Langsung ke konten utama

Misykat

Di setiap peradaban, baik Timur maupun Barat, ketika membangun suatu kota, misalnya, bangunan seperti masjid, merupakan tautan tempat semua bermula. Itu sebabnya, di situ ditetapkan sebagai pusat. Segala hal ditentukan dari sana; nilai, pandangan dunia, moral, tradisi, dan bahkan agama. 

Masjid, atau pusat spiritualitas seperti gereja, di masa itu memang menjadi tempat di mana mata tuhan melihat dan menyapa realitas. Dari kubah-kubah masjid, atau menara-menara gereja, tuhan berswastika di hati orang-orang yang beribadah di bawahnya. 

Dalam Islam, kubah masjid ibarat misykat, simbol mangkuk terbalik yang dimiliki jiwa setiap insan. Di dalam mangkuk itulah sumber cahaya ilahi memancar. Al quran menyebutnya seolah-olah pantulan cahayanya menembusi minyak di bawahnya, melampaui dinding-dindingnya di barat dan di timur. 

Misykat inilah yang kadang bergetar-getir ketika nama tuhan bersentuhan dengan indera pendengar. Di dalam hati, bagian tubuh yang bergetar itu, adalah tanda berimannya seseorang. 

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka..." Begitulah literasi yang diabadikan al quran. 

Tapi kata ahli-ahli suluk, misykat yang kotor mustahil cepat dibuat bergetar. Ibarat kaca keramik yang tertutup debu, cahaya yang berpendar-pendar di dalamnya, hanyalah temaram yang luput menembusi hati. Jiwa yang terbengkalai, apa daya tak mampu dibuat bergetar. 

Barangkali karena itu kubah masjid dibuat mirip misykat jiwa manusia. Untuk mengingatkan, dan atau bahkan menggugat, kita yang mudah lupa. 

Tapi, ketika masjid bukan lagi pusat, atau gereja bukan lagi titik Tuhan bermanifes, hati yang bergetar bukan akibat suara tuhan yang dipancar melalui cahaya di hati orang-orang. 

Kini, hati orang-orang lebih mudah bergerak ketika pusat itu berbentuk mal, gym, swalayan, tokoh politik, atau bahkan dunia maya.

Sudah banyak yang bilang, zaman yang bergerak di atas layar media, adalah zaman yang memangkas segala hal. Dunia makin kecil, tak bersekat hingga yang digital menggantikan realitas yang sebenarnya. Juga, Tuhan, yang menjadi pusat di tempat-tempat semisal masjid, akhirnya hanya suara lirih yang tertatih-tatih di antara dering gadget. 

Kini bahkan Tuhan juga mesti tunduk di dalam imajinitas dunia digital. Tuhan, realitas yang ultim itu, juga harus bersaing dengan munculnya tuhan-tuhan digital, realitas-realitas maya yang memenuhi ruang sadar manusia modern. 

Sementara di luar dunia maya, yang pusat mudah ditemukan di tempat-tempat ketika uang berputar dengan cepatnya. Ketika masjid sudah kehilangan pesona, dan hanya jadi tempat bersinggah sementara, kini orang-orang sulit dibuat bergetar hatinya akibat dentumannya lebih kukuh bergaung di sela-sela etalase produk-produk pasar di pusat perbelanjaan.

Di situ, akhirnya,Tuhan berlahan-lahan mengecil di hati yang semakin sulit berpaling. 

Bahkan, Tuhan yang kecil, menjadi lebih berbahaya ketika itu diucapkan dengan motif-motif kekuasaan. Atau bahkan Tuhan dimodifikasi dengan ambisi-ambisi yang lebih rendah: politik. 

Itu sebabnya, di ibu kota negara, pusat yang sering membuat daerah-daerah sekitarnya lebih panas dari biasanya, politik menjadi titik singgung dan titik temu segala kepentingan. Di saat itu, Tuhan ibarat kata-kata yang lebih mirip slogan dan jargon. 

Tuhan yang dibungkus politik pada akhirnya hanya bisa membangun sekat, bahkan sekam di dalam rumah yang sama, keluarga yang sama, atau bangsa yang sama. Tuhan dengan nada yang politis sebenarnya bukan Tuhan yang sebenarnya, tuhan yang welas asih.

Sekarang, masjid-masjid hanyalah bangunan yang dilimpahi bebatuan mahal tanpa dihinggapi suatu pesan sejarah. Ketika masjid adalah titik tolak peradaban digagas, bagaimana kebudayaan dibangun, dan saat kehidupan begitu harmonis dan hanif.

Bahkan, di timur tengah, tempat pusat spiritualitas ditautkan dari seluruh penjuru, Ka’bah nampak polos dikepung ambisi kerdil yang mengitarinya: pusat perbelanjaan, hotel-hotel mewah, kantor-kantor mentereng, dengan gedung yang super canggih.

Itu berarti, konsep tentang pusat, sekarang, hanyalah tempat segala hasrat, ambisi, nafsu serakah, bertemu dan saling silang. Membuat yang peradaban nampak koyak dan boyak.


Makanya nampak wajar, sekarang jika menyebut sesuatu adalah pusat, jika itu adalah kota, ibu kota negara, atau ataupun daerah-daerah yang dianggap titik nol, adalah tiada lain silang sengkarut yang nampak tak bersahaja, semuanya tidak lebih dari wadah kepentingan rendah peradaban dipertautkan.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...