Jika
kamu mahasiswa atau pernah menjadi mahasiswa, “aktivis” merupakan kata yang sedap-sedap
geli di telinga. Kedengarannya bikin keder. Aktivis jika dilihat, bikin orang
jadi was-was. Perkataannya banyak mengandung ilmu-ilmu, tindakannya, masya
Allah, dahsyat betul. Ucapannya kritis, tapi kadang tidak untuk sikapnya. Nah,
ini yang bikin geli.
Di
kampus, aktivis tidak seperti kutukan Ibunda Malin Kundang, bisa jadi batu
sekedipan mata. Jika ditelusuri, aktivis hakikatnya rangkaian proses panjang
mahasiswa unyu-unyu menjadi mahasiswa serba tanggung. Mulai dari nilai akademik
pas-pasan sampai urusan percintaan yang ditinggal selingkuhan. Semuanya bagai
kue cucur dibelah dua. Setengah-setengah.
Aktivis
mahasiswa tidak semuanya idealis. Ada juga yang sok-sok jadi
pahlawan. Kadang mulutnya serba hakiki, tapi di kantor-kantor pemerintahan, hatinya
berubah hello kitty. Kadang di ruang kuliah dosen jadi
bulan-bulanan teori yang njelimet-njelimet, namun sayang di jalan raya tahunya
hanya minta-minta sumbangan.
Bisa
dibilang di zaman sekarang aktivis tulen bin idealis hanya bisa dihitung jari.
Ibaratnya bagai mencari perawan di rumah-rumah bordir. Dapat satu hilang seribu
orang.
Baiklah.
Jika kamu sekarang masih lalu-lalang di koridor kampus, pulang pergi dari kos-kosan
menuju rumah dosen mengurus nilai susulan. Masih dipusingkan tugas tanpa tahu
apa artinya? Berikut sejarah singkat bagaimana rangkaian proses mahasiswa yang
baru lepas masa puber bisa menjadi aktivis mahasiswa harapan bapak-bapak di
parlemen itu.
Pertama,
kampus adalah tempat berlangsungnya diskursus. Segala macam cabang keilmuan
diolah di dalamnya. Mulai dari ilmu copet hingga ilmu teologi. Semuanya ada.
Nah, bagai lampu neon buat laron-laron di musim hujan, dinamika keilmuan macam
demikian bikin mahasiswa-mahasiswa haus ilmu langsung menemukan sumber mata
airnya. Bagai oase di tengah gurun sahara. Mereka berkumpul dan bepikir. Mereka
kemudian berdiskusi dengan seorang super senior sebagai pusat diskusinya.
Aktivis,
biasanya muncul dari proses seperti ini. Dia sejatinya bukan orang yang paling
getol mencari ilmu. Sebenarnya dia ikut berdiskusi hanya karena ingin menemani
sahabatnya yang memang senang ikut diskusi kelompok. Hitung-hitung karena tidak
ada kerjaan sekalian dia ikut nimbrung. Mumpung ada rokok gratis.
Kedua,
semakin dia menemani sahabatnya mengikuti kajian, sang calon aktivis ini mulai
mengenal istilah-istilah asing. Suatu waktu dia mendengar nama-nama asing yang
sering disebut-sebut melebihi dari nama presidennya sendiri. Bahkan nama yang
kerap disebut bikin dosen bingung tujuh keliling. Tak tahu dari bangsa mana
nama-nama yang seringkali disebutnya.
Semakin
lama banyak forum diskusi yang dia jumpai. Makin tahu pula sang calon aktivis
mengetahui kampus bukan sekadar tempat kuliah belaka. Ternyata di kampus, isi
kepala bukan hak birokrasi semata, namun juga tugas diri pribadi untuk mau
membuatnya makin cemerlang.
Setelah
itu di waktu lain, kalau lagi kongkow dengan teman-temannya, terutama ketika
dengan cewek-cewek kece saat menunggu antrian di studio film, dari mulutnya
sambil ngobrol diselipkan istilah ilmiah dari buku-buku yang tak pernah ditemui
dosen yang bikin jidat berkerut. Semula, ngerumpi asyik masyuk soal artis-artis
yang ditinggal pergi idola, tetiba berubah jadi khotbah kuliah enam es ka es.
Dari
seringnya calon aktivis ikut diskusi, dia mulai mengenal orang-orang “besar”
yang sering nongkrong di kampusnya. Seringkali kalau lagi asyik bolos kuliah,
dia malah ditemukan di kantin bersama orang-orang “besar” pura-pura berdiskusi
sambil menyeruput kopi gratis. Tentu kali ini masih ikut-ikutan.
Di
kantin, akibat sering ngopi bersama senior-senior aktivis, pengetahuan
sang calon aktivis mulai terbuka. Wawasannya melebar, pengetahuannya sedikit
demi sedikit semakin dalam. Dia mulai tahu kalau dunia ternyata tidak seperti
yang dia saksikan.
Tak
disangka, dunia tempat dia hidup, atau bahkan kampus tempat dia belajar, tanpa
disadarinya penuh dengan benang kusut. Segalanya dibuat berdasarkan kepentingan
segolongan orang atau apalah-apalah. Yang dia tahu dunia sekarang harus
diselamatkan dari entah apa dan siapa. Pokoknya harus diselamatkan lahir batin.
Dengan
keyakinan seperti itu, maka tiada cara lain calon aktivis menjadi sang juru
selamat. Dia mulai merasa menjadi satu-satunya orang yang diberikan amanah
untuk menyelamatkan dunia. Di pundaknya serasa seperti ada tugas berat untuk
menyelamatkan umat manusia. Akibatnya, setiap yang dia omongkan, di manapun
itu, hanya ada satu cara menyelamatkan dunia: revolusi.
Maka
dari kelas kuliah, calon aktivis ini mulai menyampaikan kabar gembira, dunia
orang-orang harus diselamatkan sesegera mungkin. Dan, semuanya harus ikut
bersama bahu-membahu membawa dunia menemukan kembali kehormatannya. Di ruang
kuliah, apapun mata kuliahnya, apapun bahan diskusinya, semuanya harus
ditujukan buat perubahan dunia. Ini genting katanya.
Aksinya
dengan demikian bikin teman-temannya berdecak kagum. Tapi, sebagian yang lain
malah risih: “kalau mau jual obat, di sebelah masjid saja”. Dosennya apa lagi:
“ini mata kuliah kewirausahaan, tidak ada sangkut pautnya dengan revolusi”.
“Dasar, anti perubahan!” hardiknya membalas.
Mulai
saat itu, kuliah adalah dosa sosial. Sang calon aktivis ini sudah meyakinkan
diri, semenjak dianggap salah tempat di ruang kuliah, dia mulai membulatkan
diri menjadi aktivis yang sesungguhnya. “Saat ini bicara perubahan harus total,
kuliah hanya menghambat perubahan. Dasar dosen goblok!”
Ketika
menasbihkan diri sebagai aktivis, dia mulai berkeliling dari satu jurusan ke
jurusan lain, dari satu fakultas ke fakultas lain. Agendanya mencari
pengikut-pengikut yang sevisi dan sepaham. Tujuannya kalau perlu seperti calon
pemimpin seantero jagad, membikin organisasi yang total dan radikal.
Dari
pengalaman ini, yang ketiga, aktivis mahasiswa harus dan wajib memiliki
organisasi. Tujuan ini bisa dilalui berbagai cara. Pertama bisa ikut melalui
proses perkaderan organisasi paling ekstrim, atau membuat sendiri organisasi
berdasarkan apa yang menjadi tujuannya sendiri.
Tapi,
kebanyakan aktivis kampus dalam membina karirnya, dia mulai dari pilihan yang
pertama. Mengikuti proses kaderisasi, pelan-pelan berproses menjadi anggota di
dalamnya, dan kalau sempat dan mau, dia bisa mencalonkan diri menjadi ketua
umum kelak kalau sudah merasa cukup.
Demikianlah,
saat berorganisasi inilah insting politiknya diasah. Mula-mula dia diajarkan
bagaimana menyebarluaskan gagasan-gagasannya sejauh-jauhnya. Seperti apa cara
merekrut anggota-anggota baru. Bagaimana metode menjaga kesetiaan kader
organisasi. Bahkan juga, bagaimana cara praktis merebut dan mempertahankan
kekuasaan.
Melalui
cara seperti ini, proses selanjutnya, aktivis kampus semakin menemukan jati
dirinya. Bersamaan dengan itu dia juga diajarkan memimpin barisan demonstrasi.
Pertama-tama dari isu internal kampus berupa turunkan harga rokok di
kantin-kantin, sampai tunjangan dosen yang tidak jelas kerjanya. Hingga
pelan-pelan mulai menyisir isu-isu berat semisal penurunan biaya perkuliahan
dan pemakzulan rektor baru.
Bila
dilihat lebih detail, pencapaian memimpin massa bagi aktivis kampus tidak
diperoleh dengan mudah. Awalnya dia hanya bagian dari barisan massa.
Pekerjaannya ikut serta memberikan yel-yel pembangkit semangat. Kadang dengan
kerongkongan kering ikut menyanyikan lagu-lagu perjuangan mahasiswa.
Seiring
semakin seringnya ikut aksi demonstrasi, si aktivis kampus mulai dipercayakan
pimpinan aksi menanggungjawabi mencari ban mobil bekas. Ketika sudah berada di
tengah barisan massa, dia pula mahasiswa pertama yang menyalakan api membakar
tumpukan ban-ban bekas. Semenit kemudian asap membumbung tinggi seiring dada
ikut membusung.
Bosan
menjadi jongos di lapangan aksi, aktivis kampus mulai mengambil peran yang
lebih gagah: di depan barisan memegang bendera aksi setinggi-tingginya. Kala
ini tak ada yang lebih kece karena sesekali mukanya akan lebih sering nongol di
layar kaca breaking news.
Telah
banyak makan asam garam di lapangan aksi. Semakin lama meninggalkan bangku
kuliah, sang aktivis memulai pertama kalinya memegang megaphone sebagai
orator. Kala ini teriakannya mencabik-cabik pendengaran. Membuat pengendara di
simpang lima geleng-geleng kepala. Tak jelas apa yang disampaikan.
Semakin
menghitam kulitnya akibat digasak sinar matahari, semakin tulenlah dia menjadi
aktivis. Namun, kali ini juga forum diskusi sudah jarang disambanginya. Semakin
hari semakin gusar dia di tengah jalan. Semakin ke sini, semakin setia dia
denganmegaphonenya. Di jalan raya, ribuan kali sudah sang presiden
dipaksa mangkir.
Tak
disangka, akhirnya seantero kampus nama Fulan bin Fulan semakin berkibar-kibar.
Apalagi sekarang sang aktivitis sudah jadi ketua organisasi. Anggotanya aduhai,
Bung! Lumayan bikin ribut barisan pengamanan kampus.
Akibatnya,
sang aktivis sering bikin risih birokrasi kampus. Apalagi pejabat parlemen yang
habis citranya dimaki-maki aktivis. Di gedung-gedung dewan, namanya
dikenal sebagai aktivis tukang blokade jalan raya. Di mata rektor, namanya
urutan pertama mahasiswa abal-abal.
Hingga
suatu hari sang aktivis terlibat aksi pendampingan kasus masyarakat. Bersama
aktivis dari kampus-kampus lain membuat simpul jaringan. Akibat nama tenarnya
di kalangan aktivis, maka sang aktivis kampus dipilih jadi pimpinan kelompok.
Tanpa diduga-duga karena perannya sebagai pemimpin, akses ke parlemen semakin
mulus.
Mulailah
sang aktivis kampus keluar masuk ruangan pejabat. Dengan tujuan melakukan
negoisasi hasil rapat pendampingan, siapa menduga isi hatinya pelan-pelan
berubah. Tak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri beserta setan alas di
sudut kepalanya.
Jika
sudah begitu, berkat kebiasaannya mendampingi kasus-kasus yang melibatkan
kepentingan masyarakat dan cukong-cukong pengadilan, si aktivis kampus dengan
sendirinya mulai mengenal dan banyak bergaul dengan pengacara, wartawan,
pejabat akta notaris, ketua LSM, dan tentu si pejabat-pejabat pemerintahan.
Hingga perkenalannya membuat si aktivis kampus memiliki pergaulan yang semakin
mendekati pusat-pusat hidup gemerlap.
Yang
keenam, siapa menduga cara hidup berbeda membuat cara pandang ikut berubah.
Kebutuhan semakin kompleks. Sarana prasarana semakin banyak dibutuhkan.
Kepentingan semakin sulit dibendung. Tak disadari, di pusat kekuasaan dengan
hati yang disapu bersih selembar cek kosong, sang aktivis berubah haluan. Di
atas podium dia menjadi garang, tapi tidak di bawah meja kekuasaan.
Masa
lalu tinggallah kenangan, jangan bicara soal idealisme, mari bicara seberapa
tebal uang di kantung. Begitu kira-kira sebait lagu Iwan Fals.
Itulah
sebab, jika sudah tiba di momen-momen politik semisal pemilu kepada daerah,
kawan kita, kakanda kita, yang pernah duduk kere berdiskusi di kantin kampus
sembari menghujat pejabat-pejabat negara, kini berdiri rapat tepat di
sebelah calon kepala daerah kala berkampanye. Tentu kini berubah dengan
predikat yang lebih keren: staf ahli pejabat.
Demikianlah,
jika kamu mahasiswa atau pernah menjadi mahasiswa, “aktivis” memang kata yang
sedap-sedap geli di telinga, bukan?
Terbit juga di Kalaliterasi.com