![]() |
Jean Paul Sartre Filsuf eksistensilisme Prancis Pemikirannya menjadi unik karena menolak Tuhan sebagai penghambat kebebasan manusia |
(Dosen pengampu: Muhammad Ashar, Pengasuh Lembaga Kajian Filsafat Lentera Makassar)
FILSAFAT Jean Paul Sartre bukan sekadar pemikiran yang berkelit di antara asumsiasumsi
teoritik belaka. Sartre, sejauh dikenal sebagai filsuf eksistensialis,
merupakan pemikir yang menganjurkan barangsiapa berfilsafat, maka pertamatama
yang harus dipikirkan adalah bagaimana cara manusia bertindak.
Lantas
bagaimanakah cara menusia berada dengan tindakannya? Sartre mengemukakan bahwa
manusia harus senantiasa mendahului esensinya. Maksudnya, manusia harus
senantiasa berada tanpa ditundukkan situasi apa pun yang
melingkupinya. Itu artinya, situasi yang dihadapi manusia merupakan tiang
jeruji kebebasan yang mesti dijebol dan dilampaui.
Akibatnya,
manusia adalah mahluk yang memiliki rongga untuk dapat bertindak, bergerak, dan
menentukan keberadaannya tanpa kehilangan otentitas yang menjadi khas bagi
dirinya. Otentitas yang diandaikan Sartre, hanya bisa dimungkinkan ketika
manusia mampu membangun jarak kesadaran antara aku yang bertindak dengan
tindakannya itu sendiri dengan tujuan menundukkan hambatanhambatan yang
melingkupinya.
Dari
pengandaian seperti di atas, maka Sartre juga mendudukkan filsafatnya bukan
sekadar pemikiran yang ditilik dari asumsiasumsi filosofis, atau hanya
argumenargumen rasional yang dikemukakan secara teoritik belaka, melainkan
diturunkannya sampai ke dimensi yang paling fundamen: praktik.
Itulah
sebabnya, Sartre bukan saja seorang filsuf. Sartre juga seorang novelis,
penulis drama, dan seorang aktifis hak asasi. Yang terakhir ini, sering membuat Sartre terlibat aksiaksi politik selama masa hidupnya. Bahkan
bersama Bertrand Russell —filsuf analatik abad 20, menginisiasi berdirinya
Mahkamah Internasional yang didirikan untuk memberikan sanksi kepada
orangorang yang melakukan kejahatan perang tingkat tinggi.
***
Kesadaran
bagi Sartre bukan terisolir sebagaimana yang ditunjukkan Husserl. Walaupun,
secara fenomenologi, Husserl berhasil membangun tipologi kesadaran yang terarah
terhadap objek, tetapi di dalam konsep kesadaran Husserl, asumsiasumsi
idealistik masih begitu kental mengemuka di dalam subjek sebagai satusatunya
agen yang mampu membentuk pemahaman.
Pendakuan
ini didasarkan atas objek faktual yang tidak diterima sebagai bagian dari
fenomena di saat kesadaran membangun pemahamannya. Penolakkan terhadap objek
faktual inilah, yang dianggap Sartre, kesadaran intensionalitas Husserl dengan
sendirinya mengulang tradisi filsafat yang semula ditampik filsafat
fenomenologi.
Dengan
kata lain, selain terjebak di dalam solipisme idealistik, penempatan
satusatunya subjek sebagai elemen pembangun kesadaran, juga dianggap Sartre
masih mengukuhkan kesadaran versi Cartesian. Artinya, dambaan Husserl untuk mau
membangun kesadaran yang terlibat dan terarah kepada objek kesadaran, justru di
saat yang bersamaan malah mengembalikan pembelahan dualisme subjek-objek yang
sebenarnya tidak disadari Husserl.
Sementara
Sartre mengandaikan kesadaran sebagai pemahaman yang lahir dari dunia
seharihari. Pengertian ini sekaligus menandai kesepakatannya dengan Husserl
berkenaan dengan lebenswelt sebagai pijakan fenomenologinya. Walaupun begitu,
Sartre memiliki persepsi yang berbeda tentang bagaimana hubungan subjek objek
yang diperantarai oleh kesadaran di saat pemahaman itu terbangun.
Itu
artinya, tiada kesadaran tanpa dunia. Yakni, setiap kesadaran mengharuskan
keberadaan dunia sebagai fondasi epistemiknya. Begitu pula sebaliknya, dunia
tidak serta merta tiada jika tiada kesadaran memahaminya. Dengan maksud tanpa
terjebak di dalam primasi ego idealistik idealisme dan subjek Cartesian, baik
kesadaran dan objek kesadaran adalah satu kesatuan relasional yang tidak
terelakkan di dalam pemahaman.
Kritisisme
Sartre juga ditunjukan dengan penolakannya terhadap konsep epoche yang
didakukan Husserl. Sartre berkeyakinan, dengan pengertian kesadaran melalui
caranya bekerja, tidak terlepas dari dunia yang menjadi situasi latar belakang
pemahaman manusia dibentuk. Itu artinya, di mana pun kesadaran dibangun,
manusia senantiasa melibat dan terlibat oleh keadaan yang ikut membentuk ruang
sadarnya.
Kesadaran
yang senantiasa terbentuk melalui keterlibatannya di dalam dunia, dinyatakan
Sartre sebagai kondisi yang tidak terelakkan bagi manusia. Melalui cara ini,
pemahaman yang diklaim bersih dari pengaruh eksternalitas dari luar kesadaran,
tidak dapat dimungkinkan akibat asumsi ini bertolak belakang dari conditio
humana di mana manusia adalah mahluk yang dibentuk kehidupannya sendiri.
Berdasarkan
asumsi di atas, bersamaan dengan Heidegger, Sartre hendak mengatakan dengan
sifat khas yang dimiliki, mustahil manusia dapat melangsungkan epoche di
saat mempersepsi sesuatu. Manusia, dengan begitu mau tak mau di saat menilai
sesuatu, tidak dapat keluar dari sifat alaminya dengan mengajukan
prasangkaprasangka yang turut terlibat di dalam kesadarannya.
Di
sisi lain, manusia juga bukan mahluk pasif yang terombangambing di tengah arus chaotik kegelisahannya.
Manusia, bukan bendabenda yang tertimpa keberadaan tanpa memiliki maksud
apaapa. Manusia, sepanjang memiliki hasrat dan kehendak, merupakan agen aktif
yang mampu membangun kehidupannya lebih berarti. Manusia sepanjang mengartikan
kebebasannya sebagai modalitas utama, dengan tujuan mendamba satu kemungkinan
dari seribu ketidakpastian, adalah mahluk khas yang berjalan tertatih namun
pasti menuju ke pusat eksistensinya sebagai manusia yang otentik.
***
Pemahaman
atas kesadaran yang dimiliki manusia, diletakkan Sartre berdasarkan sejauh apa
manusia mampu membenakkan ruang reflektif ketika mengalami kesadaran itu
sendiri. Kategorisasi kesadaran yang dibuatnya ini, merupakan upaya Sartre
dalam mendudukkan filsafat fenomenologinya yang berkaitan langsung dengan upaya
manusia untuk menemukan otentitas di saat menginsafi kebebasannya.
Yang
pertama, adalah kesadaran prareflektif. Pemahaman ini diandaikan sebagai
kesadaran yang mengarah langsung kepada objekobjek pemahaman. Pengertian ini
dapat dipahami ketika manusia menyadari sesuatu, maka yang terjadi adalah
kesadarannya hanya tertuju kepada objek yang dia insafi. Sebagai misal,
ketika seseorang membaca buku, maka kosentrasinya hanya senantiasa
tertuju kepada isi buku yang dibacanya. Dengan kata lain, kesadaran sang subjek
tidak keluar dari isi buku yang menjadi objek perhatiannya.
Menurut
Sartre, kesadaran prareflektif adalah kesadaran yang senantiasa dialami manusia
ketika melalukan seluruh aktifitasnya. Manusia tanpa kesadaran prareflektif,
tidak mungkin mampu membangun pengertian atas objekobjek yang disadarinya.
Melalui kesadaran prareflektif ini, pengalaman manusia berjalan tanpa ada
hambatan sama sekali, sebab secara fungisional, kesadaran prereflektif membantu
memperantai manusia ketika mengelola objekobjek yang menjadi bagian
hidupnya.
Namun,
di saat yang bersamaan, kesadaran prareflektif sekaligus berdampak negatif
membuat manusia berjalan tanpa ada sikap mawas yang memberikan semacam jeda
reflektif untuk menyadari kesadarannya itu sendiri. Ketiadaan sikap mawas ini,
secara akumulatif akan menjadikan manusia sebagai mahluk ceroboh yang tidak
mampu menilai kesadarannya. Proses hilangnya justifikasi terhadap kesadaran itu
sendiri, yang di dalam pemikiran Sartre disebut sebagai kesadaran inotentik.
Kesadaran
inontentik, hanya bisa teratasi ketika manusia mampu membangun jarak atas
kesadarannya. Maksudnya, dalam contoh seseorang yang membaca buku, disebut
otentik ketika dia mampu mereflesikan tindakan membaca bukunya sebagai objek
pemahamannya.
Kesadaran
yang mengarah kepada tindakan (membaca buku, bukan isi buku) itu sendiri
disebut Sartre sebagai sesadaran reflektif. Dengan begitu kesadaran
reflektif adalah kesadaran atas kesadaran itu sendiri. Pengertian ini berarti
kesadaran sang subjek bukan lagi tertuju kepada objek pemahaman di luar dari
kesadaran, melainkan kepada kesadaran atas kesadaran terhadap objek itu
sendiri. Penjarakan atas kesadaran itu sendirilah, yang merupakan cara manusia
untuk menemukan kepribadian yang khas ketika mengafirmasi kehidupannya. Di
dalam mekanisme ini, maka di dalam kesadaran atas kesadaran, manusia menemukan
keotentikan dirinya.
Kesadaran
reflektif diajukan Sartre juga sebagai kritik langsung kepada Rene Descartes
dan gurunya, Edmund Husserl. Asumsinya, bahwa di dalam kesadaran prareflektif
belum ditemukan “diri” yang menyadari tindakannya sendiri. “Diri” atau ego sang
aku, menurut Sartre hanya dimungkinkan di dalam kesadaran reflektif di saat
menyadari tindakannya.
Artinya,
di dalam pengalaman yang didasarkan atas kesadaran prareflektif, “diri” menjadi
tidak mengemuka akibat kesadarannya masih tertuju kepada bukan tindakannya itu
sendiri. Inilah yang dimaksudkan Sartre bahwa di dalam pengalaman atas
objekobjek, tidak ada “diri” yang melampaui. “Diri” yang melampaui pengalaman
hanya mungkin ketika “diri” itu sendiri mengambil jarak untuk menyadari
keberadaannya sendiri.
Pemahaman
di atas dengan sendirinya menghapus pengandaian Edmund Husserl bahwa ego
transendental senantiasa terlibat di dalam tindak pengalaman manusia. Sedangkan
menurut Sartre, ego transendental, atau “diri”, tidak akan pernah ditemukan di
dalam pengalaman akibat dirinya senantiasa mengelak dari kesadaran.
Misalnya,
di dalam pengalaman “itu aku yang sedang mengetik karya tulis”, sang “aku”,
“diri” menjadi satu kesatuan di dalam pengalaman langsung manusia. Lantas di manakah
“sang aku” atau ego transendental Edmund Husserl yang menyadari “itu aku
yang sedang mengetik karya tulis?” Menurut Sartre, Ego transendental atau
“sang diri” tidak dapat dirumuskan dan dipikirkan di dalam kesadaran , “sang
diri” senantiasa mengelak dan berkelit atau bahkan melampui pengalaman itu
sendiri.
***
Sartre
ketika membangun filsafat fenomenologinya, turut mengajukan sejumlah kritik
terhadap paham substansialis yang dimiliki filsafat Barat umumnya. Menurut
Sartre, paham subtansialis justru membangun ilusi yang menjerumuskan manusia
sebagai mahluk yang statik.
Berdasarkan
paham cogito Cartesian, sang subjek dinyatakan telah penuh oleh kesadaran
sebelum keberadaan ditetapkan. Maksudnya, ide manusia sebagai subtansi yang
berpikir, dengan sendirinya menyituasikan manusia sebagai mahluk yang lengkap
dengan kesadarannya sebagai satusatunya totalitas yang dimilikinya
Ilusi
subtansialis juga mempengaruhi manusia sebagai objek yang dilingkupi
ketetapanketetapan sebagai akibat piranti kesadarannya. Pengandaian
ketetapanketetapan yang dimiliki manusia, ditunjukkan ketika kesadaran
manusia menjadi syarat utama dalam mendeterminasi pilihanpilihan
rasionalnya. Itu artinya melalui kesadaran rasionalnya, secara konsekuensional
manusia tidak akan keluar dari ketetapan hukumhukum berupa baik-buruk,
benar-salah, indah-tidak indah, besar-kecil dsb., yang menyituasikan kesadaran
secara otomatis.
Kritik
atas ilusi subtansialis, juga diajukan Sartre terhadap konsep Dasein Heidegger.
Menurut Sartre, manusia sebagai Dasein secara esensialis harus
menanggung karakteristik yang dimilikinya berupa kecemasannya dalam menghadapi
masa depan. Situasi yang mengkondisikan Dasein atas pemahamannya
terhadap masa depan sebagai acuan perilakunnya, dianggapkan Sartre sebagai
keterpenuhan yang seharusnya tidak dimiliki manusia.
Di
dalam Being and Nothingness (Ada dan kekosongan), Sartre mengemukakan
dua kategorisasi keberadaan yang membedakan manusia dari keberadaan lainnya.
Pendasaran kategoris ini ditentukan Sartre dari kesadaran yang dimiliki manusia
dan bendabenda yang menjadi batasan dan keterlampauannya itu sendiri.
Kategorisasi ini juga sekaligus menandai watak humanisme filsafat Sartre
dalam mengidealisasi manusia sebagai mahluk bebas.
Kategori
yang pertama, didasarkan Sartre atas cara berada dengan prinsip keterpenuhan,
yakni suatu pemahaman bahwa keberadaan selain manusia sudah de fakto ditetapkan
dan tertetapkan begitu saja tanpa mampu mengubah dirinya. Artinya, bendabenda
atau adaan selain manusia mengalami dirinya dengan begitu saja tanpa memiliki
potensi untuk mengembangkan dirinya. Dengan kata lain, bendabenda telah ada
begitu saja yang sudah berisi, padat, dan penuh tanpa memiliki rongga untuk
meruangkan dirinya.
Kategori
keberadaan di atas dikemukakan Sartre sebagai L etre en soi,
ada-pada-dirinya. Keberadaan ini juga dapat dipahami sebagai keberadaan yang
bukan aktif sekaligus bukan pasif, tidak afirmatif sekaligus bukan negatif,
yakni prinsipprinsip yang tidak bisa diafirmasi kepada selain dari manusia itu
sendiri. Atas dasar ini, maka eksistensi l etre en soi, tidak
mempunyai sejarah masa silam, tidak mempunyai kemungkinan masa depan, sekaligus
tidak memiliki tujuan. Artinya etre en soi adalah keberadaan yang
nihil, yakni keberadaan yang ada begitu saja, tanpa dasar, dan tanpa
diciptakan.
Kategori
yang kedua disebut Sartre sebagai L etre pour soi, ada-bagi-dirinya,
yakni cara berada yang dirujuk dari kesadarannya. Kesadaran yang berifat co
eksistens dengan begitu memiliki sifat khas, dalam arti mampu
mengembangkan dirinya sejauh dunia yang dipikirkannya. Dari kesadaran yang
mengembang, maka dengan sendirinya prinsip subjek-objek menjadi mungkin akibat
relasi kesadaran dengan objek kesadaran. Dengan kata lain, di dalam kesadaran,
subjek menjadi mungkin akibat objektifikasi atas objek kesadaran itu sendiri,
dan berbalik menjadi objek kesadaran atas subjek kesadaran itu sendiri.
Kemungkinan
relasi subjek-objek kesadaran dapat juga diandaikan dari sifat kesadaran yang
menyadari dirinya sendiri. Ada yang menyadari berarti memposisikan dirinya
sebagai subjek, dan kesadaran yang disadari oleh kesadaran yang menyadari
diposisikan sebagai objek. Sifat keduaduanya ini diandaikan hanya dalam satu
relasi bagi kesadaran itu sendiri. Tetapi kesadaran yang menyadari tidak
identik dengan kesadaran yang disadari, artinya subjek hanya menyadari
dirinya sendiri sekaligus bukan dirinya yang menjadi objek kesadaran. Sehingga,
antara kesadaran yang menyadari dengan kesadaran itu sendiri yang disadari
mengandung jarak posisional, jarak antara aku dan diriku yang disadari inilah
yang disebut sebagai “ketiadaan.”
Proses
“ketiadaan” ini, dalam filsafat eksistensialisme Sartre, dirumuskan sebagai
manusia yang sedang menjadi. Menjadi sebagai suatu kaidah, dirumuskan
sebagai keberadaan yang belum mewujudkan dirinya tetapi sekaligus sudah lepas
dari keberadaannya yang sekarang. Artinya, di dalam proses kemenjadian, manusia
melakukan dua mekanisme sekaligus, yang pertama adalah meniadakan keberadaannya
yang sekarang, sekaligus menuju suatu wujud yang sedang ingin dicapainya.
Artinya,
proses menjadi merupakan suatu rangkaian yang terus menerus dialami manusia.
Suatu upaya yang bergerak, beralih, berubah tanpa berhenti, dan tanpa tujuan
yang ketika dicapai akan ditinggalkan seketika. Dengan begitu, manusia adalah
keberadaan yang tidak pernah mencapai titik kemauannya, titik keinginannya
tanpa akhir. Di saat dia menghendaki, maka sesungguhnya itu bukan keberadaan,
dan juga apa yang tidak dikehendakinya juga merupakan ketiadaan yang sudah
ditanggalkan, maka di dalam persitegangan inilah manusia mengalami ada dan
ketiadaan sekaligus. Dari Ada menuju ketiadaan.
***
Pendakuan
kebebasan yang diartikan Sartre, walaupun dititiktolakkan dari ketiadaan Tuhan
yang dinegasi, tidak sendirinya bermakna manusia kehilangan daya kehendak
yang dipunyainya. Pendasarannya secara teoritik dapat diartikan penolakkan
Tuhan yang diparalelkan dengan moralitas manusia, bukan hubungan kausasi yang
secara hakiki turut menghapus supremasi manusia atas kehendaknya.
Sehingga secara teoritik, pengandaian ini tidak mengimplikasikan defisitnya
seluruh kehendak manusia itu sendiri sebagai dasar fondasional dalam
tindakannya.
Itu
artinya, kebebasan yang didenotasikan Sartre, tidak serta merta kehilangan
dasar fondasionalnya dalam mengafirmasi dari mana nilainilai kemanusian itu
didatangkan. Dengan terhapusnya Tuhan sebagai dasar fondasional atas seluruh
tatatanan, maka pendasaran yang diajukan Sartre tiada lain hanya bisa
dimungkinkan dimulai dari manusia itu sendiri. Pemaknaan ini akhirnya
menempatkan manusia sebagai satusatunya pusat yang mengafirmasi dan
mengkofirmasi seluruh nilai yang mendasari tindakannya.
Hanya
dengan pengertian di ataslah, maka kebebasan dapat dimungkinkan. Dengan maksud
ini pula, kebebasan manusia jadi lebih mungkin dan berarti dengan cara
membangun pengertianpengertian yang mandiri tanpa intervensi kekuatan eksternalitas
di luar manusia itu sendiri.
Lantas,
apakah ketika Tuhan tiada, mungkinkah manusia beserta kebebasannya menjadi
satuan yang bergerak semenamena? Di sini, penting kiranya, pendasaran Sartre
terhadap kekuatan kebebasan yang dimiliki manusia, harus diparalelkan
dengan kesadaran reflektif yang menjadi “alarm” tindakan ketika manusia
merenungkan segala apa yang sedang dan akan dilakukannya.
Syahdan,
pertanyaan besarnya, apakah ditampiknya Tuhan dalam pandangan kemanusiaan
Sartre, juga berarti tidak ada intisari kemandirian yang menjadi hal penting
dan genting bagi manusia belakangan ini?