Ketika menyampaikan materi di
pelatihan menulis, di hadapan mahasiswa Pendidikan Sejarah UNM, saya katakan
menulis adalah peristiwa dahsyat yang pernah ada dalam sejarah manusia. Menulis
hakikatnya tindakan revolusioner.
Bagaimana itu dijelaskan? Saya
menganggap peralihan ide menjadi aksara tinanda peristiwa maha dahsyat. Ide,
yang kesannya abstrak, juga dikenal sebagai gagasan, ketika berubah wujud
kongkrit, ialah aktivitas melintas batas.
Dari ide yang abstrak itu, menjelma
karya tulis, hanya bisa dilakukan dari tindakan revolusioner. Menulis, itu
berarti menjebol batas dunia, dimulai dari gagasan menjadi tindakan manusiawi.
Saya kira tidak ada peristiwa
paling menggemparkan ketika Muhammad menyebut satu ucapan: iqra. Melalui
peristiwa historik itu, ada dunia dijebol, ada batas diseberangi. Dihinggapi
rasa takjub, lisan Muhammad menyebut kalimah Tuhan itu: iqra, iqra, iqra...
Hingga akhirnya, hanya di bibir
Muhammadlah, yang ilahiat bertransformasi. Dari lisannya yang pertama, Muhammad
membaca alam ketuhanan, suatu alam ilahiat. Di titik ini yang ada hanyalah
kefanaan, dan Muhammad hanyalah noktah kecil yang mencandrai alam maha dahsyat
yang diliputi cahaya spiritual tak terbatas.
Iqra kedua, dari mata batinnya,
Rasulullah membaca jagad alam raya, masayarakat, dan sejarahnya. Membaca
hukum-hukum perkembangannya. Sebab-sebab perubahannya, dan bagamaina alam
semesta dibentuk dan berkembang dalam titimangsa sejarah.
Di lisan yang ketiga, iqra membawa
Rasulullah menukik berbalik membaca dirinya. Semesta yang disebut alam micro
cosmos.
Itulah sebabnya, tiada peristiwa
paling agung melebihi Rasullullah ketika dihinggapi anugerah pencerahan yang
melibatkan tiga lapis dunia sekaligus.
Saya kira, kurang lebih tindakan
demikianlah dialami setiap orang-orang yang menulis. Dia menjadi seperti
Muhammad kala mendapatkan wahyu. Menembusi tiga alam sekaligus, dan kemudian
dari hati yang takjub menulis apa yang dia pikir, lihat, dan rasakan.
Saya menganggap tiga aktivitas
manusiawi itu sebenarnya mewakili tiga alam kenyataan. Yang dipikirkan menandai
"aku membaca" alam-alam abstrak, sebagaimana Muhammad melintasi alam
ketuhanan-mistikal. Yang dilihat, itu berarti cara manusia menggunakan inderanya
mencandrai alam pengalamannya, dunia sekitarnya. Terakhir, yang dirasakan,
merupakan refleksi manusia membaca kenyataan dirinya.
Dalam sejarah, pasca Rasulullah
dihinggapi ketakjuban atas anugerah yang diberikan kepadanya, sejarah akhirnya
mulai dibangun.
Tak bisa ditampik, iqra yang
dilisankan Muhammad menjadi sokongan pergerakannya. Di bawah naungan cahaya
ilahiat, mata Rasulullah berusaha menyasar yang jahil. Jika penyimpangan itu
gelap di hadapannya, Rasulullah bersuara.
Karena itulah kita mengenal al
Qur'an dan hadis. Ucapan-ucapan Rasulullah ketika meluruskan peristiwa yang
melenceng. Atau memberikan jalan keluar dari kejumudan umat saat itu.
Dan, dari situ, apa tindakan luar
biasa yang menyokong wahyu dan hadis Nabi? Rasulullah menggenapkan wahyu dengan
tradisi literasi.
Ali bin Abi thalib, menantu sekaligus murid setianya, serta beberapa sahabat lainnya, mengambil tindakan bersama mengabadikan ucapan-ucapan Rasulullah. Menulis kala itu tidak sekadar pekerjaan sepele, melainkan itu cara ucapan Rasulullah menembus lintasan generasi ke depan.
Ali bin Abi thalib, menantu sekaligus murid setianya, serta beberapa sahabat lainnya, mengambil tindakan bersama mengabadikan ucapan-ucapan Rasulullah. Menulis kala itu tidak sekadar pekerjaan sepele, melainkan itu cara ucapan Rasulullah menembus lintasan generasi ke depan.
Tidak bisa dibayangkan apa jadinya
era kiwari jika ucapan Rasulullah terhapus lipatan waktu sejarah. Barangkali
kekosongan, barangkali kejumudan.
Maka penulisan ucapan (dan tindakan)
Rasulullah merupakan peristiwa sejarah yang harus terus dihidupkan. Terutama
suatu metode yang ditunjukkannya: menulis yang disokong kerja sama kolektif.
Penulisan hadis Nabi, ibrah tanpa
batas. Kita tahu dalam sejarah, proses pengabadian itu ditunjang dari tindakan
kolektif. Rasulullah sebagai pipa pertama wahyu, dan sahabat-sahabatnya sebagai
kaki-kaki yang menyokong penulisan itu dapat terjadi.
Itu artinya, dimulai dari
Rasulullah, tindakan tulis menulis menjadi kolektif di tangan sahabat-sahabatnya.
Saya menganggap peristiwa ini bukan berarti Rasulullah tidak bisa menuliskan
sendiri ucapan-ucapannya, tapi ini satu usaha memperkenalkan suatu pola kerja
sama yang dibina solidaritas yang kuat.
Hingga akhirnya, peristiwa
literatif itu menumbuhi kecambah setiap peristiwa sejarah. Melalui al Qur'an
dan hadis-hadisnya, perkembangan umat manusia mengambil inspirasinya.
Sampai di sini, ketika saat
menyampaikan pelatihan pagi itu, saya berpikir mungkin inilah cara saya
menyatakan hari kelahirannya. Melalui maksud demikianlah setidaknya saya
menyatakan niat berusaha belajar mencintainya.
Bahkan perasaan saya kala menyatakan
cinta kepada Rasululullah, tindakan yang membutuhkan keberanian. Mencintainya
berarti berani menyatakan diri untuk mengabdi kepada apa yang telah
disabdakannya. Berani mengubah kenyataan seperti yang Rasulullah tunjukkan.
Era sekarang, bagi orang-orang yang
ditakdirkan menjadi penulis, berarti harus bersiap-siap hidup dalam
keterasingan. Kesepian nasib seorang penulis. Seperti Pramoednya Ananta Toer,
misalnya, pribadi yang disingkirkan bangsanya. Menjalani kehidupan soliter
hampir sebagian masa hidupnya.
Penulis saya kira mirip kehidupan
nabi-nabi, atau mungkin Rasulullah, yang dikucilkan keluarga dan masyarakatnya.
Sebagaimana Rasulullah, saya merasa seorang penulis bakal merasakan
kesulitan-kesulitan. Sebagaimana Rasulullah, kadang seorang penulis banyak
menanggung derita.
Itulah sebabnya, saya menganggap
menulis adalah tindakan berani. Sebagaimana mencintai Rasulullah, menulis, di
baliknya membawa pesan besar. Suatu ikhtiar menyampaikan maksud kepada entah
siapa.
Alkisah, tersebutlah usaha sahabat-sahabat
ingin mengetahui siapakah orang yang paling dicintai Rasulullah. "Bukan
kalian wahai Fulan bin Fulan," begitu kira-kira ucapan manusia agung itu,
"orang-orang yang saya cintai adalah mereka-mereka yang tidak pernah hidup
denganku, mendengar suara dan tidak pernah melihatku, tapi karena itu mereka
mencintaiku. Kepada merekalah orang-orang itu aku cintai." Begitulah
jawaban Rasulullah ketika itu.
Syahdan, saya kira orang paling
berani adalah Rasulullah. Tiada ucapan paling berani dan mengharukan selain
bertaruh menaruh cinta kepada orang-orang yang belum sempat dikenalnya.
Shalawat kepadamu wahai
junjunganku.