkat-tingkat, dan memiliki karakteristik yang monoton. Tapi tetap saja, konseptualisasi demikian masih ditawan pandangan biologistik, yang sebenarnya sangat tidak representatif menggambarkan masyarakat sebagai entitas yang cair, kompleks, bergerak, rumit, dan menyejarah.
Abstraksi masyarakat yang demikian
mengandung kecacatan mendasar. Pertama,
akibat dipandang sebagai satuan yang ajeg dan stabil, dengan sendirinya tidak
bisa menerima ide-ide perubahan yang sebenarnya inheren dalam masyarakat itu
sendiri. Kedua, akibat menolak ide-ide perubahan secara internal, maka masyarakat dipandang sebagai suatu entitas yang kehilangan dimensi waktunya, atau dengan kata lain, masyarakat tidak mengalami pergerakan sejarahnya sendiri.
Itu artinya, masyarakat yang
diandaikan anti perubahan, anti sejarah, bakal menjadi masyarakat yang bergerak
statis dan bahkan mengalami kemunduran. Dan, tipe-tipe masyarakat dunia yang
sekarang banyak mengalami kejatuhan, akibat imbas dari persepsi mereka tentang
masyarakat yang statis dan stabil.
Lantas bagaimanakah masyarakat itu
sebenarnya? Semenjak wacana sosiologi memasuki abad 20, masyarakat sebagai
suatu konsep berangsur-angsur mengalami pergeseran. Ditengarai besarnya
pengaruh dan menguatnya subjektifitas masyarakat yang ditunjukkan dengan
kemunculan ide-ide humanistik, masyarakat akhirnya diterima sebagai suatu
komunitas yang bergerak dan menyejarah.
Kuatnya pengaruh aktor dibanding
hukum besi yang bersifat metafisik, semula-mula ikut mempengaruhi dinamika
masyarakat. Pandangan ini, kemudian selain mempertajam hukum-hukum objektif
yang berlaku dalam interaksi dan perilaku masyarakat, juga ikut mengamati
perubahan masyarakat dari peristiwa ke peristiwa, momen ke momen, dan dari
waktu ke waktu.
Dengan diterimanya perspektif
tentang masyarakat yang tidak lagi diliputi hukum-hukum di luarnya, maka hampir
sebagian besar teoritisasi ilmuwan sosial mencerminkan kecenderungan yang kuat
terhadap peran besar kekuatan subjektif manusia sebagai faktor utama perubahan.
Teori tiga tahap
Auguste Comte, mengemukakan evolusi
masyarakat dapat dilihat melalui perkembangan bangunan mental/kesadaran
masyarakat. Sejauh masyarakat dipengaruhi dan digerakkan alam kesadarannya,
secara bertahap akan mengkofigurasi dan menentukan watak masyarakat itu sendiri.
Artinya, Auguste Comte melihat dalam masyarakat, ada semacam “substansi” yang
mengatasi perubahan-perubahan di dalamnya. Dalam imajinasi Comtean, faktor
utama dalam gerak sejarah masyarakat didasarkan kepada kekuatan kesadaran
masyarakat. Secara bertahap kesadaran masyarakat dibagi Comte menjadi tiga
tahap perkembangan masyarakat.
Pertama, tahap teologis. Masa ini
adalah masa yang paling lama dialami manusia. Tahap ini ditandai dengan
kepercayaan masyarakat ke dalam keyakinan yang mengakui realitas absolut
sebagai penentu kehidupan. Keyakinan yang membagi dua dunia kehidupan, dunia
ata dan dewata, misalnya, merupakan ilustrasi masyarakat yang berkesadaran
teologik. Dengan menempatkan dunia dewata sebagai kekuatan penentu dan pengubah
kehidupan, dan dunia ata sebagai subordinat dari kekuatan-kekuatan teologik,
masyarakat dalam konteks ini hanya menjadi entitas yang pasif menerima apa saja
selain dari kekuatan yang dianggap teos sebagai satu-satunya kekuatan
penggerak.
Tahap teologik seringkali dibagi
menjadi tiga bagian periodik sejarah yang mencerminkan adanya perubahan
kesadaran di dalamnya. Berturut-turut
periode itu adalah periode fetisisme yang mencerminkan pemikiran masyarakat
primitif atas kepercayaannya terhadap roh-roh atau bangsa halus yang turut
hidup bersama kita. Ini terlihat pada zaman purba di mana diadakan upacara
penyembahan roh halus untuk meminta bantuan maupun perlindungan.
Kedua, periode politeisme di mana
masyarakat telah percaya terhadap bentuk para penguasa bumi berup para
dewa-dewa yang terus mengontrol semua gejala alam dan mengatur kehidupan
masyarakat berdasarkan tugas, tingkatan dan model wujudnya.
Periode monoteisme adalah
perkembangan mutakhir dari tahap teologik. Momen sejarah ini ditandai dengan
penerimaan masyarakat kedalam satu kepercayaan tunggal yang meyakini satu
penguasa tunggal yang berkuasa penuh atas jagad raya, mengatur segala gejala
alam dan takdir makhluk hidup di dalamnya.
Kedua adalah tahap metafisik. Tahap
ini adalah tahap perantara dalam perkembangan masyarakat menjadi zaman
positivistik. Tahap metafisik sering diandaikan dengan kemajuan kesadaran
manusia yang semakin kompleks merumuskan pikiran-pikirannya dalam konsep-konsep
metafisik berupa filsafat, seni, kebudayaan, dan bahkan agama-agama.
Ketiga adalah tahap positivistik.
Berdasarkan pengertian yang diberikan Auguste Comte, sejarah kesadaran
masyarakat akan berkembang pesat menjadi kesadaran yang berbasis rasional dan
empirik-verifikatif. Zaman ini, kepercayaan-kepercayaan klenik, metafisik, dan
juga teologik, seperti yang ditemukan dalam cerita rakyat, mitos, dan agama,
akan ditinggalkan akibat tidak sejalan dengan semangat keilmuan yang dimiliki
zaman positivistik.
Kepercayaan yang dimiliki hukum
tiga tahapan Comtean, dinyatakan sebagai prinsip apriori yang merangsang dan
menggerakkan sejarah perkembangan masyarakat. Secara defenitif, setiap bentuk
kehidupan masyarakat akan berjalan berdasarkan hukum tiga tahapan ini.
Pandangan dunia Comtean ini melihat
masyarakat bergerak secara linear dan kekal mengatur setiap motif-motif yang
ditemukan dalam masyarakat sebagai dasar perubahannya. Dengan kata lain,
sejarah, perubahan, dinamika, pergeseran yang dialami masyarakat baik di
tingkat mikro dan makro di setiap intitusinya, tiada lain adalah paras
perubahan yang bergerak atas dasar perkembangan kesadaran.
Spencer dan Durkheim
Selain pandangan Comtean, Herbert
Spencer, tokoh sosiologi awal juga sudah merumuskan tahapan-tahapan
perkembangann masyarakat. Atas inspirasi dari teori evolusi Darwinian, Spencer
berhasil mengkodekan prinsip-prinsip dasar yang menjadi hukum objektif
perubahan masyarakat.
Prinsip yang dirumuskan Spencer
dibilangkan dengan cara melihat perkembangan masyarakat dari modelnya yang
masih bersifat sederhana menuju paras masyarakat yang bergerak kompleks.
Perubahan kompleksitas masyarakat ini dapat ditemui bukan saja melalui bentuk
masyarakat, tapi juga di dalam hubungan, level, dan hukum-hukum yang berlaku
dalam masyarakat melalui prinsip penggandaan, kompleksifikasi, pembagian, dan
pengintegrasian. Selain itu, Spencer juga telah berhasil merumuskan sejarah
perkembangan masyarakat yang dilihat dari peran militer sebagai bentuk yang
ikut menentukan watak perubahan dalam masyarakat.
Durkheim sosiolog terkemuka juga memiliki
pandangan kesejarahan dalam mengapresiasi perubahan masyarakat. Durkheim
merumuskan gerak masyarakat berdasarkan pemilahan yang dilihat dari pembagian kerja yang diterapkan
dalam masyarakat. Berbeda dari Spencer dan juga Auguste Comte, Durkheim lebih
melihat perubahan masyarakat terjadi akibat bentuk kongkrit dalam peran-peran
kerja yang ditemukan dalam model-model masyarakat dunia.
Bahkan pandangan masyarakat
Durkheim, juga melihat pembagian kerja dalam masyarakat ikut menentukan ikatan
solidaritas yang menjadi faktor pengikat interaksi masyarakat.
Umumnya, model perubahan masyarakat
Durkheiman dilihat atas dua tipe masyarakat, yakni masyarakat mekanik dan
organik. Masyarakat mekanik seperti yang ditunjukkan dalam masyarakat pedesaan,
didasarkan atas persamaan. Persamaan dan kecenderungan untuk berseragam inilah
yang membentuk struktur sosial masyarakat. Akibatnya masyarakat bersifat
homogen dan mirip satu sama lain. Ciri masyarakat dengan solidaritas mekanis
ini ditandai dengan adanya kesadaran kolektif, kesadaran bersama yang
ditunjukkan dengan penghormatan dan ketaatan terhadap tradisi dan norma-norma
masa lalu.
Kedua, masyarakat organis yang
mengarah atas hilangnya konsep kolektivitas. Artinya setia individu berperan
sebagaimana organ yang mempunyai fungsi masing-masing yang saling bergantung
dan tidak dapat diambil alih oleh fungsi lainnya. Konfigurasi dari model
demikan adalah dikenalnya pembagian kerja berdasarkan spesialisasi dan
spesifikasi. Spesialisasi ini juga mendorong terbangunnya struktur kerja yang
hirarkis ataupun demokratis.
Dari komunal primitif menuju
masyarakat tanpa kelas
Berbeda dari tokoh-tokoh sebelumnya,
Karl Marx, pencetus teori-teori komunisme, menerangkan dinamika masyarakat
berdasarkan cara kerja produksinya. Motor perubahan masyarakat bagi Marx
ditentukan oleh hubungan-hubungan produksi yang meliputi alat-alat produksi,
tenaga produksi, dan lahan produksi. Berdasarkan hubungan tiga komponen
produksi inilah sejarah masyarakat berkembang.
Dimulai dari cara produksi yang
masih bersifat sederhana, masyarakat di tahap awal bagi Marx masih sangat
ditentukan dengan komunalisme. Model masyarakat ini masih memproduksi
kehidupannya dengan alat-alat produksi yang terbilang sederhana. Jika mengacu
kepada masa-masa awal kehidupan manusia, cara manusia komunal mengatur
kehidupannya masih terkait dengan alat-alat pertanian yang dibuat manual.
Pada tingkatan ini alat-alat
produksi dimiliki secara bersama (komunal). Kegiatan produksi hanya
diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan konsumsi kelompok. Oleh karena itu,
kelebihan hasil produksi yang dalam istilah Karl Marx disebut surplus valeu
tidak ada. Dengan demikian, adalah wajar jika sejarah mencatat pada tahap ini
tidak berkembang sistem pertukaran barang. Di masa yang disebut Marx tidak
berlaku kepemilikan pribadi, disebut dengan nama komunal primitif.
Kedua, sistem perbudakan (slavery).
Sistem ini tercipta dari hubungan produksi antara orang-orang yang menguasai
alat-alat produksi dengan orang-orang yang hanya memiliki tenaga kerja. Dari
pola produksi ini menyebabkan berlipat gandanya keuntungan pemilik alat
produksi. Pada tahap ini masyarakat mulai terdikotomi menjadi kelas-kelas,
yakni kelas pemilik alat produksi dan budak yang menjual tenaganya. Upah yang
diterima hanya sampai pada batas untuk mempertahankan hidup.
Ketiga sistem feodalisme. Jika
dalam sistem sebelumnya tingkat kesejahteraan kelas buruh sangat tragis, maka
dalam sistem feodalisme nasib buruh sedikit ada peningkatan. Hal tersebut
ditandai oleh pembebasan dari status budak dan komposisi upah yang diterima
lebih layak.
Keempat sistem kapitalisme
(industrialisasi). Menurut Karl Marx, sistem kapitalisme ditandai oleh upaya
untuk meningkatkan keuntungan atau akumulasi kapital yang tinggi. Di samping
itu, karakteristik menonjol dari sistem ini adalah kebebasan individu yang
didasarkan pada hak milik atas alat-alat produksi.
Kelima sistem sosialisme. Menurut
Karl Marx, sosialisme merupakan tahapan transisional dari sistem sebelumnya,
kapitalisme menuju sistem komunisme. Komunisme adalah hasil evolusi sejarah
yang panjang. Pada masyarakat ini tidak ada hak milik, kelas dan pembagian
kerja. Semuanya dikelola secara kolektif (bersama).
Bagi Marx, tahapan-tahapan
masyarakat di atas bersifat niscaya. Artinya, faktor-faktor produksi yang
berada dan mengatur interaksi masyarakat tidak dapat dihindari dan sangat
menentukan arah perkembangan masyarakat. Bahkan bertolak dari hukum-hukum yang
niscaya ini, sejarah masyarakat sudah pasti bergerak sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya.
---
Disampaikan pada pelatihan
kepemimpinan (LK2) BEM Fakultas Psikologi UNM