Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2016

Kota dan Orang-Orang yang Datang dan Pergi dan Makassar

Di mana-mana kota pasti adalah pusat yang ramai. Orang-orang datang-pergi demi menuntut kebutuhan ekonomi, mengejar pendidikan, mencari pergaulan kekinian, dan menghabiskan waktu luang. Di kota, segala kebutuhan akan segera dipenuhi. Asalkan kita mau mencarinya, dan tentu tercukupinya kepemilikan modal untuk menunjang daya tukar dan transaksi. Akibatnya, kota jadi lubang yang menyedot banyak orang. Kota akhirnya menjadi lokasi yang menjadi titik tolak bagi orang-orang yang melakukan perjalanan lintas spasial. Demi pekerjaan, demi pendidikan, dan demi segala hal lainnya, jarak spasial antara kota sebagai pusat dan kawasan pinggiran hingga daerah-daerah di sekeliling kota beranjak menjadi semesta kesibukan yang penuh sesak dengan beribu-ribu kendaraan yang lalu-lalang. Saya sendiri merasakan pengalaman baru, betapa menjadi penduduk pinggiran kota adalah hal tak terelakkan yang turut membuat arus mobilitas kota-pinggiran kota menjadi begitu sesak. Walaupun sekarang, ko...

Totto-chan Murid Cilik di Jendela dan Sesosok Kecil Teman Imajiner

Baru-baru ini saya menemukan kembali novel karangan Tetsuko Kuroyanagi;  Totto-chan Gadis Cilik di Jendela , ketika memberesi buku-buku istri saya. Dulu buku ini tak sempat saya baca. Saya hanya sering mendengarnya dari mulut orang-orang. Pernah juga beberapa kali novel ini disebut-sebut ketika saya mengikuti forum kajian kala di kampus. Buku ini sering kali dikait-kaitkan dengan menyindir-nyindir dunia pendidikan dengan nada yang sedikit sarkas. Sekarang saya berusaha membaca buku ini dengan hati-hati. Juga dengan semangat yang telaten. Maklum akhir-akhir ini saya begitu jarang membaca buku. Gadget begitu banyak mengambil perhatian saya.  Namun, sebenarnya motif membaca buku ini yang penting: menghidupkan kembali kenangan ketika sekolah dulu. Hari ini hampir semua orang memperingati Hari Guru Nasional, dan banyak cara memperingatinya. Kebetulan saya diingatkan oleh  timeline  Facebook.  Ini adalah cara instan masyarakat  cyberspace  menjal...

Jalan Raya

Apa jadinya jika jalan raya di suatu pagi bertemu dengan modernitas? Maka yang ada adalah keterburu-buruan. Hidup dalam cara modern adalah bagaimana anda dapat menggunakan waktu seefisien mungkin. Dan jalan raya, di pagi hari adalah centangperenang penandanya. Di jalan raya, anda tak boleh menengok; kanan dan kiri, apa lagi berbalik ke belakang hendak kembali, karena menengok dan kembali dalam buku besar modernitas berarti kemunduran. Dan, bisa jadi Anda akan menjadi seorang individu yang tertinggal jauh. Memang modernitas adalah sebuah bus besar yang sedang terburu-buru; bergegas dengan kecepatan yang tinggi, tanpa rem, tanpa rambu jalan dan tanpa terminal pemberhentian. Modernitas adalah bentuk zaman, atau bahkan pikiran baru yang berusaha melupakan ingatan masa lampau; melipat segala sesuatu menjadi sebuntal pakaian yang harus dilipat bahkan diganti, dan memberikan anda sekelumit pakaian dengan cermin yang menaruh visi tentang kemajuan. Dan di dalam modernitas, waktu ...

Kelas, Klas

Kelas di suatu waktu bisa bermakna sepetak ruang, yang membagi sesuatu menjadi partisi-partisi. Tapi di lain waktu ia tanda dari kesenjangan. Sesuatu yang membangun jarak.  Kelas sebagai sesuatu istilah, dipopulerkan pertama kali oleh seorang sosialis tulen berkebangsaan Jerman, Karl Heinrich Marx. Tapi, kelas yang dia maksudkan bukan untuk menunjuk pada batas-batas tentang ruang, bukan ruang petak yang berbentuk kubus, apalagi ruangan yang menggelantung di dalamnya gambar dua muka penguasa sebuah negeri. Kelas yang ia istilahkan menunjuk pada entitas yang berjarak sekaligus diskriminatif. Suatu tingkatan sosial yang ia bagi menjadi dua entitas atau kelompok: proletar dan borjuis. Dua mata sosial yang saling tolak menolak. Di hadapan Marx ada masyarakat yang ingin tumbuh. Eropa baru saja kuncup dari keadaan menyesakkan. Harapan hidup tak lagi semata-mata urusan dominan dogma-dogma gerejawan. Eropa sedang dalam transformasi besar-besaran. Orang-orang menaruh harap pada p...

Ihwal Perubahan

Hari-hari ke depan mungkin akan penuh gemuruh. Jalan raya menjadi ramai, dan mahasiswa tentu punya agendanya sendiri. Hari-hari belakangan ini, kita dibuat resah, banyak caci maki menjadi ujaran yang banal, juga aspirasi menjadi ihwal yang penting. Sebab di penghujung bulan nanti, presiden RI akan berdiri di atas podium negara, berdiri menghadap seluruh masyarakat Sabang-Merauke, dan tentu dengan kesannya yang kita kenal betul; mimik muka yang melankolis, tutur ucap yang telah ditata, di bagian mana intonasi harus ditekan pada kata-kata tertentu, warna baju apa yang harus melambangkan kecocokan dengan audiens, dan tentu isi pengumuman itu sendiri, dengan teori-teori ekonomi makro mutakhir, tentang nasib, tentang naik tidaknya bahan bakar minyak (BBM). Pidato, jalan raya, dan mahasiswa di hari-hari ini kerap semakin akrab. Agenda yang serempak harus segera dijalankan. Agenda pemerintah dengan menaikkan harga bahan bakar minyak menjadi topik yang tiba-tiba genting. Dan, jalan raya...

Barangsiapa Yang Kehilangan Cermin?

Cermin benda yang bermanfaat dalam kehidupan praktis manusia. Cermin bagi dunia mode, misalnya, merupakan salah satu perkakas yang paling elementer. Tanpanya, sang pesolek tak mampu melihat bayangan dirinya. Apakah sempurna atau tidak, semuanya bergantung kepada cermin. Seperti sang pesolek, masyarakat umum juga membutuhkan cermin agar bisa menunjang penampilannya. Tak bisa dipungkiri, mulai dari anak sekolahan sampai orang dewasa menjadikan cermin sebagai wadah menilai dirinya. Apa yang nampak indah di dalam cermin, maka akan nampak indah pula ketika bergaul di tengah masyarakat. Itu sebabnya dalam melihat dirinya, orang-orang sangat membutuhkan cermin. Tanpa cermin tak ada bayangan tubuh yang mampu ditangkap kembali. Dengan cermin, orang-orang membangun replika dirinya di atas pantulan layar kaca, untuk menilai dirinya, juga memahami dirinya. Artinya, melalui cermin, kita membutuhkan “diri” yang lain agar mampu melihat diri kita sendiri. Ini yang disebut sifat reflektif c...

marah

Akhir-akahir ini kemarahan begitu gampang kita temukan. Bahkan, di layar kaca kemarahan malah menjadi tontonan sehari-hari. Dan, itu semua akibat marah tidak sekadar marah. Marah yang ada di layar kaca, bukan marah sembarangan. Itu marah yang politis. Sebenarnya marah adalah hal yang manusiawi. Semua orang bisa marah. Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa. Bahkan Tuhan pun bisa marah. Di dunia ini hanya satu yang tak bisa marah: malaikat. Sebab marah-marah bisa macam-macam. Mulai dari hal sekecil biji jagung sampai sebesar buah semangka. Bahkan ada sebab kemarahan yang sebesar negara ini. Tapi siapa yang berhati malaikat. Bukankah manusia diciptakan bukan dari cahaya belaka? Apakah manusia diciptakan dari unsur yang sama dengan malaikat? Jangan sampai Anda lupa, manusia hampir sebagian zatnya diambil dari lumpur yang hina dina. Dari kegelapan tanah tanpa terang sedikit pun. Maka dari itu, jangan heran jika manusia khilaf, bisa saja kemarahannya muncul seketika. A...

Jorge Luis Borges dan Sepasang Mata Buta dan Sebuah Cerita

“I have always imagined that paradise will be a kind of Library” -Jorge Luis Borges- Jorge Luis Borges pada akhirnya buta. Sastrawan berkebangsaan Argentina itu kehilangan penglihatan di tahun 30an di usia menjelang 60.  Konon, ketika buta, Borges tak sekalipun berhenti membaca. Dari toko buku di suatu sudut Buenos Aires, seorang pemuda senantiasa menemani membacakannya buku-buku. Dengan mata pemuda itu, Borges bisa tahu banyak hal. Alberto Manguel datang tiga kali seminggu di rumah Borges. Sering kali dengan suara lantang, pemuda yang kelak menjadi sastrawan ini membacakan segala hal kepada Borges. Pemuda ini sangat beruntung menjadi bagian sejarah dengan menjadi “mata” bagi penulis besar yang menjadi tonggak fiksi realisme magis. Borges sudah buta, tapi dari kegelapan matanya ia telah banyak membangun cerita. Menyusun dan mengeditnya selekas mungkin tanpa menuliskannya di atas secarik kertas. Borges barangkali tengah membangun kertas imajinatif di...

Jika Mini Market Tak Diduga-duga Menjual Buku

Oscar Wilde Novelis, dramawan, penyair, dan cerpenis asal Irlandia.  Dikenal dengan selera humornya yang cerdas, ia merupakan salah satu penulis drama yang paling sukses pada akhir Era Victoria di London.  Salah satu karyanya yang banyak dibaca adalah The Picture Of Dorian Gray SEMINGGU lalu, saya baru saja membeli buku. Di sebuah toko sebelah rumah. Kenyataannya saya tidak benar-benar ingin membeli buku. Awalnya hanya ingin membeli keperluan mandi sehari-hari. Kemudian satu buah map buat menaruh surat-surat penting. Tapi tiba-tiba mata saya tertuju pada satu etalase khusus yang menyediakan buku. Tanpa pikir panjang saya bergegas. Melihat-lihat. Dari rak atas sampai rak bawah, juga sebaliknya. Saat itu hal aneh terlintas di dalam benak. Rasa-rasanya, toko yang hampir mirip mini market ini kok bisa menjual buku-buku. Setahu saya, di manapun mini market atau sejenisnya, tak ada yang menjual buku-buku. Sepintas banyak buku-buku agama dijual. B...

pemandangan

Kalau kau melihat bebek-bebek mengecipak air selokan yang terbelah mengaliri rerumputan. Rumput yang basah diterpa sinar kuning mentari. Seorang ibu dan anaknya yang menuruni setapak pergi ke sekolah. Di atas nun jauh, rumah-rumah bersusun-susun dari bawah ke atas. Di belakangnya punggung gunung tertutupi kabut bagai kapas basah. Suara truk-truk meraung-raung memintasi jalan berbukit. Masih tersisa suaranya bertalu bagai badai petir. Angin bergerak di antara lereng bukit dan berbalik berkelok-kelok hilang di ujung mata. Cemara menjulang tinggi di bawah mentari meninggi. Jalan yang menapak di bawahnya tersisa tanah yang longsor. Warnanya kecokelatan, mengering disapu kilatan cahaya mentari. Pagi yang masih diiringi kabut. Tipis melayang-layang berarak kemudian pergi di balik pepohonan. Ayam-ayam sedari tadi berkokok, bersahutan sambung menyambung dari barat sampai selatan. Pohon jambu habis dipanjati anak-anak. Buahnya kemarin sore dibawa pergi. Anak-anak berkopiah se...

Kiat Menjadi Aktivis Setengah Hati

Jika kamu mahasiswa atau pernah menjadi mahasiswa, “aktivis” merupakan kata yang sedap-sedap geli di telinga. Kedengarannya bikin keder. Aktivis jika dilihat, bikin orang jadi was-was. Perkataannya banyak mengandung ilmu-ilmu, tindakannya, masya Allah, dahsyat betul. Ucapannya kritis, tapi kadang tidak untuk sikapnya. Nah, ini yang bikin geli. Di kampus, aktivis tidak seperti kutukan Ibunda Malin Kundang, bisa jadi batu sekedipan mata. Jika ditelusuri, aktivis hakikatnya rangkaian proses panjang mahasiswa unyu-unyu menjadi mahasiswa serba tanggung. Mulai dari nilai akademik pas-pasan sampai urusan percintaan yang ditinggal selingkuhan. Semuanya bagai kue cucur dibelah dua. Setengah-setengah. Aktivis mahasiswa tidak semuanya idealis. Ada juga yang  sok-sok  jadi pahlawan. Kadang mulutnya serba hakiki, tapi di kantor-kantor pemerintahan, hatinya berubah  hello kitty . Kadang di ruang kuliah dosen jadi bulan-bulanan teori yang njelimet-njelimet, namun sayang di ja...