Baru-baru ini saya menemukan
kembali novel karangan Tetsuko Kuroyanagi; Totto-chan Gadis Cilik di
Jendela, ketika memberesi buku-buku istri saya. Dulu buku ini tak sempat
saya baca. Saya hanya sering mendengarnya dari mulut orang-orang. Pernah juga
beberapa kali novel ini disebut-sebut ketika saya mengikuti forum kajian kala
di kampus. Buku ini sering kali dikait-kaitkan dengan menyindir-nyindir
dunia pendidikan dengan nada yang sedikit sarkas.
Sekarang saya berusaha membaca buku
ini dengan hati-hati. Juga dengan semangat yang telaten. Maklum akhir-akhir ini
saya begitu jarang membaca buku. Gadget begitu banyak mengambil perhatian saya.
Namun, sebenarnya motif membaca buku ini yang penting: menghidupkan
kembali kenangan ketika sekolah dulu.
Hari ini hampir semua orang
memperingati Hari Guru Nasional, dan banyak cara memperingatinya. Kebetulan
saya diingatkan oleh timeline Facebook. Ini adalah cara
instan masyarakat cyberspace menjalani hari-harinya:
ingatannya dikendalikan mesin canggih smartphone. Dan, semenjak
pagi ini mesin itu mengingatkan saya lewat layar gadget. Hari
ini—sekali lagi- Hari Guru Nasional.
Mengingat itu saya hanya
mengirimkan ucapan sederhana di group WA kepada orang-orang yang berjasa
bagi diri saya selama ini. Kepada sebagian mereka, yang saya artikan sebagai
guru dengan ucapan terima kasih atas bimbingannya selama ini.
Kebanyakan kala itu mereka menggunakan
baju putih abu-abu dengan muka yang terheran-heran melihat saya berlari ke sana
kemari. Koridor panjang yang beralas semen itu memang membuat saya senang bukan
main. Sungguh panjang dan luas.
Ingatan ini pula yang membuat saya
menyadari kala membaca Totto-chan, dunia anak-anak sebenarnya adalah dunia yang
membahagiakan. Dan, kebahagaiaan anak-anak tentu harus diartikan sebagai
keriangan mereka ketika bermain-main.
Dan malang, guru Totto-chan
memandang aktivitas bermain Si Gadis Cilik di Jendela di kelas sebagai perilaku
yang ganjil bagi pengalaman belajar-mengajar. Tentu sang guru punya alasan kuat
belajar harus disertai keseriusan yang betul-betul serius. Dia mungkin punya
teknik mengajar yang telah dipakainya bertahun-tahun, atau kurikulum yang
mengacu kepada standar paten, tapi, ayolah, bukankan ini anak-anak?
Saya banyak mengenal orang yang
sehari-hari mengajar anak-anak yang saya taksir seumuran dengan Totto-chan di
novel penulis Jepang itu. Kemudian saya juga tahu mereka lebih banyak memporsir
bermain sebagai sarana anak-anak belajar. Apalagi seringkali mereka lebih
banyak bertanya kepada anak-anak didiknya mau memilih belajar apa. Kemudian
hari saya tahu metode bertanya ini berusaha melatih anak-anak bisa mandiri
memilih pilihannya sendiri. Mereka bebas memilih mau belajar apa yang
sesungguhnya mau bermain apa.
Istri saya berlatarbelakang ilmu
psikologi yang kemudian melanjutkan studinya mengambil konsentrasi psikologi
pendidikan. Suatu hari dia sering mengatakan anak-anak kisaran umur tiga
sampai lima tahun (kalau saya benar-benar ingat), memiliki teman imajiner yang
sering kali diajak berkomunikasi. Teman ini hanya figur imajinatif yang hanya
dikenali anak balita. Teman kecil mereka inilah yang sering kali mereka ajak
“bercakap-cakap” dan membantu balita manapun memaksimalkan syaraf-syaraf
sensoriknya ketika tumbuh berkomunikasi.
Itulah barangkali sebabnya
anak-anak lebih cenderung memiliki cerita yang aneh-aneh. Seperti keponakan
saya beberapa tahun lalu yang seringkali mengajak saya bermain buaya-buayaan,
dan kami bertindak sebagai penguasa lautan yang harus menyelematkan diri menuju
sebuah pulau yang ketika itu adalah sofa.
Di permainan itu kami harus bisa
menghindari buaya-buaya ganas yang siap memangsa dan berenang setangkas mungkin
menuju sebuah pulau. Saya hanya menyangka, figur-figur yang ia maksudkan adalah
sosok-sosok imajiner yang membantunya berimajinasi. Melalui sosok-sosok
inajinatif itulah saya yakin dapat membantu anak-anak berpikir.
Makanya saya tak heran ketika
Totto-chan berniat menjadi penjual karcis kelak ketika dewasa. Totto-chan
membayangkan betapa bahagianya memiliki sekotak celengan yang penuh sobekan
karcis. Betapa senangnya memiliki semua itu dengan menggunakan seragam
selayaknya penjual karcis di terminal kereta api. “Tapi bukankan kamu ingin
menjadi seorang mata-mata Totto-chan?” sergap ibunya. “Bukankah aku bisa jadi
penjual karcis yang sebenarnya adalah mata-mata,” balas Totto-chan. Bayangkan
betapa kreatifnya jawaban gadis ini.
Aspek semacam itulah yang membuat guru Totto-chan
kelimpungan. Kreatifitas yang menjadi daya dorong segala perilakunya. Betapa
malangnya jika pendidikan malah memangkas daya kreatif anak-anak ketika
berpikir.
Misalnya “tubuh” Anda dengan
“kepala” Donal Trump yang digabung menjadi Anda yang berkepala Donald Trump. Di
dalam imajinasi, wujud-wujud pikiran dapat digabung-gabung seperti lego yang
bersusun-susun, bebas sebebas bebasnya.
Namun, malang bagi orang-orang
dewasa. Bagi kita dunia khayali tidak jauh lebih penting
dibanding dunia rasio. Itulah sebabnya, orang-orang dewasa
lebih sering miskin imajinasi. Minim kreatifitas.
Akibatnya, berbeda dengan anak-anak
kecil, orang-orang dewasa tidak mampu memiliki teman imajinatifnya. Sosok
imajiner semacam itu sudah lama hilang akibat betapa seriusnya orang-orang
dewasa memandang dunia. Itulah sebabnya orang-orang dewasa lebih senang berpikir
daripada berimajinasi. Mereka lebih senang kepada hal-hal yang sudah dipastikan
dari awal, bukan sesuatu yang memiliki banyak cabang-cabang kemungkinan.
Akhirnya, membaca Totto-chan di
waktu sekarang, setidaknya membantu menemukan kembali ingatan saya kala dibawa
pergi ibu ketika mengajar di sekolahnya. Dan tentu mencari kembali teman
imajinatif yang telah lama saya lupakan.