![]() |
Murthada
Muthahhari
Pemikir
Islam Iran
sekaligus
penggerak Revolusi Islam Iran 1979
|
Catatan kecil Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman
SEPANJANG manusia bergerak atas dorongan ilmu pengetahuan, sepanjang itu pula ia tidak akan lepas dari rintangan-rintangan yang menghambat perkembangan pemikirannya. Bahkan, secara epistemik, pengetahuan manusia tidak serta merta terbebas dari rintangan yang inheren menawannya. Dengan kata lain, sejauh pengetahuan disebut pengetahuan, maka ia mesti dibebaskan dari gejala-gejala yang memenjarainya dari dalam.
Apabila
mengacu kepada empat konsep ego Murthada Muthahhari, seorang pemikir modern Iran, pengetahuan manusia secara berangsur-angsur akan jauh lebih baik jika mampu melewati empat lapis ego yang menjadi rintangannya.
Pertama
ego diri. Ego diri adalah jenis hasrat yang mengacu kepada individu sebagai
titik tolaknya. Ego diri, dalam kaitannya dengan pengetahuan, hanya
memfungsikan pengetahuannya berdasarkan kepentingan pribadinya. Rasa egoisme, yang
kerap muncul sebagai gejala kejiwaan, adalah salah satu cara ego diri
beroperasi untuk memenuhi kebutuhannya dirinya.
Kedua,
ego kekeluargaan. Ego keluarga merupakan jenis ego diri yang skalanya mencakup ikatan sedarah atau keturunan. Ego kesukuan, ras, dan kebangsaan, merupakan
perkembangan mutakhir yang dapat dilacak bersumber dari ego kekeluargaan. Ego
kekeluargaan, sebagaimana prinsip ego diri, merupakan ego yeng mengedepankan
kepentingan-kepentingan keluarga dari pada kepentingan lainnya.
Ketiga
adalah ego kebangsaan. Dalam kehidupan yang lebih luas, ego kebangsaan
seringkali dirumuskan di dalam konsep-konsep seperti nasionalisme, patriotisme,
cinta tanah air dlsb, yang menghendaki bangsa sebagai kesatuan utama dari
ikatan-ikatan lain yang bersimpangan dengannya.
Yang
keempat adalah ego universal, atau ego alam semesta. Ego jenis ini adalah ego
yang mendudukkan kepentingan alam semesta sebagai hal yang paling utama. Ego
semesta hanya dapat difungsikan jika menerapkan prinsip-prinsip berpikir
berdasarkan akal universal. Ego universal, sering disebutkan Murthada sebagai
capaian akhir dari segala kepentingan yang dipunyai umat manusia.
Ilmu
pengetahuan sebagai pencapaian manusia, selain seringkali menemukan hambatannya
dari empat ego di atas, juga banyak dipenjara dari apa yang diistilahkan
Francis Bacon sebagai konsep idola.
Konsep
idola sebagaimana ego yang merupakan kodrat inheren dalam jiwa manusia,
juga merupakan model penjara yang bekerja secara epistemik di balik pengetahuan
yang menyimpang.
Empat
idola yang dikatakan Bacon sebagai godaan yang mesti dihindari adalah, pertama,
idola tribus (idols of the tribe).
Idola tribus adalah keputusan yang diambil tanpa pertimbangan rasional yang matang dan hanya didasarkan kepada pengetahuan banyak orang (tribus). Idola tribus akibat sifatnya yang cenderung irasional dalam interaksi masyarakat akan membentuk prasangka-prasangka kolektif yang mengikutkan sentimentalisme tanpa mengindahkan etika sosial yang berlaku.
Idola tribus adalah keputusan yang diambil tanpa pertimbangan rasional yang matang dan hanya didasarkan kepada pengetahuan banyak orang (tribus). Idola tribus akibat sifatnya yang cenderung irasional dalam interaksi masyarakat akan membentuk prasangka-prasangka kolektif yang mengikutkan sentimentalisme tanpa mengindahkan etika sosial yang berlaku.
Kedua,
idol of the cave. Ibarat teori
alegory of the cave Platon, idol of the cave merupakan kecenderungan pengetahuan
yang ditawan minat ataupun pengalaman pribadi dalam melihat dunia objektif sehingga
menghalangi dan mengaburkan pandangan yang sebenarnya.
Ketiga,
idola pasar (idol of the fora). Idola
jenis ini merupakan idola yang paling banyak dialami masyarakat hari ini. Opini
publik yang sering kali dijadikan cara pandang dan belum terverifikasi
berdasarkan kriteria logis dan rasional adalah pengertian yang dirujuk idola
ini. Dengan kata lain, kebenaran tidak dilihat dalam pengertian yang koheren, teruji,
dan terpercaya, melainkan sejauh mana pengetahuan itu lahir dari suara yang
massif dan total.
Keempat
adalah idola theatra, atau idol of the theatre (teater). Idola
teater diartikan ketika kecenderungan pengetahuan seseorang yang hanya menerima
dogma-dogma, atau teori-teori dengan begitu saja tanpa melibatkan penyelidikan
di dalamnya. Dalam perspektif Bacon ketika dia hidup, idola teater dipresentasekan
dengan jatuh bangunnya pandangan-pandangan filosofis akibat lahirnya
pandangan-pandangan baru. Jadi semacam teater, teori-teori datang silih
berganti dan dilupakan pasca dipentaskan.
Fanatisme
sebagai gejala sosial, yang menguat bersamaan dengan lahirnya
keyakinan-keyakinan politik dan beragama abad 20, dapat ditelusuri dan
ditengarai dari delapan penjara yang merintangi pengetahuan dari kodratnya
sebagai eglightment of reality.
Artinya,
fanatisme tidak dapat dimungkinkan terjadi apabila pengetahuan manusia tidak
menjadi tawanan seperti yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, fanatisme
secara epistemologi merupakan jalan mundur dari “kehadiran akal sehat” sebagai
jalan utama pengetahuan itu sendiri.
Absennya
akal sehat yang melahirkan fanatisme, dalam konteks keyakinan, dalam praktiknya
(dan seperti yang dialami belakangan ini)- bahkan bisa berujung kepada
pandangan-pandangan yang formalistik dan irasionalistik. Dalam agama, misalnya,
fanatisme merupakan saudara kembar dari fundamentalisme keagamaan.
Budi
F. Hardiman dalam esainya, Kesalehan dan
Kekerasan di Kompas Januari lalu mengemukakan menguatnya
fundamentalisme, bukan sekadar peristiwa yang melibatkan ayat-ayat suci belaka,
melainkan hilangnya akal sehat yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam
berkeyakinan.
Secara
tersirat, fanatisme yang sering menjadi latar belakang aksi-aksi kekerasan atau
pelecehan terhadap kelompok lain, dapat terjadi akibat tidak mampunya ayat-ayat
suci Tuhan didialogkan dengan realitas masa kini yang diperantai akal sehat.
Fanatisme
selain merupakan saudara kembar fundamentalisme, juga disebabkan oleh tindak
membaca realitas yang artifisial. Kenyataan yang berlapis-lapis baik secara
epistemik maupun ontologik, yang tidak dapat diurai dan dipresentasekan berdasarkan
jenis dan kelompoknya, dengan serta merta akan berdampak kepada cara pandang
yang literal, baku, dan kaku.
Dampak
dari cara pandang demikian dengan sendirinya akan melahirkan pandangan yang
monoton dan sempit. Selain itu, cara pandangnya hanya berkisar kepada apa yang
diacunya saja dengan mengenyampingkan dialog sebagai efek sampingnya. Dengan
kata lain, cara pandang literal adalah pemahaman yang didapatkan lewat cara
baca terhadap konteks tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan yang mengitarinya.
Kaitan
literalisme dengan teks sebagai sumber pengetahuan, apabila melihat cara
pemahaman yang dialami kelompok-kelompok fundamental, disinyalir akibat cara
memahi teks dengan menyingkirkan model pembacaan yang melibatkan konteks yang
melatarbelakanginya. Dengan kata lain, teks semata-mata hanya dipahami hanya
berdasarkan arti harfiahnya belaka.
Literalisme
yang menjadi jalan membangun keyakinan, hanya karena menerima makna yang
diterakan dalam teks itu sendiri, akhirnya akan menjadi makna final dari sebuah
pencarian keyakinan. Artinya, bagi seorang literalis apa yang telah diungkapkan
dalam teks tidak merujuk kepada sesuatu di luarnya, melainkan apa yang telah
dituliskan dalam teks itu sendiri.
F.
Budi Hardiman dalam Seni Memahaminya
menyatakan literalisme dapat muncul dalam berbagai bentuk seperti misal dalam
bidang hukum, politik, sejarah, dan bahkan agama. Hardiman juga menyatakan literalisme
yang paling banyak dikenal dan menguat belakangan ini adalah literalisme
skriptualis yang mengemuka dalam sebagian besar orang-orang beragama.
Mengacu
kepada Seni Memahaminya F. Budi
Hardiman, ada tiga alasan pokok mengapa literalisme skriptualis sangat penting
untuk diantisipasi. Pertama berkaitan
dengan agama sebagai cara pandang yang telah mengakar kuat dalam pemahaman dan
pembatinan masyarakat. Keyakinan yang kuat ini berasal dari teks kitab suci
sebagai dasar utama membangun keyakinan. Dalam konteks ini kitab suci menjadi
satu-satunya ukuran kebenaran yang jika menyimpang darinya akan dianggap sebagai
pemahaman yang tidak murni.
Kedua,
berkaitan dengan yang pertama, kitab suci sebagai satu-satunya sumber
otoritatif diyakini sebagai satu-satunya pengetahuan yang mewakili pandangan
yang sebenarnya. Akibat sifatnya yang otoritatif, keyakinan terhadap apa yang
telah diterakan dalam kitab suci merupakan satu-satunya keyakinan final yang
mengatasi ruang dan waktu maupun nalar. Imbas dari posisi yang demikian,
keyakinan yang lahir di luar dari teks kitab suci akan dianggap sebagai
pemahaman yang tidak memiliki kebenaran sama sekali.
Ketiga,
kitab suci yang bersifat otoritatif, ketika bersinggungan dengan kekuasaan akan
melahirkan legitimasi bagi kelompok tertentu untuk membenarkan perilakunya.
Secara politis, keberadaan kitab suci bakal menguatkan posisi status quo
kekuasaan tertentu.
Berkaitan
dengan tiga hal pokok di atas, Hardiman menyatakan telah banyak menyeret orang
kepada keyakinan membabi buta. Tanpa cara membaca yang beraneka ragam, secara
pemaknaan akan melahirkan pemahaman yang
tunggal dan monolitik. Dalam kegiatan
politik, cara pandang keagamaan yang dangkal dan monoton sering kali tampak
menjadi gerakan fundamentalistik.
Dalam
Islam dan Radikalisme Telaah atas
Ayat-Ayat Kekerasan dalam Al Quran, Dede Rodin berkesimpulan lahirnya
penarikan kesimpulan terhadap teks al quran yang berbicara perang dan jihad,
misalnya, akibat parsialnya pemahaman dalam memahami teks itu sendiri. Dede
Rodin menunjukkan kata perang (iqtal) dan jihad (jihad) merupakan dua terma
yang sama sekali berbeda, namun akibat pemahaman yang dangkal (literal)
mengakibatkan untuk menunjukkan perbedaan yang dimaksud malah sulit
dilakukan.
Sementara
berdasarkan penjelasan Muhammad Harfin Zuhdi melalui tulisannya yang berjudul Fundamentalisme dan Upaya Deradikalisasi
Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis menjelaskan, kekerasan atas nama agama atau
apa yang dikenal sebagai gerakan fundamentalisme Islam disebabkan pemahaman
yang literal atau tekstual belaka. Akibatnya, pemahaman yang lahir dari cara
memahami demikian disebutkan Harfin Zuhdi sangat lemah terhadap subtansi yang
sebenarnya.
Coen
Husain Pontoh dalam artikelnya yang berjudul Agama
Dan Negara: Jejak Persilangan Kekerasan di situs Indoprogress menyatakan pula bahwa kekerasan agama
sering kali ditengarai akibat pemahaman yang tekstual terhadap teks-teks dalam
kitab suci. Bahkan dalam tulisannya itu, Coen Husain Pontoh menerangkan lebih
jauh agenda-agenda politik kelompok keagamaan yang bepandangan tekstualis untuk
merebut dan membentuk negara Islam.
Dari
beberapa temuan di atas, dapat disimpulkan secara hipotesis bahwa fanatisme dan
fundamentalisme agama diakibatkan pemahaman yang didasarkan kepada cara
memahami teks kitab suci secara literalis dan tekstual. Dampak terjauh dari
cara pandang yang demikian, seperti yang dialami di sekitar kita, adalah
aksi-aksi kekerasan baik berupa kekerasan verbal berupa pengkafiran yang
gampang disematkan kepada keyakinan yang berbeda, dan kekerasan fisik seperti
yang sering ditunjukkan melalui aksi-aksi penyerangan dan bom bunuh diri.
***
Hermeneutika
dalam diskursus filsafat diartikan secara berbeda-beda oleh pemikir yang
berkiprah di dalamnya. Secara historik, hermeneutika juga dibagi berdasarkan
pembagian periode klasik dan modern. Bahkan pengertian hermeneutika secara modern, sudah jauh lebih luas dari model hermeneutika klasik yang selama ini dipahami.
Secara
etimologik, hermeneutika terkait dengan Hermes, tokoh mitologi Yunani
yang bertindak sebagai utusan dewa-dewa untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi
kepada manusia. Sebagai kegiatan yang menghubungkan pesan antara bahasa
dewa-dewa dan alam berpikir manusia, Hermes memiliki keahlian memahami bahasa
dewa-dewa dan kemudian menerjemahkannya seperti maksud yang diinginkan dewa-dewa.
Kemampuan
memahami yang dimiliki Hermes dinyatakan F. Budi Hardiman memiliki kerumitan
tersendiri. Pertama, pihak yang menyampaikan pesan harus memahami pesan yang
dibawanya. Kedua, agar maksud pesan dapat disampaikan, sang pembawa pesan harus
membuat artikulasi yang sesuai dengan maksud pemberi pesan. Kesenjangan yang
terbentang antara pemberi pesan, penyampai pesan, dan penerima pesan inilah
yang nantinya menjadi medan kerja hermeneutika.
Sementara
apabila diasalkan kepada arti Yunaninya,
hermenueuein, hermeneutika berarti “menerjemahkan” atau “bertindak sebagai
penafsir”. Di dalam kegiatan yang bersinggungan dengan teks, hermeneutika
berarti kegiatan mengungkap dan menyingkap makna sebuah teks. Sementara yang
dipahami teks di sini adalah jejaring makna atau struktur simbol-simbol yang
tertuang entah dalam bentuk teks ataupun bentuk lainnya. Dengan kata lain,
sebagai sebuah jejaring makna, teks juga dapat diartikan dalam bentuk sikap,
perilaku, tindakan, norma, benda kebudayaan, hukum, ideologi, dlsb. Sebagai sebuah makna yang ditangkap manusia,
semua yang disebutkan sebelumnya, bahkan kebudayaan, agama, politik,
masyarakat, dan negara adalah teks itu sendiri.
Erik
Sabti Rahmawati melalui makalah Perbandingan
Hermeneutika dan Tafsir, menjelaskan sebagai sebuah metodelogi,
hermeneutika dapat dilihat dari tiga bentuknya. Pertama, hermeneutika objektif
yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher dan Wilhelm
Dilthey. Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks
sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut
Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya.
Yang
kedua menurut Fazlur Rahman dalam Islam
dan Modernitas adalah hermeneutika subjektif yang dikembangkan Hans-Georg
Gadamer dan Jacques Derrida.
Hermeneutika yang diandaikan baik Gadamer atau Derrida bukan kegiatan mencari
makna objektif seperti yang diasumsikan hermeneutika objektif dengan cara membayangkan alam pikiran penulis teks, melainkan memahami apa yang ada dalam teks
itu sendiri. Bahkan berdasarkan pendirian hermeneutika Derrida, objektifisme
tidak bisa dimungkinkan akibat makna teks itu sendiri hanya berupa jejak
atas jejak makna dari teks sebelumnya.
Dalam
Islam, Hassan Hannafi dan Farid Esack adalah dua tokoh yang memperkenalkan
kegiatan menafsirkan teks sebagai intrepetasi untuk aksi. Jenis hermeneutika
yang ketiga ini dikenal dengan nama hermeneutika pembebasan. Menurut Hanafi
hermeneutika adalah rangkaian proses wahyu menjadi kenyataan, dari ilmu menjadi
praktis, dan juga transformasi wahyu yang bersifat ketuhanan menjadi bersifat
kemanusiaan. Dalam arti yang lain,
kegiatan hermeneutika pembebasan melibatkan kesadaran historis dalam menegaskan
makna yang sesungguhnya untuk memahami teks. Melalui kegiatan ini, kritik
terhadap sejarah juga dilibatkan dalam memahami teks.
Sebagai pengantar untuk membaca Seni Memahaminya
F. Budi Hardiman, saya akan mengemukakan uraian dua pemikir hermeneutika modern yang dibahas dalam buku yang disebutkan. Yang
pertama adalah Paul Ricoeur. Pemikir Perancis ini mengandaikan kegiatan
hermeneutika sebagai cara menafsirkan teks sekaligus cara kenyataan dipahami di
luar dari teks itu sendiri. Bagi Ricoeur, memahami teks tidak semata-mata
merujuk di dalam teks, melainkan dunia di luar teks.
Dalam
memahami teks, Ricoeur menyatakan refleksi sebagai hal yang penting dalam
kegiatan hermeneutis. Melalui kegiatan refleksi, teks bukan satu-satunya sumber
pemaknaan, melainkan dari teks itu sendiri juga mencerminkan makna hidup
manusia. Dengan memahami teks, itu berarti jalan manusia untuk memahami kehidupannya.
Ricoeur
juga menyatakan tanpa peran logos yang diperantai refleksi, kegiatan
hermeneutis akan gagal menemukan makna baru yang bermanfaat bagi kehidupan.
Peran
hermeneutis yang didasarkan atas peran logos melalui refleksi ini, merupakan
bentuk “kesangsian” terhadap teks-teks sakral maupun simbol-simbol. Menurut
Ricoeur, kesangsian ini dilakukan sebelum “memercayai” teks-teks sakral secara
kritis yang akan dimediasi oleh logos. Ini berarti, memahami merupakan tindakan
paling awal sebelum kepercayaan itu sendiri.
Konsep
kunci dari Ricoeur adalah korelasi antara “memahami dan menjelaskan”.
Memahami
dan menjelaskan dalam pemahaman Ricoeur hanya bisa dibedakan melalui “penjarakan” sebagai konsep yang ditemui
dalam hermeneutikanya. Distansiasi atau pengambilan jarak terjadi ketika
seseorang menjelaskan teks yang sebelumnya mengambil bagian di dalamnya dengan
sikap memahami. Di sini memahami berarti keterlibatan di dalam teks dengan
menafsirkan, sementara menjelaskan merupakan kegiatan yang merefleksikan dan
menganalis teks.
Di
dalam kegiatan pemaknaan, distansi dianggap perlu bagi Ricoeur agar penafsir
memiliki peluang memberikan makna baru yang tidak harus disesuaikan dan
berkewajiban dengan maksud penulis teks. Ini sekaligus perbedaannya dengan
Gadamer yang tidak mengindahkan distansiasi karena membuat penafsir berjarak
dan sekaligus terasing dengan maksud penulis teks itu sebenarnya.
Dengan
sikap demikian, teks bagi Ricoeur adalah otonom. Penjarakan yang mengakibatkan
teks dan penulis teks adalah sebab mengapa teks akhirnya mampu otonom dari
“maksud” penulis teks. Ini juga merupakan upaya Ricoeur mengobyektifkan teks
dari kegiatan pemaknaan yang bersumber dari penulis teks. Implikasinya, makna dengan sendirinya bukan
berada “di belakang” teks yang harus disesuaikan dengan maksud penulis teks,
melainkan seperti yang diungkapkan Budiman, berada terang “di depan” teks yang
kemudian menyingkap diri dihadapan pembaca.
Apabila
mengacu ke dalam pemikiran Ricoeur, terutama bagaimana dia menempatkan
hermeneutika bukan saja semata-mata kegiatan menafsirkan teks, melainkan juga
kehidupan itu sendiri, maka kegiatan itu juga dapat ditarik kedalam problem
merebaknya metode penafsiran atas teks yang selama ini cenderung memandirikan
teks bagi konteks saat ini. Terutama penafsiran-penafsiran teks-teks keagamaan
yang seringkali melahirkan penafsiran telanjang tanpa mempertimbangkan maknanya
bagi konteks kehidupan itu sendiri.
Konsep
refleksi yang ditawarkan Ricoeur juga menjadi penting bagi kegiatan menafsirkan
karena dengan cara itu memungkinkan pemaknaan atas teks tidak serta merta
dilahirkan atas keyakinan yang buta. Refleksi dalam hermeneutika Ricoeur adalah
konsep yang penting karena melalui itu teks dapat dijadikan media untuk
memahami makna kehidupan itu sendiri.
Refleksi
juga memberikan peluang bagi perang logos agar mampu memberikan input kritis
bagi kegiatan pemaknaan terhadap teks. Jika pengertian ini diterapkan ke dalam
teks-teks kitab suci, terutama yang bercerita tentang iman, refleksi dapat
menjadi cara untuk meningkatkan iman itu sendiri dengan cara “menaifkan” secara
kritis. Sebagaimana iman yang baik selalu lahir dari kritisisme, maka
“menaifkan” secara kritis teks-teks suci juga cara Ricoeur menawarkan cara
mengimani teks dengan cara yang lebih kritis.
Konsep
relasi “memahami dan menjelaskan” apabila digunakan sebagai pendekatan dalam
memahami teks-teks sakral akan memberikan suatu cara memahami yang sebelumnya
menempatkan peran logos di dalamnya. Melalui cara itu, penafsiran yang lahir
dari memahami teks akan jauh lebih berkembang akibat tidak selalu mengikuti
makna literlet yang dikandung teks itu sendiri. Hal ini tentu berkesesuaian
dengan “distansiasi” yang bagi Ricoeur memberikan “keleluasan” bagi penafsir
untuk menemukan makna baru tinimbang “di situasikan” sebagaimana makna yang sudah
dimaksudkan penulis teks di belakangnya.
Pemikir
yang kedua adalah Derrida. Walaupun dikatakan Hardiman ada kesan pemaksaan
memasukkan Derrida sebagai bagian dari pemikiran tokoh yang mendaras
hermeneutika, namun setidaknya ada satu alasan yang dikemukakan Hardiman
mengapa pemikiran Derrida terutama melalui dekonstruksinya dikategorikan
sebagai hermeneutika.
Disebutkan
Hardiman, dekonstruksi yang merupakan salah satu konsep kunci Derrida,
mengandaikan suatu tindakan interpretasi yang dilakukan secara radikal.
Hardiman menyebut hermeneutika Derrida dengan sebutan “hermeneutika radikal”.
Bagaimana itu mungkin?
Pertama,
seperti yang sudah dijelaskan (hal278-282) dekonstruksi berbeda dari
konsep-konsep yang dikemukakan pemikir hermeneutika sebelumnya. Jika dari
Schleiermacher sampai Gadamer, hermeneutika bertujuan untuk membangun kembali
makna asli atau memproduksi makna baru sesuai dengan horizon yang baru, maka
dekonstruksi Derrida justru bukan dalam rangka memproduksi atau merekonstruksi
kembali makna yang sudah ada. Dengan kata lain, dekonstruksi bukan untuk
memahami susunan makna yang ditemukan di dalam atau di balik teks, melainkan
menunda makna apa pun yang dapat diputuskan dalam suatu teks.
Kedua,
sebagai kegiatan menafsirkan, dekonstruksi memberikan peluang yang besar kepada
penafsir kepada “the other meaning”
agar dapat dipertimbangkan sebagai makna yang baru dari makna yang ditunda. Artinya,
kegiatan menunda dan “memagari” makna yang dimungkinkan dalam dekonstruksi
bukan dalam rangkan memahami teks lewat “ketunggalan” makna, melainkan lebih
kepada pengelolahan makna-makna yang beragam.
Saya
kutipkan langsung apa yang dikatakan Hardiman tentang hermeneutika radikal
Derrida: “dekonstruksi merupakan sebuah
hermeneutik radikal karena mengandaikan bukan hanya tiadanya makna primordial
yang dicari dalam interpretasi, melainkan juga menunjukkan tidak mungkinnya
koherensi makna suatu teks, sehingga interpretasi bergerak sampai tak
terhingga”.
Konsep
kunci Derrida lainnya yang memiliki relevansi terhadap hermeneutika adalah differance. Kata ini tidak ada dalam
kamus bahasa Perancis. Itulah sebabnya disebutkan Budiman, kata ini tidak dapat
disebut konsep akibat tidak tersedianya pengertian harfiah yang diberikan kamus
bahasa Perancis. Budiman menyebut differance
sebagai nir-kata.
Differance disebutkan Budiman mengandung dua hal;
pembedaan (spasialisasi) dan penangguhan (temporalisasi). Ini disebabkan
menurut Derrida, differance tidak
dapat dituturkan dengan mehilangkan pembedaan tulisan yang ditemukan dalam dan
antara kata differance dan difference. Derrida menyatakan: “differance harus dipahami mendahului pemisahan antara “deffering”
sebagai penangguhan dan “differing” sebagai karya aktif pembedaan. Artinya
ketika differance harus dimaknai sebagai
suatu konsep, maka dia semata-mata mengandung dua arti sekaligus, yakni
membedakan dan menangguhkan.
---
Sumber bacaan:
- Seni Memahami Hermeneutik dari
Schleiermacher sampai Derrida. F. Budi Hardiman.
- Manusia dan Alam Semesta. Murthada
Muthahhari.
- Pemikiran yang Membentuk Dunia
Modern. F. Budi Hardiman.
- Islam dan Modernisme. Fazlur
Rahman.
- Kesalehan dan Kekerasan. Kompas
terbitan 6 Januari 2017. F. Budi Hardiman
- Perbandingan Hermeneutika dan
Tafsir. Erik Sabti Rahmawati:
http://psikologi.uin-malang.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/Perbandingan-Hermeneutika-Dan-Tafsir.pdf
- Agama Dan Negara: Jejak
Persilangan Kekerasan. Coen Husain Pontoh.
https://indoprogress.com/2011/10/agama-dan-negara-jejak-persilangan-kekerasan/
- Islam dan Radikalisme Telaah atas
Ayat-Ayat Kekerasan dalam Al Quran. Dede Rodin:
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/view/1128
- Fundamentalisme dan Upaya
Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis. Muhammad
Harfin Zuhdi: http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/Religia/article/view/176
- Memahami Seni Memahami (catatan ringkas atas Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman). Bahrul Amsal: http://alhegoria.blogspot.co.id/2017/02/memahami-seni-memahami.html
---
*Disampaikan dalam diskusi di Pojok Bunker, 9 Maret 2107