Kadang saya merasa kampus sulit
membaca denyut intelektual mahasiswa. Yang ada, kampus lebih peka menyemai
kepatuhan. Membuat mahasiswa menjadi objek pasif.
Imbasnya, kampus ibarat kerangkeng
besi. Aktifitas belajar hanya bagian dari apa yang sering disebut transaksi
ekonomi. Bahkan, kebanyakan menyerupai relasi politik. Tidak imbang. Hirarkis.
Ketika di satu sisi kampus diyakini
tempat kecendekiawanan, malah "menara gading," predikat pesimistik
yang identik dengan ketinggian itu, makin menguat menjadi sifat yang sulit
lepas dari dirinya.
Kampus ibarat tubuh gemuk yang
khawatir dirinya sulit bergerak, tapi jiwanya sudah lama mati.
Banyak kampus membenahi dirinya.
Merenovasi kembali gedung, mempercantik taman, memperluas lahan parkir. Tapi,
jarang ada yang mau memperbaiki atmosfernya. Sesuatu yang menyangkut suasana
belajar-mengajar.
Itulah sebab, belajar di kampus
hanya seperti seorang pegawai negeri yang menjalani rutinitas pekerjaannya.
Masuk dalam kelas hanya memenuhi kewajiban. Bukan karena passion ilmu pengetahuan.
Malang ketika itu dianggap keadaan
yang normal. Padahal, jika mau berpikir saja sedikit, tidak ada normalitas
dalam kampus.
Kampus harus menjadi kawasan berpolemik. Pro dan kontra
gagasan. Tentu itu dengan cara demokratis. Diatur dan dilaksanakan dalam arti
mengakui hak-hak menyatakan pendapat.
Namun, tidak semua dapat diputuskan
demikian. Dosen, orang yang harus menjadi rekan mahasiswa, malah menjadi momok
intimidatif. Tidak ada gagasan yang harus didiskusikan. Pokoknya, apa yang
dikonfirmasi teks book, itulah kebenarannya.
Tidak semua dosen demikian
intimidatif. Apalagi hegemonik. Banyak dosen yang memiliki minat membangun
dialog berkelanjutan dengan mahasiswa. Yang prihatin dengan lingkungan
kerjanya. Tapi, semua itu harus dikompromikan kembali dengan masa depannya
sendiri di dalam kampus.
Akhirnya, ketika ada mahasiswa yang
memiliki minat berlebih, menjadi sia-sia. Lembaga kemahasiswaan yang sudah
mirip event organizer itu, malah mandul menjemput bakat-bakat kecendekiawanan.
Itulah sebabnya sebagian banyak
komunitas alternatif mengambil inisiatif. Mereproduksi kemandegkan
kecendekiawanan kampus. Membuat kelas-kelasnya sendiri. Menjadi pengajar dan
belajar mandiri.
Dari cara itu, mahasiswa berbasis
komunitas mendewasakan diri. Mengasah otaknya. Membuat diri menjadi makin
bijaksana.
Sembari mereka tumbuh menjadi
mahasiswa kritis, kampus menganggap itu adalah dosa. Perbuatan yang haram
dilakukan.
Makanya kecerdasan yang lahir dari
komunitas tidak dianggap berpendidikan. Hanya karena tidak sesuai aturan main
akademik kampus. Tapi apalah arti sekolah tanpa batas, gali ilmu sampai liang
lahat.
Saya kira denyut itu yang harus
ditangkap kampus saat ini. Sebagaimana komunitas kreatif mengenali perkembangan
kebutuhan mahasiswa di lapangan. Bukan menjadi dalam arti birokratis, jajaran
yang mengandaikan jarak dengan mahasiswa.
Kenyataan ini ditunjang atauran
main perundang-undangan yang selama ini selalu diperbarui. Intinya aturan ini
membuat kampus seperti perusahaan yang melipatgandakan keuntungan. Akibatnya,
esensi pengetahuan yang demokratis dijualbelikan.
Kedua, relasi dosen dan
mahasiswa. Saya pernah mengalami kasus buruk ketika di kampus. Utamanya
ketika saya dipandang sebagai mahasiswa yang sulit diatur. Imbas terlalu banyak
menyoroti kebijakan kampus, relasi saya dengan dosen pengajar mengalami tegangan.
Mulai saat itu tidak ada relasi
humanis. Yang ada hubungan saling intimidatif. Bahkan seringkali bernuansa
diskriminatif. Hubungan semacam ini sebenarnya tidak mendidik. Bukan saling
mendewasakan dan mencerdaskan.
Saya yakin, banyak di kampus mengalami
keadaan di atas. Paling tidak, interaksi mahasiswa dengan dosen dibangun dalam
relasi hirarkis. Dosen maha tahu, mahasiswa tidak tahu segala. Dosen sumber
pengetahuan, mahasiswa penerima pengetahuan. Dosen bagaikan air
pengetahuan, dan mahasiswa adalah botol kosong tanpa isi.
Ketiga, selain iklim belajar, yakni
sarana dan prasarana belajar. Dosen termasuk dalam kasus ini. Lembaga
pendidikan yang baik harus diisi dengan kualifikasi mumpuni tenaga pengajarnya.
Juga, ditunjang dengan fasilitas belajar mengajar yang memadai, perpustakaan
misalnya. Bukan saja memadai, tapi seluruh fasilitas kampus harus mampu membuat
nyaman civitas akademika ketika menggunakan fasilitas yang tersedia.
Saya sudahi dulu catatan ini.