Review Kajian Filsafat Fenomenologi: Edmund Gustav Albrecht Husserl (1859-1938)
Edmund Gustav Albrecht Husserl
(1859-1938)
Pendiri Aliran Filsafat Fenomenologi
|
(Dosen pengampu: Muhammad Ashar, Pengasuh Lembaga Kajian Filsafat Lentera Makassar)
***
Tidak
banyak filsuf mampu membuat sistem filsafat, dan menjadikannya sebagai
satu aliran pemikiran mandiri. Seperti dibilangkan Muhammad Ashar,
pengasuh sekaligus pengampu lembaga studi filsafat Lentera Makassar, Edmund
Husserl adalah satu dari sedikit filsuf yang berhasil mengembangkan cara
berfilsafat yang khas.
Ashar
mengatakan, sebagaimana Immanuel Kant dan G.W. F. Hegel, Husserl menjadi filsuf
yang berhasil membangun filsafatnya dengan cara sistematis dan radikal. Apa
yang menjadi filsafatnya dengan corak dan watak yang baru, dikenal sebagai
filsafat Fenomenologi.
Fenomenologi
sebagai terma filsafat, sebenarnya sudah dipakai di dalam karya Hegel dalam
mengungkapkan fenomena ruh dalam konsep
dialektikanya. Begitu juga Immanuel Kant, sudah menggunakannya dengan arti berbeda ketika memperkenalkannya dalam konsep epistemologi kritisismenya.
Namun,
baru di tangan Husserl-lah fenomena, sebagai istilah teknis berubah menjadi
aliran tersendiri dalam pemikiran filsafat. Hal ini
dibentangkan berdasarkan cara pandang pemikiran yang menempatkan fenomena
sebagai basis refleksi filosofisnya. Fenomena di dalam alam pemikiran Husserl,
tidak sekadar istilah peripheri, melainkan berfungsi sebagai pusat utama
perhatiannya.
Pasca
Edmund Husserl, banyak filsuf berusaha memperkaya khasanah filsafat
fenomenologi dengan caranya masingmasing. Dimulai dari Martin Heidegger, Jean
Paul Sartre, hingga Paul Ricouer, adalah filsuf yang selama ini dikenal sebagai scholar yang
pernah mengembangkan dan dikategorikan sebagai pemikir fenomenologi.
Itu
sebabnya, seperti dikemukakan sebelumnya, Husserl berhasil membangun satu
aliran filsafat yang banyak mempengaruhi dan menjadi satu aliran filsafat yang
memiliki perbedaan dari aliran filsafat sebelumnya.
Sebagaimana
Socrates, Edmund Husserl melakukan perombakkan besarbesaran dari bagaimana
filsafat dipahami dan dipraktikkan. Cara berpikir filsafat selalu
mengandaikan dualisme subjek-objek – seperti yang diperkenalkan Rene Descartes,
dirombak habishabisan dengan memperkenalkan cara berpikir baru.
Istilah
yang mengandaikan cara berpikir khas ini diperkenalkan Husserl
–diinspirasi dari Franz Brentano-- dengan nama intensionalitas. Berbeda dari
cara berpikir a la Cartesian --yang membelah subjek dengan objek
pengetahuan, di tangan Husserl berubah menjadi cara berpikir di mana kesadaran
adalah kesadaran yang selalu mengarah kepada sesuatu sebagai objek
pemahaman.
Menurut
Ashar, cara berpikir fenomenologi ini selalu mengandaikan kesadaran senantiasa
terarah kepada objek kesadaran itu sendiri. Penggambaran ini, dijelaskan Ashar,
mengubah dualisme subjek-objek a la Cartesian menjadi bahwa objek
pemahaman adalah apa yang ada dalam pikiran itu sendiri sebagai fenomenanya.
Artinya, apa yang dikategorikan sebagai objek kesadaran dalam filsafat
fenomenologi, tiada lain adalah objek pemahaman yang ada dalam benak sang
pemikir.
Pengertian
ini, selain berbeda terhadap model berpikir Cartesian, sekaligus menjadi kritik
mendasar terhadap paham positivisme yang dianggap selalu mempersepsi
kesadaran terpisah dari objek pengetahuannya.
Itulah
mengapa, berpikir model Cartesian dan positivisme menjadi masalah dalam krisis
epistemologi abad 20
Obsesi
filsafat Cartesian dan positivisme dengan tirani ilmiahnya, akibat membedakan
objek kesadaran dan subjek berkesadaran, malah membuat ilmu pengetahuan menjadi
momok menakutkan bagi manusia karena menjauhkan pemahaman dari pengalaman
seharihari (fenomena) sebagai sumber pengetahuan.
Dengan
prinsip back to the it self atau back to the thing,
filsafat fenomenologi Husserl menganjurkan manusia kembali kepada pengetahuan
murni yang bersih dari praanggapan sebelum memahami objek pemahaman. Ini
berbeda dari cara berpikir selama ini yang selalu berpusat pada ego "sang
Aku" sebagai satusatunya pusat
dan penyusun pengetahuan.
Konsep
ini diperkenalkan Husserl dengan istilah lebenswelt, yakni dunia
pengalaman murni yang belum terkontaminasi pengertian, asumsi, prasangka, dan
sentimen ketika memahami objek kesadaran.
Ashar
menjelaskan, dalam kehidupan seharihari, pemahaman manusia sudah selalu
dipersepsi sebelumnya berdasarkan pengertianpengertian yang mendistorsi objek
sebagaimana objek yang sebenarnya. Akibatnya, sebagai objek pemahaman,
pengetahuan yang kita ketahui bukan lagi pengetahuan yang asli dan otentik
dikarenakan sudah sebelumnya dipahami dan diinvasi berdasarkan
pengalamanpengalaman yang mendasarinya.
Ashar memberikan contoh bagaimana LGBT sebagai suatu pemahaman, sudah ditafsir sekehendak sang pemikir berdasarkan paham religius atau pun pengertianpengertian lain, sehingga LGBT sebagai pengetahuan yang sebenarnya sulit dikenali.
Ashar memberikan contoh bagaimana LGBT sebagai suatu pemahaman, sudah ditafsir sekehendak sang pemikir berdasarkan paham religius atau pun pengertianpengertian lain, sehingga LGBT sebagai pengetahuan yang sebenarnya sulit dikenali.
Berdasarkan
cara berpikir fenomenologi, Ashar mengungkapkan, untuk memiliki pengetahuan
yang sebenarnya tentang LGBT, maka tiada lain harus menyingkirkan sebelumnya
pemikiran yang membungkus pemahaman tentang LGBT dari anggapananggapan yang
membuat LGBT tidak dapat dipahami dengan jernih.
Ashar
menambahkan, untuk mencapai pemahaman sebenarnya tentang LGBT, maka salah satu
cara di antaranya adalah tiada lain dengan berkorespondensi langsung kepada
orangorang yang mengalami LGBT sebagai perilaku hidup. Jika hal ini tidak
dilakukan, maka mustahil akan mendapatkan pengetahuan yang sebetulnya tentang
LGBT.
Dalam
kaitannya dengan contoh di atas, Ashar mengingatkan, cara berpikir
fenomenologi, bukan bekerja dalam kaidah benar-salah seperti yang dipahami
dalam dunia ilmiah positivisme, sehingga yang ditekankan di dalamnya adalah,
bagaimana pengetahuan yang sebenarnya dapat dirumuskan dari dunia pengalaman
atas objek pengetahuan itu sendiri.
Hal
ini ditempuh karena prinsip fenomenologi menganjurkan pengetahuan harus dirujuk
kembali ke dalam sesuatu itu sendiri sebagai sumber pengetahuannya.
Berbeda dengan prinsip pengetahuan konvensional, yang ketika mencari korelasi
kebenaran harus ditarik keluar mengafirmasi faktafakta (objek) sebagai rujukan
kebenarannya.
Itu
sebabnya, fenomenologi menjadi aliran filsafat yang memiliki kriterium yang
berbeda dari prinsipprinsip kebenaran pada umumnya.
Perbedaan
ini harus dipahami karena kebenaran dalam filsafat fenomenologi Husserl tidak
mesti dipahami sebagaimana kriterium dalam kaidah sains ilmiah. Berdasarkan
prinsip intensionalitas dan lebensweltnya, fenomenologi menawarkan kebenaran
yang dikembalikan kepada objek pemahaman sebagaimana pemahaman itu sebenarnya.
Dalam pengertian ini, pemahaman itu dibangun berdasarkan metode dari apa yang
dijelaskan Ashar sebagai kaidah berpikir fenomenologi Husserlian.
Pertamatama,
sebelum memahami tindak berpikir fenomenologi Husserlian, harus ditekankan
sebelumnya, bahwa tindak berpikir fenomenologi Husserlian ini bertujuan dalam
rangka menemukan pengetahuan yang tanpa diliputi asumsi dan praanggapan. Kedua,
pengetahuan yang tanpa anggapan, harus diletakkan di dalam konteks pengetahuan
yang telah jernih atas asumsiasumsi yang mengontaminasinya. Itu artinya,
tujuan khusus dari berpikir a la fenomenologi adalah bagaimana sang
pemikir mampu menemukan pengetahuan yang berbasis fenomena, sebelum fenomena
itu dijustifikasi oleh prasangkaprasangka pemahaman.
Seperti
yang dijelaskan Ashar, kaidah berpikir fenomenologi dimulai dari apa yang
diistilahkan Husserl, pertama, sebagai reduksi eidetis. Konsep ini
diartikan sebagai tindak berpikir yang harus melepaskan praanggapanpraanggapan
atas pengetahuan yang meliputi objek pengetahuan. Hal ini memiliki tujuan
agar sang pemikir mampu menangkap yang eidos (esensi) dari sesuatu
yang bukan aksesoris ataupun konsep imajinatif belaka.
Seperti
contoh sebelumnya, Ashar mengangkat LGBT sebagi ilustrasi bagaimana LGBT
sebagai konsep pengetahuan, telah tertimbun pemahamanpemahan berdasarkan
pengetahuan religius, hukum, norma, dan kesehatan, yang semuanya justeru
menutupi kenyataan konsep LGBT. Akibatnya, pengetahuan yang terbentuk bukan
berdasarkan atas apa yang ada dari LGBT itu sendiri sebagai sumber pengetahuan,
melainkan telah dibuat sebelumnya sebelum fenomena LGBT dijustifikasi.
Yang
kedua adalah reduksi fenomenologis. Ashar menjelaskan, jika reduksi
eidetis dipraktikkan kepada objek pemahaman, maka reduksi fenomenologis
dimaksudkan kepada subjek pemikir dengan tujuan yang sama agar terbebas dari
prasangkaprasangka pengetahuan yang meliputinya. Dengan kata lain, sang pemikir
dalam mempersepsi sesuatu harus menunda segala macam anggapan yang dimilikinya
ketika membangun pemahamannya atas sesuatu.
Pada
konteks ini, dibahasakan Ashar, sang pemikir diandaikan sebagai seorang pemula
yang tidak memiliki anggapan apa pun atas objek pemahamannya. Hal ini penting
ketika reduksi eidetis dijalankan, tetapi tidak berlangsung ke dalam tahap
reduksi fenomenologis, maka sang pemikir masih terjebak di dalam selubung
praanggapan yang dapat mengganggu kejernihan pengetahuan atas sesuatu.
Yang
ketiga adalah reduksi transendental. Reduksi ini dimaksudkan kepada
pembersihan segala anggapan atas subjek untuk menghayati kesadaran yang
dipahaminya dalam menemukan kejernihan pengetahuan yang ditujunya.
Sebagai
penutup, sebagaimana yang dijelaskan Ashar di saat mengulas pemikiran Edmund
Husserl, filsafat fenomenologi bukan saja pemikiran yang dapat diperlakukan
sebagai teoriteori filsafat, melainkan –dan ini yang menjadi keunikannya, dia
juga bisa diturunkan sebagai kaidah metodelogi yang dapat dipakai dalam
penelitianpenelitian ilmu sosial dan humaniora. Setidaknya dari yang
diungkapkan sebelumnya dalam forum kajian, filsafat fenomenologi adalah satu
pendekatan yang menawarkan alternatif terhadap pendekatan penelitian selama ini
yang bercorak positivistik.