Sepanjang
2016 kita banyak menemukan esai, artikel, cerpen, opini, puisi, dlsb., dari
penulis-penulis hebat yang betebaran melalui media cetak maupun online. Dalam bentuk
majalah, buku, koran, dan makalah, tulisan apik itu banyak membuka wawasan kita
tentang apa saja. Dari mereka (sebut nama penulis yang Anda sukai di sini),
kita banyak belajar mulai dari gagasan, cara pandang, sikap, perasaan, bahkan
sampai cara mereka menuliskan itu semua.
Saya
meyakini di belakang karya tulis mereka, banyak draf tulisan berupa catatan,
ide lepas, daftar ide, atau gagasan sederhana yang masih mentah yang belum
sempat disempurnakan menjadi karya utuh. Terkadang catatan itu disimpan dan
dituliskan kembali di kemudian hari, atau malah sebaliknya hilang tertumpuk di
antara rancangan tulisan-tulisan lainnya.
Di
bawah ini tujuh daftar draf tulisan saya sepanjang 2016 yang bertahan dan
tersimpan begitu saja tanpa pernah diselesaikan seperti karya tulis lainnya.
Pertama, Aku dan Tubuh yang Tua. Karya ini tidak setua judulnya. Frase
tubuh yang tua mungkin saja menyiratkan waktu penanggalan yang cukup panjang,
sampai akhirnya hilang di lipatan-lipatan ingatan. Ibarat seorang kakek renta
yang kehilangan ingatan tentang usianya. Aku dan Tubuh yang Tua pertama kali
dituliskan sekitar tanggal 13 November 2015.
Pertama
kali karya ini dikerjakan, dimulai dari ide sederhana tentang organ vital yang
kehilangan fungsi-fungsi biologisnya. Seiring
dengan tubuh seseorang yang beranjak uzur, organ vital ini juga ikut mengalami
ancaman berupa kematian yang semakin dekat. Akibat semakin tua, organ ini pelan-pelan
mati bersama tubuh seseorang tempatnya berada. Begitulah, tulisan ini
diniatkan.
Dengan
mengambil sudut pandang orang pertama, cerpen ini ingin menarasikan perasaan
dan segala peristiwa yang dialami “sang organ” ketika menghadapi hari-hari akhir
dan pasca kematian. Dengan meminjam tekhnik stream of consciousness-nya Fyodor Dostoyevsky,
cerpen ini dimulai dari “sang organ” yang bercerita tentang dirinya sebagai
bagian awal penceritaan.
Tapi
apa boleh buat, karya ini tidak bernasib baik. Takdirnya tidak pernah selesai
sebelum paragraf kedua. Sekarang saya baru menyadari, tehknik arus kesadaran
bukan praktik penulisan yang sama dengan cara menulis pada umumnya.
Seperti
bahasa umumnya, di dalam teknik arus kesadaran tergolong dua jenis bahasa. Pertama,
bahasa sebelum percakapan (prespeech level). Bahasa ini kesadaran di dalam
benak seseorang berupa perasaan, pikiran, prasangka, motivasi dlsb., sebelum diucapkan.
Karena sebelum diucapkan, bahasa praucapan bersifat tidak terstruktur,
meloncat-loncat, spontanik, dan tidak berdasarkan hukum logis rasional dan
dasar-dasar berkomunikasi. Ini seperti celotehan sebelum hukum pikiran
berkerja.
Sementara
kedua, disebut bahasa saat pengucapan (speech level) yang diatur logika,
direncanakan, dan berdasarkan dasar-dasar berkomunikasi. Berkebalikan dari
bahasa sebelum percakapan, bahasa level pengucapan merupakan bahasa yang mampu
membangun dialog dengan lawan bicara akibat sifatnya yang terbahasakan.
Saya
meyakini tehnik penulisan arus kesadaran harus melibatkan kesadaran yang
intens. Mentautkan kesadaran kepada seluruh situasi yang melingkupinya. Bahkan
bukan saja objek-objek atau pengalaman yang sedang dirasakan, tapi juga
peristiwa masa lalu yang dapat membangkitkan kenangan, sensasi, perasaan, dan
memori. Melalui semua itu, narasi akhirnya diceritakan dengan berpusat pada “sang
aku” sebagai tokoh utamanya.
Akibat
sifatnya yang cenderung psikologis dan eksistensialis, dan sifatnya yang
spontanik, cerpen saya ini berakhir begitu saja. Tanpa bisa diteruskan sampai
paragraf terakhir.
Menyibak yang Akrab dari
Obrolan Sederhana Puthut EA,
adalah karya kedua yang sebenarnya
tinggal ditutup dengan paragraf pamungkas di bagian akhir. Namun akibat
dikerjakan bersamaan dengan “keributan” kawan-kawan PB saat itu, tulisan ini
berhenti tanpa menyisakan semangat melanjutkannya kembali.
Motivasi
tulisan ini diambil dari buku kumpulan cerpen Puthut EA, “Melihat Bebek Mati di
Pinggir Kali”, terkhusus mengenai cerpen yang menceritakan dua orang tetangga
penghuni vila yang tidak saling mengenal. Akibat hujan yang tiba-tiba jatuh,
membuat mereka dapat mengobrol di teras vila setelah salah satu di antaranya
terjebak hujan pasca membeli rokok. Kira-kira begitu yang saya ingat narasi cerpen
berjudul Obrolan Sederhana itu.
Esai ini sekadar ingin memberikan dan mencatat pandangan saya tentang ide –yang menurut saya—individualisme, karakter orang kota, kerja, dan sifat khas manusia abad 21 yang dikandung di dalam cerpen Puthut EA itu.
Esai ini sekadar ingin memberikan dan mencatat pandangan saya tentang ide –yang menurut saya—individualisme, karakter orang kota, kerja, dan sifat khas manusia abad 21 yang dikandung di dalam cerpen Puthut EA itu.
Namun,
sampai sekarang Menyibak yang Akrab dari
Obrolan Sederhana Puthut EA, tergeletak begitu saja, seiring dengan jalan
cerita cerpen itu yang pelan-pelan hilang dari ingatan saya.
Menulis
ide-ide filosif dalam format esai pendek memiliki tantangan tersendiri. Selain harus
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, penggunaan istilah-istilah teknis
juga harus diminimalisir. Dan yang paling penting, setiap asumsi-asumsi dari
ide tertentu harus runut dan logis sebagaimana sistem pemikiran filsafat itu
sendiri.
Ketiga, Keadilan Ilahi: merupakan tema besar filsafat yang harus
saya urai seperti aturan di atas. Namun tulisan ini sulit saya tuliskan. Selain
pikiran yang kalang kabut, tema ini memang tidak mudah diuraikan. Saya bukan
seperti misalnya, Budi F. Hardiman, Mulyadi Kartanegara, Haedar Bagir, Bambang
Sugiharto, Yasraf Amir Piliang, atau penulis-penulis filsafat hebat lainnya
yang mampu membuat pembahasan filsafat nampak sederhana melalui bahasa yang
mereka pakai. Apalagi tulisan ini dibuat untuk menjadi bahan diskusi pada format
pelatihan dasar yang notabene masih berat menangkap pemikiran yang menuntut
analisis dan kedalaman.
Ketika
tulisan ini dibuat, saya mengalami krisis bacaan berbau filsafat, terutama filsafat
Islam. Keadaan semakin parah akibat tidak ditunjang buku-buku referensi yang
ketika itu berada jauh di kamar tempat tinggal saya. Hanya bermodal referensi
online, semangat saya tiba-tiba semakin lama menjadi kendur. Guyah, kemudian
hilang.
Akhirnya,
sampai detik ini, draf esai ini saya biarkan begitu saja.
FTV dan Selera Imajinasi
yang Buruk merupakan esai
keempat tahun 2016 yang juga
berimajinasi buruk. Berakhir tragis tanpa tahu kemana ia akan berakhir sempurna.
Esai ini dibuat ketika saya merasa sedikit jengkel dengan jalan cerita FTV yang
beberapa hari itu sering saya saksikan. Akibat kekurangan tontonan yang
bergizi, setiap pagi saya dipaksa menonton karya kreatif yang tidak benar-benar
kreatif. Selain semua jalan ceritanya sama, saya merasa orang-orang di balik
setiap FTV yang saya saksikan adalah orang yang sama pula dengan selera yang
buruk pula. Esai ini dibuat di akhir 2016.
Yang kelima, Kota dan Cagar Ilmu Pengetahuan. Sepanjang 2016 saya banyak melihat
pemberitaan di beberapa daerah tentang pengusiran dan penggusuran paksa
komunitas mahasiswa dan literasi yang dilakukan entah pemerintah, militer, dan
birokrasi kampus. Peristiwa ini juga berbarengan dengan maraknya larangan
pembuatan forum-forum diskusi yang diinisiasi komunitas-komunitas gerakan kiri.
Atas beberapa peristiwa itu saya menulis judul di atas.
Kota
dan Cagar Ilmu Pengetahuan juga dibayang-bayangi latar peristiwa yang dialami
komunitas Pasar Sabtu Makassar yang diusir paksa pemerintah kota dengan dalih
keamanan dan keindahan kota. Begitu juga yang dirasakan adik-adik almater saya
di UNM yang dilarang berjualan buku di dalam kampus.
Inti
dari karya ini ingin menguji pertanyaan-pernyataan kritis tentang kota sebagai
ruang publik yang terbuka bagi semua warga dalam mengekspresikan akitvitas
perkotaannya. Aktivitas perkotaan salah satunya tentu berupa kegiatan-kegiatan
produktif yang berkaitan dengan dimensi edukasi.
Dilihat
dari dimensinya, orang-orang yang terlibat terutama adalah kalangan cerdik
cendikia yang diwakili kalangan mahasiswa dan ilmuwan, ataupun seniman,
penyair, dlsb. Berkaitan dengan aktivitas yang ditemukan dari profesi kaum
cerdik cendikia, pertanyaan utamanya, yakni, bagaimanakah kota memberlakukan
golongan cerdik cendikia sebagai orang-orang yang bertugas dekat dengan ilmu
pengetahuan? Apakah ada ruang perkotaan yang menunjang pekerjaan mereka? Jika
ada, seberapa jauhkah kota menyediakan sarana prasarana demi menunjang
aktivitas edukasi warganya? Mengapa kota cenderung represif dengan akitivitas
mahasiswa walaupun itu berkaitan dengan gerakan literasi? Dlsb.
Tapi
ketika tulisan ini dibuat, saya malah mencurahkan energi kepada esai saya yang
lain. Imbasnya, esai ini hanya tinggal berupa pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat dituliskan jawabannya.
Kota dan Publik Space. Akhir tahun 2016 saya sering berniat
ingin menulis esai dengan tema-tema perkotaan. Tapi keinginan ini belum mampu saya
realisasikan. Selalu ada tema-tema lain yang membuat saya “kegatelan” agar dituliskan. Akhirnya seperti nasib rencana tulisan yang lain, karya keenam ini hanya bisa saya tunaikan sampai
di judulnya saja.
Yang
ketujuh, serial Madah. Ini adalah proyek literasi pribadi saya yang paling
ambisius. Saya mulai mengerjakannya tahun 2015. Esai ini diinspirasi dari Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad.
Tapi, jika GM menulis Caping seminggu sekali, saya justru satu esai satu hari. Itulah
sebabnya mengapa saya sebut ambisius.
Esai
ini membawa satu gaya menulis yang tidak biasa, yakni tidak diperuntukkan
memakan berlembar-lembar halaman kertas. Cukup selembar saja selagi bisa
mewadahi perasaan, keresehan, sudut pandang, atau sikap saya atas beragam fenomena
yang saya saksikan sehari-hari. Karena tidak mematok tema tertentu, serial
Madah bisa menyasar pokok soal apa saja. Bahkan, pernah saya menyoal suara azan
yang kerap biasa kita dengarkan. Inti dari serial Madah sebenarnya berusaha
membuka persolaan walaupun dimulai dari tema-tema sederhana.
Namun,
di sisi lain, Serial Madah membawa beban tersendiri bagi saya. Kesulitan serial
Madah ini adalah saya harus memiliki banyak ide agar mampu menyelesaikan satu
esai setiap malam. Ditambah beragamnya aktivitas dari pagi hingga sore,
terkadang membuat saya kewalahan menulisnya tiap malam. Saya sering kehabisan
energi. Kadang juga kepala saya kosong tanpa ide satupun untuk dituliskan.
Akhirnya,
cara mentaktisi kesulitan saya itu hanya dengan membaca buku. Maka hampir di tiap
malam saya harus membuka lembaran-lembaran kertas buku hanya untuk mencari ide
di dalamnya.
Selain
itu, saya sering kali sengaja mengajak seseorang untuk berdiskusi di siang
harinya hanya untuk menemukan satu proposisi sederhana yang bisa saya bawa
pulang dan dijadikan ide menulis di saat malam kelak. Dengan dua cara itu, saya
sering kali terseok-seok menulis tanpa henti tiap harinya. Tapi apa boleh buat,
ini proyek ambisius saya.
Sekarang,
proyek literasi yang hanya bisa saya lakukan kurang dari dua bulan itu,
berhenti di serial Madah 54. Ketika menulis serial terakhir Madah, saya hanya
berniat: suatu saat saya harus melanjutkannya kembali.
Syahdan,
sampai sekarang saya hanya menunggu semacam perspektif baru untuk dapat
melanjutkan kembali ketujuh draf yang sekarang berakhir bukan seperti apa-apa.