![]() |
F. Budi
Hardiman.
Penulis buku Seni Memahami.
Pengajar Filsafat
|
Setelah membaca sedikit tulisan Menuju Masyarakat Komunikatif-nya
F. Budi Hardiman, terbersit dalam benak saya, tanpa dihubungkan kekuatan di
luar kesadaran manusia, semua apa yang kita omongkan, ataupun yang sering
dituliskan (juga yang sering diperbuat) bisa jadi merupakan hasil dari “sensor
diri”. Maksudnya, jangan-jangan hampir semua praktik berbahasa dan tindakan
kita merupakan imbas dari penyakit yang tidak kita duga-duga: neurosis.
Pengertian ini memang agak melenceng dari yang dibilangkan F. Budi
Hardiman mengenai konsep “sensor”, dan di mana konsep itu diberlakukan. Konsep
sensor itu sendiri sebenarnya diambil dari pemikiran Sigmund Freud dalam
menerangkan pengalaman mimpi yang dialami pengidap neurosis.
Budi Hardiman menjelaskan, mimpi yang kerap menjadi “dunia
pelarian” bagi harapan-harapan yang tidak terealisasi di alam praksis, selalu
terbentuk dan terdistorsi oleh mekanisme “sensor” dan “resistensi.” Imbasnya,
mimpi tidak akan sepenuhnya dapat terpahami dengan baik akibat dua mekanisme
sebelumnya.
Distorsi mimpi akibat sensor diri menghendaki agar “sesuatu” tetap
dapat tersimpan tanpa bisa disampaikan. Prinsip sensor ini bekerja dengan
mengikutkan “resistensi” sebagai mekanisme lain yang sama-sama hadir saat
bahasa itu diutarakan. Sehingga jika dorongan diri begitu kuat ingin
menyampaikan sesuatu, justru yang disampaikan hanya berupa kepingan-kepingan
bahasa yang samar dan gelap
Cara yang ditempuh dua mekanisme di atas menggunakan bahasa berupa
simbol, metafor, alegori, dlsb., untuk menyembunyikan maksud sebenarnya dari
pengalaman mimpi. Dengan kata lain, melalui bahasa simbolik, metafor, dan
alegoris, “sensor” dan “resistensi” menjalankan kerja-kerjanya menyembunyikan
maksud sebenarnya di balik mimpi yang dialami.
Yang menarik dari konsep ini, seperti yang dituliskan Budi F.
Hardiman, sensor dan resistensi merupakan gejala yang dialami tanpa pernah
diketahui pelakunya. Ini mirip dengan “kesadaran palsu” Marx yang menandai
hilangnya kesadaran kritis akibat tatanan kekuasaan ideologis yang menipu.
Hanya saja dalam kasus ini, situasi yang dialami pelaku bukan terjadi akibat
kekuatan eksternalitas yang mempengaruhi dan menentukan kesadaran dari luar.
Bagi pengidap neurosis, keadaan alienatif terjadi akibat pelaku itu sendiri
sebagai penyebab tunggalnya. Budi F. Hardiman menyebut peristiwa ini sebagai
“penipuan diri”.
Karakter "penipuan diri" dan kesadaran palsu-nya Marx
berbeda dilihat dari tingkat ilutif dan halusinatifnya. Penipuan diri jauh
lebih mengerikan tinimbang kesadaran palsu. Perbedaan itu akibat sebab musabab
dari mana sumber penipuan itu terjadi. Jika kesadaran palsu-nya Marx berasal
dari tatanan borjuis yang mengintrodusir pemahaman keliru tentang realitas dari
luar kesadaran, maka dalam "penipuan diri," yang menjadi sumber pemahaman
keliru tiada lain --seperti yang disebutkan--berasal dari dalam
"kesadaran" itu sendiri.
Sehingga, metode pembebasan dalam kasus kesadaran palsunya-nya
Marx "cukup" dengan merubuhkan tatanan borjuis yang eksis dan bekerja
di luar kesadaran. Artinya, itu dapat dimungkinkan karena "agen
pembebas" mengalami penjarakan langsung dengan asal-usul penindasannya.
Akibat adanya jarak inilah yang membuka ruang lahirnya kesadaran baru untuk
keluar dari situasinya yang alienatif.
Sementara untuk kasus penipuan diri jauh lebih sulit akibat
tingkatan ilutifnya. Bagaimana metode pembebasan itu mungkin jika
"penipuan diri" justru berasal dari internal kesadarannya? Dengan
kata lain, nihilnya jarak di antaranya menyebabkan ilusi itu sendiri menjadi
satu-satunya situasi yang dianggap normal.
Melalu konteks pengertian di atas, apa hubunganya dengan paragraf
pembuka sebelumnya? Apakah kita sebenarnya mengidap semacam neurosis sehingga
tanpa disadari mengalami “penipuan diri”? Persoalan ini akan jauh lebih menarik
jika kita tiba-tiba menyadari ada sebagian (atau hampir semuanya) perkataan dan
tindakan kita yang dilakukan tanpa disertai kesadaran di dalamnya. Dengan
kalimat yang lain, ada tindakan-tindakan kita yang sebenarnya merupakan imbas
sensor dan resistensi diri.
Namun perlu diterangkan di sini sebelumnya pengertian neurosis
berdasarkan yang saya temui. Neurosis merupakan penyakit yang mendorong pasien
menyembunyikan penipuan dirinya. Artinya, pengidap neurosis memiliki pembawaan secara
tidak sadar menyembunyikan “penipuan dirinya” dengan cara memanipulasi bahasa,
tindakan, atau ekspresi mimik dan tubuh.
Lantas bagaimanakah gejala neurosis dapat diidentifikasi? Salah
satu caranya yakni dengan mengetahui simtomnya, gejala-gejalanya. Menurut
Sigmund Freud gejala neurosis muncul tanpa disadari melalui histeria, keseleo
lidah, atau tindakan-tindakan spontan. Gejala ini menjadi benderang melalui
mekanisme sensor dan resistensi diri yang ingin menyembunyikan sesuatu, tapi
justru “meledak” melalui simtom di atas.
Saya agak terburu-buru mengatakan jika hampir semua yang kita
lakukan terhadap bahasa dan tindakan akibat gejala neurosis. Apalagi jika
konsep neurosis diperluas sampai ke tingkat masyarakat. Neurosis bukan sekadar
“penipuan diri” yang dialami per individu, tapi juga secara kolektif, massal.
Bagaimana itu mungkin? Pertanyaan ini hanya bisa dipahami jika “sensor” dan
“resistensi” bukan saja mekanisme internal yang beroperasi dalam diri manusia,
namun juga di dalam masyarakat?
Sebagaimana kesadaran palsu yang diafirmasi Karl Marx dalam
masyarakat kapitalistik, “neurosis kolektif” juga dapat disematkan dalam
masyarakat komunikatif yang mengalami hambatan-hambatan berbahasa.
Hambatan-hambatan yang dimaksud merupakan praktik kekuasaan tertentu melalui
pembodohan dan sensor pemerintah terhadap lalu lintas pengetahuan dalam
interaksi masyarakat.
Asumsi ini dijelaskan Jurgen Habermas (dalam masyarakat
komunikatif-nya F. Budi Hardiman) bahwa makna sensor bukan saja berarti secara
simbolik, tapi juga sekaligus harfiah. Artinya, secara kongkrit praktik sensor
dapat ditemui terang benderang di sekitar kita.
Saya ambil contoh temuan Benedict Anderson tentang perubahan EYD
yang dilakukan pemerintah adalah suatu cara sensor bahasa agar masyarakat
dijauhkan dari khazanah pengetahuan yang berkembang di era sebelum masa orde
baru. Dengan model ejaan yang “disempurnakan,” pengetahuan-pengetahuan yang
diliterasikan melalui praktik berbahasa ejaan lama, akhirnya tidak dapat lagi
dikonsumsi. Praktik berbahasa demikian, disebut Anderson sebagai tindakan orde
baru untuk menghapus ingatan masyarakat atas sejarahnya sendiri.
Keadaan demikian mengingatkan kita ihwal relasi pengetahuan dan
kekuasaannya Foucault ketika kekuasaan mengambil alih kesadaran masyarakat
lewat praktik-praktik normalisasinya. Artinya, apa yang selama ini disebut
"pengetahuan" sudah lebih dahulu dikontrol dan
"dimanipulasi" demi kepentingan tersembunyi kekuasaan.
Praktik berbahasa orde baru itu akhirnya menyisakan dampak
traumatis berkepanjangan dan sulit disembuhkan. Mengingat selama 32 tahun lebih
praktik-praktik politik bahasa orde baru secara ideologis membangun relasi
hegemonik hingga sekarang.
Imbasnya sekarang, gejala neurosis secara kolektif dapat disimak
melalui praktik berbahasa masyarakat hari ini. Banyak betebaran simptom yang
mengacu kepada “meledaknya” dorongan neurosis berupa bahasa-bahasa histerik dan
sentimentalistik. Fenomena ini hanya mengacu kepada dua hal: pertama,
terdapatnya hasrat terpendam yang tak mampu dikontrol akibat sensor dan
resistensi diri, dan kedua, yakni berlakunya situasi yang pertama di dalam
level komunitas dan bernegara.
Tapi sampai di sini leher saya pegal. Cukup sampai di sini dulu.