Konon
melalui puisinya, penyair tidak diharuskan memiliki beban apa-apa untuk
mengubah dunia. Puisi tidak memiliki tanggung jawab apa-apa selain menjadi medan
ekspresi keindahan. Akibatnya, puisi hanyalah alat rekam kenyataan. Mengulang
kenyataan melalui syair, dan membangunnya melalui kata-kata.
Tapi,
apakah puisi hanya medan yang sekadar menduplikasi dunia? Apakah, tidak ada
tanggung jawab sedikit pun yang ditanggung puisi terhadap kenyataan yang
dihadapinya?
Alaf
yang silam, dua pertanyaan di atas pernah menjadi sentimentalisme Platon
terhadap sastra dibanding filsafat. Sentimentalisme yang menganggapkan filsuf
sebagai satu-satunya raja yang berhak atas kebenaran.
Melaui
imajinasi Platon, yang berhak menyuarakan kebenaran hanyalah filsafat sebagai tugas
primernya. Melalui mata filsafatlah manusia mengenali hakikat kenyataan
sesungguhnya. Filsafat mengajarkan “inti” kepada manusia. Subtansi segala
sesuatu.
Sastra,
hanyalah ilmu yang sampai kepada “bentuk permukaan.” Akibatnya, sastra bukan
medan manusia menggapai kenyataan hakiki. Jika manusia ingin mencapai
kebenaran, sastra justru sibuk menduplikasi kebenaran. Kata-kata dalam sastra,
tidak pernah mengungkapkan kenyataan sebagaimana kenyataan itu sendiri. Itu
sebabnya, Platon menyebut sastra hanya ilmu yang meniru kenyataan.
Imbasnya,
sastra tidak memiliki tanggung jawab seperti yang diemban filsafat. Kebenaran
hanya suatu ujung realitas yang hanya dapat ditengok melalui filsafat.
Sementara sastra, tidak sedikitpun memiliki tanggung jawab yang sama seperti
filsafat.
Sampai
akhirnya, siapakah orang yang menjadi corong kebenaran? Dalam kesadaran Platon,
filsuflah figurnya. Sementara penyair, sosok yang hanya pantas berdiri di atas
panggung mempertunjukkan drama syair-syairnya.
Tegangan
ini saya kira tidak saja dialami antara filsafat dan sastra. Bahkan
kecenderungan menjadi ahli waris kebenaran juga mengendap keras dalam sastra
itu sendiri. Polemik kebudayaan yang pernah menguat di era 30-an, maupun 60-an
bahkan mencerminkan pertengkaran dahsyat yang melibatkan politik di dalamnya.
Hingga
akhirnya, perjalanan memahami dan mengungkapkan sastra tidak pernah keluar dari
bayang-bayang narasi polemik kebudayaan. Saya tidak perlu menyebut
kecenderungan mazhab yang menguat kala itu, namun banyak sastrawan tidak dapat
mengidentifikasi dirinya sebelum melibatkan pemahamannya terhadap arus yang
mengalir dari sejarah masa lampau.
Saya
kira Ferdi, kawan yang saya kenal hidup bertungkuslumus di kehidupan kampus,
membangun imajinasinya dari atap sejarah di atas. Tanpa itu, sulit rasanya
membaca puisinya. Saya kira melalui hal itu, puisi-puisi Ferdi menjadi jauh
lebih terang. Bahkan kita dapat menangkap samar-samar gambaran batin Ferdi,
sesuatu yang mendasari puisi-puisinya mampu bersuara.
Tak
ada penyair yang tidak berjangkar dari kehidupannya. Ferdi saya tahu seorang yang banyak bergesekan dengan
aktivisme kampus. Ferdi semasa mahasiwa, menurut saya, orang yang tidak ingin
melihat dunia apa adanya. Ferdi seperti kebanyakan mahasiswa yang paham
sejarah, merindukan dunia tanpa segregasi di mana-mana. Suatu dunia yang harus
diperjuangkan. Karena itu, Ferdi juga
seorang aktivis.
Semenjak
saya mengetahuinya , saya membayangkan jika dia menulis, esai adalah pilihan
pertama sebagai genre yang nyaman menyuarakan aspirasinya. Sebagaimana
orang-orang yang menempuh jalan pemikiran ketika ingin menyalurkan
godaan-godaan intelektual di dalam kesadarannya.
Tapi,
sudah saya bilang, Ferdi seorang aktivis. Orang yang terlibat langsung di dalam denyut kehidupan masyarakat. Seringkali
hidup di pemukiman masyarakat pinggiran. Menyoraki lantang kekuasaan di jalan
raya. Dan, mendampingi masyarakat marginal. Itu semua, yang saya tahu, dunia
yang ada di balik syair-syainya.
Seorang
aktivis pasti paham, kenyataan tidak sekadar dibangun dari kata-kata yang
diambil dari terang kesadaran. Perubahan kadang mengharapkan sesuatu yang jauh
lebih halus dibanding argumentasi logis. Sesuatu yang menggugah kesadaran.
Itulah juga mengapa puisi menjadi cara Ferdi bersuara. Puisi lebih afdol dibanding tulisan esai yang terkesan teoritik dan kering. Melalui puisi, Ferdi lebih lentur menyalurkan pikiran-pikirannya. Juga tentu, perasaannya yang basah.
Itulah juga mengapa puisi menjadi cara Ferdi bersuara. Puisi lebih afdol dibanding tulisan esai yang terkesan teoritik dan kering. Melalui puisi, Ferdi lebih lentur menyalurkan pikiran-pikirannya. Juga tentu, perasaannya yang basah.
Nyanyian seribu jiwa..
Kau akan belajar dari segala jiwa makhluk
penghuni bumi..
Hanya, manusia makhluk yang memiliki
jiwa..
Bukan hanya meninggikan akal
pengetahuan..
Apabila
kita mau menengok penggalan syair di atas, sepertinya Ferdi ingin membalikkan
prasangka Platonian, akal tidak lebih tinggi dibanding jiwa. Bahkan jiwa tidak
diandaikan sebagai entitas yang mono. Jiwa disebut Ferdi dapat ditemui dari segala jiwa makhluk penghuni bumi.
Manusia, bukan hanya meninggikan akal
pengetahuan. Itulah nyanyian seribu
jiwa.
Puisi
ibarat tanda Ferdi telah banyak menemui ragam jiwa-jiwa. Jiwa-jiwa yang
seringkali ia saksikan dari mata aktivismenya: orang-orang yang dilindap
kebijakan perkotaan, anak-anak putus sekolah, ibu-ibu yang digusur paksa,
seorang anak yang mati tak mampu diobati, buruh pabrik yang dirampas
tenaganya….
Dan,
dari sana Ferdi menyebut dalam Nyanyian
Seribu Jiwa, manusia belajar.
Dari
sini kita perlu memahami, puisi bukan sekadar ekspresi perasaan. Di tangan
Ferdi, puisi menjadi semacam tanda pengingat dengan tanda seru, suatu cara yang
juga melibatkan empati dan simpati. Sehingga, syair-syair di tangan Ferdi tidak
sekadar pikiran yang melibatkan akal pengetahuan semata, melainkan rasa-jiwa yang ikut terlibat dari kenyataan di hadapannya.
Inilah
juga sekaligus cara yang ditempuh Ferdi untuk mengidentifikasi dirinya dari seorang
aktivis yang kerap menulis makalah-makalah panjang sebagai penanda
kecendekiawanannya.
Puisi,
di tangan Ferdi, barangkali sebagaimana Pram mengartikan sastra, seperti Wiji
Thukul menggunakan puisi. Yakni sebagai
kesatuan organik yang terintegrasi dalam kehidupan penyair.
Karena
itulah ketika membaca syair-syair Ferdi, dunia kenyataan menjadi tampak lebih
sederhana. Hampir tidak ada syair yang dipolesi semacam kata-kata mutiara. Dunia dalam kata-kata puisi Ferdi tampil sebagaimana
adanya. Tanpa terbebani dunia yang dibahasakan secara sembunyi-sembunyi.
Imbasnya,
kenyataan hanyalah kenyataan di tangan Ferdi. Di titik itu, Ferdi menjadi
jangkar antara kenyataan dan pembaca di hadapannya. Menyampaikan apa yang disaksikannya. Meneruskan apa yang dirasainya, secara jujur.
***
Konon
penyair menghadapi dunia yang berbeda dari profesi kreatif lainnya. Seorang
intelektual, misalnya, menghadapi kenyataan tidak seperti seorang penyair.
Berbeda dari seorang penyair, dunia yang harus dihadapi seorang intelektual
adalah hamparan dunia di luar kesadarannya. Dari sana, dunia itu diubah menjadi
fakta-fakta empiris. Diberikan hukum-hukum objektif, dan menetapkan kebenaran
atasnya.
Sementara
seorang penyair bukan menghadapi dunia di luar kesadarannya. Dunia seorang
penyair bukanlah fakta-fakta empiris yang ditemukan di luar dari dirinya.
Justru seorang penyair masuk menghadapi dunia batinnya. Memeriksanya dan
menetapkan makna atasnya.
Itulah
sebabnya, tugas penyair bukan memperjuangkan kebenaran sebagaimana seorang
intelektual ketika menyampaikan fakta-fakta. Seorang penyair melihat dunia
tidak sekadar realitas yang harus dibekuk nilai benar-salah. Dari mata seorang
penyair, dunia begitu sederhana jika hanya dijabarkan ke dalam dua lengkung sisi
koin.
Makanya
jika Ferdi ingin bermaksud menyampaikan kebenaran melalui syair-syairnya, saya
kira itu pekerjaan yang kerdil. Lebih malang lagi setelah membaca puisi-puisi
Ferdi, pembaca malah mengharapkan kebenaran di dalamnya. Itu pekerjaan yang sia-sia.
Jika
itu pembaca ingin lakukan, maka tempatkanlah Ferdi sebagai seorang intelektual.
Tapi, saya kira kita telah membaca keseluruhan puisinya. Itu berarti kita harus
akui kepenyairan Ferdi, setidaknya sebagai seorang aktivis penyair.
***
Bagi
pesuluk jalan tharikat, kesadaran manusia hanyalah puncak gunung es yang
ditopang jiwa sebagai fondasinya. Kesadaran hanyalah cermin jiwa. Baik tidaknya
kesadaran bergantung kepada jiwa sebagai penopangnya.
Itulah
sebabnya, semua pesuluk menganjurkan tazkiyatun
an nafs sebagai cara menjadi manusia sesungguhnya. Hanya jiwa yang
senantiasa dibersihkanlah, cara manusia merangkak naik meninggalkan genangan
lumpur tempat ia bermula.
Akibat
begitu fundamen, kebenaran rasional bukanlah satu-satunya yang dikehendaki jiwa.
Kebenaran sesungguhnya hanyalah milik jiwa. Sementara akal rasional hanyalah
pintu kebenaran. Karena itulah, selain batin, tiada iman yang bersemayam di
dalam kesadaran.
Dalam
konteks itulah kita membutuhkan syair, bukan argumentasi. Kita membutuhkan satu
penyair dibanding ribuan intelektuil. Hanya dengan syairlah jiwa bekerja
mengenal kembali “kesadarannya”. Dengan cara yang menggugah, yang dahsyat
menghujam sampai ke pembatinan paling dalam.
Sampai
di sini, di manakah tugas seorang penyair kalau bukan membangun jiwa orang-orang
yang dirundung persoalan? Sesungguhnya, satu syair jauh lebih dahsyat daripada
seribu argumentasi.
Dan,
saya kira, Ferdi sudah mencobanya.
---