Langsung ke konten utama

Layang-layang

Kini layang-layang bukan lagi benda yang istimewa. Bagi anak-anak sekarang, keistimewaan layang-layang hilang akibat betapa mudahnya layang-layang ditemukan di tiap kios sebelah rumah. Tinggal menyisikan beberapa ribu rupiah, benda yang terbang memanfaatkan angin itu sudah dapat dimiliki.

Dulu, dan mungkin pernah Anda alami, layang-layang mainan yang harus diibuat dengan tangkas. Tangan Anda harus terampil menggunakan perkakas. Untuk membuatnya Anda juga harus mahir mengukur keseimbangan tulang-tulangnya. Dan juga, tentu seberapa berat tiang batang layang-layangya.

Dari layang-layang, suatu keterampilan menjadi aktifitas yang khas; ketika membuatnya, anak-anak dapat belajar ilmu ukur, cara memilih bambu yang baik digunakan, dan atau keterampilan merautnya dengan pisau yang Anda asah sendiri.

Layang-layang, akibatnya bukan sekadar permainan belaka, tapi dari cara dia dikontruksi, di situ mengandung ikhwal yang istimewa: keterampilan tangan yang tangkas.

Sumber-sumber pengatahuan inilah yang sekarang tidak tampak di balik terbangnya sekait layang-layang. Memang, zaman berubah. Dan, juga cara anak-anak menerbangkan layang-layang.

Sekarang, ketika saya melihat beberapa anak-anak yang berusaha menerbangkan layang-layang, ingatan saya kembali ke masa-masa kecil ketika layang-layang juga berarti solidnya suatu persahabatan.

Di masa itu bermain layang-layang berarti Anda harus memiliki seorang sahabat, atau setidaknya orang yang akan membantu Anda menerbangkan layangan. Dia, harus rela berjalan beberapa jauh untuk membentang benang agar layang dapat terbang mengudara.

Saat itu, persahabatan Anda dibangun bukan di lorong-lorong perumahan, atau trotoar di pinggir jalan, tapi di atas sebidang tanah lapang yang banyak ditiup angin. Di atas lapangan macam itulah, Anda dan sahabat Anda bisa bercerita banyak hal, sembari memainkan layangan yang sudah mengangkasa di atas Anda.

Tapi, saat ini, anak-anak Anda boleh saja menerbangkan layangannya, plus bersama sahabatnya. Namun, belum tentu itu dilakukan di atas sebidang tanah. Atau apalagi daerah terbuka yang banyak ditiup angin.

Bahkan sekarang menerbangkan layang-layang mesti berjibaku di antara bangunan-bangunan yang kian hari tambah sesak dan padat. Imbasnya, angin, fenomena alam yang mesti ada untuk menerbangkan layang-layang, sudah sulit ditemukan.

Saya menjadi ingat The Kite Runner, adapatasi film dari novel Khaled Hosseini, yang mengangkat kisah persahabatan dua orang anak berbeda suku. Film itu dibuka dengan langit yang dipenuhi layang-layang, dan juga keriangan anak-anak yang berlari mengejar layang-layang yang putus.

Yang utama dari cerita Khaled itu adalah, sudah tentu arti persahabatan. Bahkan, hingga mereka dewasa, yang sebelumnya terpisah akibat konfik yang melanda daerah mereka, Amir dan Hasan, dua tokoh sentral dalam cerita ini masih dipersatukan dengan kenangan masa kecil mereka.

The Kite Runner memang bercerita seputar kekisruhan situasi pemerintahan di Afghanistan pasca jatuhnya monarki Afghanistan dalam invasi Soviet, eksodus pengungsi ke Pakistan dan Amerika Serikat, serta munculnya rezim Taliban. Tapi, layang-layang dalam film itu bisa bercerita banyak hal.

Arti layang-layang mungkin adalah kebebasan, dan juga suka cita.

Itulah sebabnya menerbangkan layang-layang –seperti yang ditunjukkan Amir dan Hasan dalam The Kite Runner— ada perasaan yang tidak bisa diintimidasi. Oleh orang tua, atau bahkan lapangan besar yang kini berganti bangunan-bangunan kokoh.

Dan, juga suka cita, adalah hal terakhir yang dimiliki anak-anak masa kini, sebagaimana layang-layang, mungkin mainan terakhir, di antara kepungan permainan berbasis dunia maya.

Menerbangkan layang-layang memang sudah jarang ditemui sekarang, akibat zaman yang berubah, juga akibat desakan teknologi.

Akibatnya, jarang ditemui anak-anak yang tangkas berlari dengan riang. Dan pengetahuan kecil mereka tentang  bagaimana merakit layang-layang.

Sekarang, jika menengok di langit-langit, yang ada, yang terbang, justru layang-layang buatan orang dewasa, yang dijual di kios sebelah rumah. Dan, di bawahnya, anak-anak yang tertunduk tegun di hadapan layar smartphone.

Memang, zaman berubah. Dan, juga cara anak-anak melupakan layang-layang.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...