![]() |
Asrul Sani
Seorang sastrawan dan sutradara film
ternama asal Indonesia.
Tahun 2000 Asrul Sani menerima penghargaan Bintang
Mahaputra dari Pemerintah RI.
|
Saya percaya ide menulis bisa ditemukan dari membaca kembali tulisan-tulisan yang telah lama tersimpan. Jika Anda memiliki kebiasan menulis, sesungguhnya itu jauh lebih mengasyikkan jika membiarkan pikiranmu dijerat rencana-rencana ambisius seperti saat orang-orang menantikan pergantian awal tahun. Tapi, jika menulis adalah suatu keharusan, itu malah jauh lebih menyesakkan. Anda seperti mendapatkan kutukan. Anda harus melakukannya.
Saya
menjadi ingat artikel AS Laksana dengan judul yang justru samar-samar di dalam
benak saya. Kalau tidak salah tulisan itu dibuat untuk membahas sepak terjang kepenyairan
seorang Asrul Sani. Salah satu problem dilematis dalam artikel itu dikemukakan
AS Laksana mengenai apakah keharusan penyair atau penulis ikut berkewajiban menanggung
beban situasi sosial yang melingkupinya. Atau dengan kata lain, mungkinkah
seorang penyair mengharuskan tulisan-tulisannya mengandung unsur-unsur tanggung
jawab sosial? Samakah seorang penyair
dengan ideolog?
Pertanyaan
ini pula yang mendasari apakah ada “keharusan” bagi siapa pun untuk menulis? Jika
memang harus, apa yang melatarbelakanginya? Suatu tanggung jawab sejarahkah?
Barangkali
karena itu banyak cerpen-cerpen Asrul Sani disebut sebagai sastra gigantis. AS
Laksana bahkan banyak menelusuri kepenulisan Asrul Sani, terutama di dalam
cerpen-cerpennya, tokoh-tokoh yang kaku dan sok-sok filosofis. Hampir semua
dialog dalam cerpen-cerpen Asrul Sani, di dorong, direnungkan, dan
difilosofiskan tokoh-tokohnya. Imbasnya, tokoh macam demikian menjadi orang
yang berkarakter dingin dan datar, sekaligus pengkhotbah.
Menurut
saya, tokoh yang diidealkan sebagai pengkotbah bukanlah tipe karakter yang
lentur dan mencerahkan. Terkadang, tokoh yang berpotensi menjadi pengkotbah
malah menutup segi-segi sudut pandang yang dimungkinkan dalam setiap
penokohannya. Dalam dialog, misalnya, lawan bicara didudukkan seperti pesakitan
yang harus lebih banyak mendengar dan dinasehati. Akhirnya, dialog menjadi
semacam ceramah keagamaan tinimbang perbincangan manusiawi selayaknya keadaan
sehari-hari.
Begitulah,
dalam tulisan itu pula AS Laksana menuliskan kesulitan setiap penulis cerpen
ketika membangun dialog dalam ceritanya. Pertanyaannya, apakah mungkin dialog
hanya bagian cerpen yang sengaja diadakan hanya untuk menjadi saluran nilai
tertentu, ataukah seperti kejadian sehari-hari, suatu peristiwa organik yang tidak diarahkan dan dibuat-buat?
Tentu
ini bukan perbandingan antara cerita-cerita yang bermuatan nilai luhur dengan
cerita yang berserakan nilai lumpur. Tapi, di artikel itu AS Laksana mengatakan
hampir semua cerpen-cerpen yang ditulis Asrul Sani tidak jauh berbeda seperti
buku diktat filsafat. Bahkan disebutkan AS Laksana, Asrul Sani hanya meminjam
mulut tokoh-tokoh cerpennya sebagai corong aspirasi pribadinya.
Kecenderungan
ini dibilangkan AS Laksana sebagai kecenderungan kenabian. Kecenderungan
kenabian kadang membuat orang melihat medan ekspresi seni seperti medan dakwah.
Hampir segala medan harus diimbuhi pesan-pesan bermoral. Semuanya harus tunduk
di dalam kriteria moral tertentu.
Kecenderungan
kenabian saya kira banyak dialami di dalam tulisan-tulisan yang mirip pamflet. Bisa
dibilang, entah itu esai ataupun cerpen, misalnya, hanyalah tubuh tumpangan
niatan moralis yang kadung tidak menemukan jalan solutif di alam kenyataan. Sehingga di
dalam pengertian tertentu, karya tulis yang dibentuk dengan cara demikian akan
jatuh di dalam karya tulis yang terdorong motif heroisme.
Akan
sulit ditemukan indikatornya apakah karangan macam demikian hanyalah eskapisme
dari realitas sebenarnya. Sehingga, imbasnya, idealitas hampir akan banyak menyesaki
seluruh ide-ide tulisan di dalamnya. Dengan kata lain, hampir semua idealitas
ditumpahkan begitu saja tanpa tersisa dalam karya tulis sampai tidak menyisakan
ruang kosong untuk permenungan sang pembaca.
Namun,
nilai intristik karya tulis kadang dipengaruhi situasi sosial-budaya yang
melingkupinya. Itu juga yang menyebabkan mengapa karangan-karangan Asrul Sani
sarat dengan beban ide. Situasi di luar tulisan-tulisan Asrul Sani-lah yang
membuatnya memiliki keharusan untuk berurusan dengan nilai-nilai ideal.
Situasi
inilah yang saya kira juga banyak dialami oleh penulis-penulis di masa revolusi
Indonesia. Zaman bergerak sekuat tenaga
di atas tanah pertiwi menentang penjajahan. Jika militer saat itu mengangkat
tinggi-tinggi senjata demi mempertahankan tanah airnya, situasi yang hampir
sama dialami pula penulis-penulis era revolusi, pasca revolusi, dan era
setelahnya untuk merumuskan paras Ibu Pertiwi yang seharusnya.
“Ibu Pertiwi yang seharusnya” inilah yang menurut saya menjadi lapisan alam bawah sadar siapa pun saat itu ketika berkeinginan dan membayangkan alam indonesia yang ideal. Itu berarti di bawah bayang-bayang “ibu pertiwi yang seharusnya” setiap keadaan diukur dan dirinci sedemikian rupa agar Indonesia kala itu menjadi bangsa yang bermartabat.
“Ibu Pertiwi yang seharusnya” inilah yang menurut saya menjadi lapisan alam bawah sadar siapa pun saat itu ketika berkeinginan dan membayangkan alam indonesia yang ideal. Itu berarti di bawah bayang-bayang “ibu pertiwi yang seharusnya” setiap keadaan diukur dan dirinci sedemikian rupa agar Indonesia kala itu menjadi bangsa yang bermartabat.
Di
situlah menurut saya aras pemikiran ideologis kadang tak memiliki batasan tegas
antara sastra ataupun seni. Dimensi pemikiran yang menghendaki suatu pernyaatan
harus didirikan dalam bangun-pikir yang logis dan sistemik, berjalinkelindan
dengan semangat kebebasan imajinatif dan ekspresif yang dipompa dari jantung
sastra dan seni.
Di
antara tegangan keharusan keketatan ide-ide dengan kebebasan imajinatif dan
ekspresif itulah, saya kira yang membuat Asrul Sani dan penulis di masanya
mengambil pijakan salah satu di antaranya. Dan, saya kira itulah sebabnya
mengapa tulisan-tulisan Asrul Sani ketat dengan muatan ide-ide. Bahkan, puisi-puisi
gigantisnya.
Sampai
di sini, mestikah suatu tulisan diimbuhi ide-ide besar? Semacam tulisan yang mengusung
agenda-agenda tertentu?
Saya
berpikir alangkah menyenangkan jika pilihan-pilihan pekerjaan seseorang
ditengarai perasaan suka cita. Riang gembira dan bebas tanpa beban. Bukan soal
amanah apa yang mensituasikannya, melainkan kebahagiaan apa yang ada di
baliknya.
Begitu
pula ketika suatu karya tulis mesti bergerak di antara kebebasan dan kesenangan
berkespresi. Bukan sebagai karya yang didorong semacam “rasa bertanggung jawab”
terhadap sesuatu di luar karya tulis itu sendiri. Artinya, seperti yang
disebutkan Eka Kurniawan, tanggungg jawab seorang penulis yang paling utama
adalah melahirkan karya-karya yang baik. Tapi, bagaimanakah karya tulis yang
baik itu? Saya kira ini inti soal lain yang segera harus dijawab dari karya
setiap penulis.
Barangkali
kebahagiaan belakangan ini adalah hal paling berharga yang mudah tercuri dari
jiwa kita. Banyak di antara kita menjadi tokoh-tokoh cerpen yang sarat khotbah
ketika mengungkapkan sesuatu. Menjadi orang yang berkarakter serius dan
menegangkan. Ibarat seperti ahli agama yang mendefenisikan dunia hanya dari dua
sisi ekstrim surga dan neraka.
Dan,
ibarat ilustrasi George Orwell dalam 1984, suasana kehidupan saat ini seperti
diawasi semacam The Big Father yang
banyak dan paling berhak menentukan pilihan-pilihan manusiawi kita. Hidup seolah-olah
bagaikan di dalam istana cermin. Nampak indah dari dalam, tapi sangat rapuh dan
begitu gampang ditembusi pengawasan dari entah siapa. Seperti misalnya, soal
haram-halal, sudah banyak menyosor mengontrol dan menyasar hal ihwal
yang sebetulnya sepele. Era kiwari, haram-halal, boleh-tidak boleh, harus-tidak
harus bukan sekadar imbas pertimbangan yang panjang dan hati-hati, malah lebih
mirip obral barang-barang bekas yang mudah ditemukan.
Inti
dari soal ini, dunia lain hal dan kehidupan kita lain soal. Walaupun keduanya
memiliki ikatan di bagian-bagian tertentu, saya merasa hal yang paling
memerdekakan adalah menjaga apa yang kita punyai dengan semangat bergembira. Seperti
misalnya menulis bukan karena didorong dengan imperatif tertentu, melainkan
suatu upaya menakar seberapa besar jiwa kita menjadi tempat sampah atau
sebalikya, menjadi wadah daur ulang.