Langsung ke konten utama

Guy Fawkes dan Simbol

Saya senang jika harus menonton kembali film V For Vendetta. Film itu seperti mewakili apa yang saya yakini. Revolusi, di mana pun itu, hanya bisa terjadi jika dibangun dari orang banyak. Film itu memang bicara kolektifitas, sesuatu yang jarang ditemukan belakangan ini.  

Tapi, era kiwari siapa yang mau berbicara tentang revolusi? Atau bahkan melakukannya? Ada keyakinan tak terucapkan, revolusi telah lewat. Ideologi, pikiran yang berada di belakang setiap revolusi sudah mati. The end of ideology, begitu pendakuan sebagian ilmuwan sosial. 

Revolusi kadang hanya bisa diyakini jika itu memang betul-betul diperlukan. Keyakinan ini tentu berbeda dari setiap orang. Di setiap ceruk keyakinan orang-orang, iman atas perubahan sangat ditentukan dari lingkungan di mana dia hidup. 

Dalam film V for Vendetta, V, tokoh yang selalu mengenakan topeng Guy Fawkes itu, menganggap orang-orang yang dirundung ketakutan merupakan ihwal kehidupan yang  menjemukan. Pemerintah yang banyak bicara melalui layar kaca adalah teror yang harus dilawan. 

Karena itu V bertindak. Dengan mimiknya yang khas dia merekrut seorang "kader" perempuan. Di susunnya suatu rencana menghancurkan gedung parlemen. 5 november rencananya itu kabul setelah satu tahun menyusun rencananya. 

***

V sebenarnya hanyalah simbol. Itulah mengapa dia menggunakan topeng Guy Fawkes, tokoh sejarah perlawanan di Inggris. Sebagai simbol berarti itu bisa mewakili apa saja. Suara orang-orang banyak, misalnya.

Saya menyadari, topeng yang bermimik pria berkumis senyum itu dipakai V untuk menunda ambisi pribadinya. Topeng dipakainya untuk menutupi motif-motif di balik dirinya.

Saya mengira, V menyadari, untuk merencanakan perubahan besar tidak boleh melibatkan egosentrisme pribadi. Topeng hanyalah topeng sejauh dia menutupi yang persona dari seseorang.

Itulah sebabnya, ketika tiba di tanggal 5 November, orang ramai turun ke jalan menggunakan topeng Guy Fawkes. Satu simbol satu keyakinan tanpa tendensi pribadi ikut terlibat di dalam rencana V: meruntuhkan gedung parlemen Inggris.

***

Belakangan ini isu simbol menguat di permukaan. Masyarakat dibikin sensitif terhadap simbol-simbol, juga atribut.

Simbol memang penting sejauh  itu mempertautkan makna apa di belakangnya. Juga, simbol hanyalah penampakan belaka jika tak memiliki arti apa-apa.

Kadang kita dibuat tolol dari orang-orang yang sibuk menyoal simbol. Simbol, apapun model dan jenisnya hanyalah sign, tanda, bukan “substansi”. Simbol hanyalah label, bukan isi.

Antara “isi” dan “label”, “tanda” dan “makna”, tidak selamanya koheren. Apa yang nampak belum tentu mewakili apa yang ingin ditampakkan. Di antara “simbol” dan “arti” terdapat ruang yang begitu rentan dibelokkan, atau bahkan tidak mewakili apa-apa.

Jadi apa soal sebenarnya? Jika simbol hanya dibiarkan sebagai tanda kosong tanpa pemaknaan. Atau, makna itu, apa yang kita katakan “arti,” ternyata sesuatu yang sudah kita bentuk sebelumnya di dalam kesadaran.  Sehingga simbol hanya bermakna karena bukan karena simbol itu sendiri, melainkan arti yang kita sematkan kepadanya.

Di sinilah soal sebenarnya, ketika simbol dibawa-bawa dalam pengertian yang dibentuk sebelumnya sesuai keinginan seseorang. Itu berarti suatu simbol dianggap bermakna karena seseorang yang “mendesakkan” arti terhadapnya.

Akhirnya, seakan-akan simbol-simbol penting dipersoalkan. Padahal itu tergantung dari mana seseorang melihatnya. Bagaimana simbol itu diartikan dimulai dari persepsi seseorang.

Bahkan makna pada hakikatnya persis seperti seseorang menggenggam air. Tak ada yang mampu ditetapkan sebagai pesan di sana. Arti, atau makna atas sesuatu  simbol sesungguhnya bukan entitas yang dapat diraih. Sepenuhnya hanyalah “jejak” makna, bukan makna itu sendiri. Begitu kira-kira menurut Derrida.

Jadi apa yang hendak dirujuk dari simbol sesungguhnya hanyalah mirip kata-kata dalam kamus. Ketika kita mencari arti maka setiap kata akan merujuk kepada kata yang lain, dan kata yang lain itu akan merujuk kepada kata yang lain lagi. Begitu seterusnya, sehingga makna sesungguhnya hanyalah arti yang di dapatkan dari “bekas-bekas” makna yang dirujuk dari setiap kata yang saling menunjuk.

Lalu apa yang dipersoalkan sesungguhnya?

***

Seperti disebutkan sebelumnya, V hanyalah simbol. Lantas untuk siapakah V bersuara dalam V For Vendetta?

Saya kira simbol topeng Guy Fawkes bukan mewakili apa yang sudah mapan. Justru, melalui Guy Fawkes, V hendak bersuara atas orang-orang yang tidak pernah diperhitungkan. Orang-orang yang tidak pernah ditetapkan sebagai bagian yang penting. Orang-orang yang disisihkan. Atau orang-orang yang tidak pernah terwakili suara dan harapan-harapannya.

Saya kira, di luar sana banyak orang yang belum terwakili apa-apa. Sementara di waktu bersamaan, simbol-simbol banyak tidak mewakili apa-apa.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...