Apa jadinya jika jalan raya di
suatu pagi bertemu dengan modernitas? Maka yang ada adalah keterburu-buruan.
Hidup dalam cara modern adalah bagaimana anda dapat menggunakan waktu seefisien
mungkin. Dan jalan raya, di pagi hari adalah centangperenang penandanya.
Di jalan raya, anda tak boleh
menengok; kanan dan kiri, apa lagi berbalik ke belakang hendak kembali, karena
menengok dan kembali dalam buku besar modernitas berarti kemunduran. Dan, bisa
jadi Anda akan menjadi seorang individu yang tertinggal jauh.
Memang modernitas adalah sebuah bus
besar yang sedang terburu-buru; bergegas dengan kecepatan yang tinggi, tanpa
rem, tanpa rambu jalan dan tanpa terminal pemberhentian. Modernitas adalah
bentuk zaman, atau bahkan pikiran baru yang berusaha melupakan ingatan masa
lampau; melipat segala sesuatu menjadi sebuntal pakaian yang harus dilipat
bahkan diganti, dan memberikan anda sekelumit pakaian dengan cermin yang
menaruh visi tentang kemajuan.
Dan di dalam modernitas, waktu
menjadi barang yang penting untuk dijaga. Dikemas dalam keadaan yang rapi,
dijaga baik-baik dan tak harus dirusaki, sebab waktu tak bisa dipending apalagi
terhenti, maka kerja adalah lokomotif yang harus terus
didorong.
Kerja, dalam pengertian zaman
modern bahkan postmodern, adalah usaha yang memanfaatkan potensi dalam
memapatkan waktu dan ruang, yang punya kaitan dengan peran dan fungsi yang
terspesialisakan yang digerakan berdasarkan visi yang disublim oleh rasio yang
menghendaki capaian tujuan seefesien dan secepat mungkin. Dan rasio seperti
ini, merupakan jenis rasio yang dihardik oleh mazhab Frankfurt, oleh mereka,
rasio ini adalah rasio yang menampik permenungan. Jenis rasio yang selalu
menukik untuk berhadapan langsung pada objek yang ingin kuasai.
Kerja dalam ruang sejarah yang lain
bisa berarti laku yang tenang terhadap waktu. Diam dalam senggang yang
berbobot. Kerja dalam tradisi Yunani kuno berarti optimalisasi akal; bagaimana
anda mendayagunakan potensi akal sejauh mungkin, untuk mendapatkan padanannya,
pada keselarasan dengan nous kosmos.
Jurgen Habermas, sosiolog Jerman
generasi keduaFrankfurt School pernah menulis; kerja dalam konteks Yunani kuno
berarti upaya theory sekaligus praksis, dan
ini berarti kerja. Yang berarti bermaksud menggunakan nous dalam
mengikat logos.
Logos dalam akar kata Yunani
ditemukan pada kata legein, yang berarti menghimpun. Dari itu kerja
berarti penggunaan nous dengan logos untuk
menghimpun. Lalu apa yang dihimpun?
Bijak bestari kuno punya cerita
segudang tentang apa yang harus dihimpun dengan nous? Kata mereka semuanya
harus bermula dan berakhir pada arkhe. Caranya melalui kerja: theoria.
Theoria dalam kamus kehidupan
masyarakat Yunani Kuno adalah laku hidup yang mendasarkan diri pada penghayatan
terhadap alam, berusaha menyelaraskan diri dengan “aku” alam semesta.
Seorang guru Aleksander Agung
bercerita: hidup yang baik adalah hidup yang seimbang, yang seimbang berarti
menempuh jalan eudamonia: kebahagiaan. Jalan keselarasan dengan
alam semesta, di mana sesuatu ditempatkan pada ruangnya masing-masing. Jika
seorang terlalu banyak makan maka perutnya akan sakit, dan itu menyakitkan.
Berlebihan memang tak baik. Lantas bagaimana cara sesuatu agar tak berlebihan?
Murid Plato menampik bukan dengan cara yang lain, melainkan nous-lah
yang menjadi hakimnya.
Memang gerak nous selalu
mencari di mana ia harus ditakwil pada akhirnya. Thales menyebutnya Air,
Anaximenes menyebutnya uap, Heraklitos menampik dengan menempatkan
sesuatu yang mengalir dalam keabadian. Selanjutnya ada Demokritus, bicara
tentang atom, Sesuatu yang tak dapat dibagi-bagi sebagai arkhe.
Dan, selanjutnya menjadi deretan panjang tentang apa itu arkhe: unsur
dasar yang membentuk apa yang ada.
Kemudian arkhe di
tangan Immanuel Kant menjadi semacam terra incognita; Sesuatu
yang tak dapat dijelaskan.
Syahdan, pada era serba cepat,
menjadi modern berarti memenggal memori yang penuh dengan kesia-siaan. Sebab
dalam kacamata modern, bicara yang berkaitan dengan nous maka tak punya tempat,
karena modern berarti apa yang kongkret dan apa yang dapat diolah untuk
bertahan hidup.
Jadi, singkat dibilang modern
adalah penghapusan segala bentuk mitos dan logos. Untuk menjadi modern, maka
Anda harus menabuh lonceng kerja di saat Anda dapat menikmati secangkir kopi.
Dan, kerja bukan lagi usaha mencari
yang absolute, dalam hal ini apa yang disebut arkhe.
Sebab kerja sebagai praktik mencari tatanan yang sublim pada alam semesta telah
berganti dengan mencari benda-benda yang harus ditata. Gedung-gedung harus
berbarengan dengan jalan raya yang padat, mal harus berdekatan dengan pemukiman
yang ramai, kantor harus dekat dengan tempat-tempat hiburan, dan begitu
seterusnya.
Di saat seperti ini nampaknya kerja
menjadi perilaku yang telah tertentukan, terprogram mengenai di mana harus
malanjutkan menghabiskan waktu luang, menghabiskan uang, beristirahat dan
seterusnya dan seterusnya. Maka, di saat inilah kerja menjadi ibadah akbar dari
tuhan yang dicipta modernitas. Perihal yang harus dikejar, diburu, diraih
bahkan kalau sempat ditangkap.
Bicara tentang sesuatu yang
ditangkap ataukah diburu tak selamanya dapat diraih. Apalagi berusaha untuk
menikmati hasil tangkapan. Kita tak lagi memiliki cerita dari apa yang kita
miliki, segalanya tiba-tiba menguap tak berbekas. Hasil buruan; jikalau
berhasil ditangkap pasti akan sirna pula, seperti tidak ada kata berhenti untuk
sejenak.
Memang modernitas; jenjang waktu
yang menempatkan segalanya pada kesementaraan, lewat jalan raya ataukah jalan
raya pikiran orang-orang banyak- membentang berkelindan tentang cita dan citra,
antara harapan dan pesimisme. Maka modernitas pada suatu pagi, di jalan raya,
adalah ungkapan yang tak pernah berbohong. Yakni tentang suatu ruang siapa yang
telah berlari kencang dan siapa yang masih jauh di belakang.
24 Januari 2012