Barangkali tidak
ada sidang yang paling tragis selain dari pada sidang Pengadilan Heliasts (Court of the Heliasts). Sidang itu
pengadilan dengan seorang terdakwa, seorang filsuf: Socrates.
Sidang itu bukan
seperti sidang modern yang diketuai seorang hakim tunggal dengan beberapa hakim
anggota, atau disertai jaksa penuntut dan juga seorang pengacara dengan retorika
yang tangguh. Bahkan, sidang Heliasts, adalah pengadilan tanpa hakim atau pengacara.
Dengan kata lain di sidang itu, Socrates seorang diri.
Artinya, di
sidang itu tanpa siapa-siapa, Socrates harus berdiri di hadapan 501 warga
Athena yang bertindak sebagai hakim sekaligus jaksa penuntut. Seorang diri yang
menyusun sendiri pembelaannya, dengan kata-kata, di hadapan suatu yang kelak
akan dikenal sebagai sistem demokrasi.
Dengan kata lain,
siapa pun di sidang itu yang punya kaitan dengan bukti-bukti kejahatan yang
dilakukan Socrates, bisa mengajukan protes, juga tentu tuntutan.
Lantas, apakah
kejahatan Socrates?
Di Athena,
Socrates memiliki kebiasan berdialog. Aghora adalah tempat terbaik Socrates
menemukan siapa saja untuk bertukar pikiran. Dari kebiasaan itu Socrates
disenangi pemuda-pemuda Athena, termasuk Platon, muridnya yang cemerlang. Imbas
banyak membuka wawasan kaum muda, elit Yunani merasa Socrates seorang yang
mengancam.
Socrates membuat
dewa-dewa yang dipuja Yunani kehilangan kewibawaan. Tidak ada yang disebut
dewa-dewa yang secara resmi mesti disembah selain dengan pembuktian rasional.
Imbasnya, Socrates dituduh meracuni keyakinan anak-anak muda. Mengancam agama
resmi Yunani.
Itulah sebabnya
Socrates dituduh sebagai atheis, merusak keimanan warga Yunani. Dan yang kedua,
dari caranya berdialog, pikiran kaum muda menjadi kritis, sesuatu yang tidak
disenangi rezim mana pun.
Dengan dua
tuduhan itu Socrates dilaporkan. Anytus, Meletus, dan Lycin maju di hadapan
sidang dan membacakan kedua tuduhan itu. Dan kita sudah tahu, Socrates kalah
suara. Dia akhirnya menjalani hukumannya meneguk hemlock, rebusan air daun
cemara.
Sebenarnya,
adilkah sidang Heliasts?
Tapi
sesungguhnya, pertanyaannya yang lain, adakah keadilan yang lahir dari
persidangan yang direkayasa?
Di situlah
rumitnya keadilan, jika prasyarat yang menyertainya tidak ditopang dengan
asas-asas hukum yang mencerminkan nilai kebaikan, kemanfaatan, dan kebahagiaan.
Adakah kebaikan
jika suatu sidang sudah sebelumnya disuap? Apa manfaat di dalamnya?
Berbahagiakah segala pihak di dalamnya?
Socrates sudah
tahu, sidang yang diprakarsai atas sentimentalisme tidak akan pernah melahirkan
keadilan. Dengan kata lain, proses hukum yang cacat, bukan tempat keadilan
ditemukan.
Walaupun demikian
Socrates tetap menolak ketika murid sekaligus sahabatnya Critos, ingin
melarikan Socrates dari penjara dengan cara menyuap pula. Bagi Socrates, ada
yang mesti ditegakkan: ketaatan terhadap hukum negara. Biarpun itu dia tahu,
sidang itu sudah direkayasa.
Kepada dua
sahabatnya, Simmias dan Cebes, Socrates berkata: “orang harus tabah ketika
menghadapi kematian, dan patut mempunyai harapan baik, bahwa setelah
meninggalkan hidup di dunia ini, ia akan memperoleh kebaikan terbesar di dunia
lain”.
Berabad-abad kemudian
percakapan sebelum kematiannya akan diceritakan dari reportase dialog seorang
Platon, murid dan filsuf penerusnya.
Kisah Socrates
dengan begitu adalah narasi tentang keadilan yang tak mudah dicetuskan dari
pikiran yang dicemari antipati. Yang dihasilkan dalam sidang Heliasts adalah
sebuah jugdment, putusan, bukan keadilan itu sendiri.
Karena itu secara
metafisik Socrates percaya, ada dunia yang lebih baik. Dunia yang disebutnya
diperoleh kebaikan terbesar di dalamnya.
Barangkali di
sanalah ditemukan keadilan sebenarnya, sesuatu yang identik dengan kebaikan itu
sendiri.
Lantas apakah
arti keadilan yang selalu diucapkan di sini? Yang selalu diperjuangkan banyak
pihak? Di hari ini, sekarang, di kehidupan yang lebih kongkrit?
Itu karena ada
negara, institusi, atau suatu sistem yang dipercaya mampu menciptakan keadilan,
walau itu kian sulit terjadi akhir-akhir ini.
Di dalam
negaralah, realisasi keadilan dapat dimungkinkan. Bukan melalui pikiran-pikiran
kelompok yang mengatasnamakan golongan. Negara dengan begitu tidak mesti
berpihak kepada satu pihak. Toh jika dia mesti berpihak, maka itu hanya kepada
aturan-aturan bersama, hukum bersama, yang idealnya lahir dari pikiran yang
objektif.
Sampai di sini,
itu menjelaskan mengapa Socrates memilih tetap tinggal tinimbang melarikan
diri. Di hadapan negara, seseorang harus bersikap seperti seorang negarawan.
Menghormati intitusi sebagai bagian moral tertinggi.
Dalam politik,
sikap penghargaan Socrates di hadapan negara, menunjukkan suatu ikhtiar yang
disebut sebagai etika politik. Yakni suatu sikap yang mengedepankan moral,
menghargai proses hukum, walaupun di sidang itu sudah sebelumnya direkayasa.
Saat ini politik
di sekitar kita diselenggarakan tanpa prasyarat-prasyarat yang harus
menyertainya: hukum, nilai moral, etika, dan tentu akal sehat.
Hatta, politik
tanpa prasyarat-prasyaratnya hanya menggambarkan situasi yang pernah disebut
Thomas Hobbes: bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua.
Yang naif, di
dalam perang itu banyak yang tidak mengenal siapa melawan siapa? Atau, yang
miris apa sesungguhnya yang menjadi lawan?
Seorang pengarang
dan perdana menteri Inggris semasa perang dunia ke-2 bilang: “politik hampir
sama menggairahkan seperti perang, dan hampir sama berbahayanya. Dalam perang
anda dapat hanya membunuh satu kali, tapi dalam politik banyak kali”. Winston
Churchill.