Langsung ke konten utama

Pojok Bunker

Yang mesti diingat kembali, apa sesungguhnya tujuan Pojok Bunker (PB)? Sejauh yang masih diingat, PB, sejatinya merupakan proyek kultural berkelanjutan. PB adalah bentuk lain dari kerja pemberdayaan yang selama ini dilakukan yayasan kita bersama. Atau, jalan lain dari revitalisasi kegiatan intelektual yang selama ini mandeg.

PB, walaupun kesannya mainmain, sebenarnya punya tujuan serius: menghidupkan wacana sampai ke tingkat pencerahan. Walaupun di dalam praktiknya, tujuan ini belum mampu maujud seperti yang diharapkan.

PB semula, juga hakikatnya adalah proyek pemberdayaan ruang yang semula tidak fungsional, menjadi produktif. Dengan kata lain, PB merupakan peralihan dari ruang terabaikan menjadi ruang diskursif.

Dengan maksud demikian, maka PB, diharapkan menjadi medan pertukaran ilmu pengetahuan, menjadi tempat obrolan yang membuka wawasan.

Berdasarkan fungsi diskursif ini, PB mau tidak mau menjadi ruang yang lebih care terhadap perbedaan pengetahuan antara anggotanya. Maksudnya, PB harus mampu memediasi orangorang yang berpengetahuan tinggi agar dapat terlibat langsung dengan kawankawan melalui kajian edukatif yang samasama diprogramkan.

Melalui programprogram edukatif, dengan sendirinya terbuka luas bagi siapa pun dapat terlibat menguji pemahamannya dengan dialog terbuka yang menjadi ciri pendidikan. Itu artinya, pengetahuan tidak sekadar berpusat di dalam relasi hirarkis, melainkan lebih setara dan demokratis.

Tujuan ini memang agak terkesan muluk, atau bahkan utopis. Tapi, sejauh itu bisa dibuatkan indikator dan mampu diterjemahkan ke dalam programprogram, PB pelanpelan akan memperlihatkan hasil yang terang.

Dari proses kelahirannya, PB adalah proyek bersama anakanak yayasan. Sejak pertama dibentuk, pikiran tentang pengalihan fungsi ruang terabaikan, sudah sebelumnya dibicarakan bersama. Akhirnya, dari pikiran yang dibicarakan itu menjelma kolektif. Dimaterialkan menjadi kerja sama. Diharapkan bersamasama.

Walaupun tanpa modal besar, dengan bahan material yang ada, melalui hari kerja bersama, tanpa dipaksakan, PB pun berhasil dibangun. Di hari pertama PB berdiri, sudah ada programprogram yang dicanang kedepannya. Di antaranya kajian panjang tentang filsafat Barat, yang akan diakhiri dengan kajian filsafat Islam.

Bahkan dari perjalanannya, PB sudah sempat menghadirkan orangorang berkapasitas unggul yang mau diajak terlibat langsung bertukar pengetahuan. Berdiskusi dan menanggung soal bersama, hingga mau ikut membesarkan PB.

Itu semua karena ada orangorang yang berpikir, orangorang yang bekerja, yang bergerak melibatkan sebanyak mungkin orangorang agar datang terlibat. Juga, tentu ada program yang dikawal bersama, dari perhatian semua kita.

PB, yang semula ruang terabaikan, dari hari ke hari turut dipermak. Ini dilakukan agar orangorang yang ikut serta dalam aktifitas PB merasa nyaman dan kerasan. Dengan tujuan itulah, PB dibuat lebih fashionable. Dindingdindingnya ditempeli aksesoris dari barangbarang bekas. Papan tulis dibuatkan penyanggah. Begitu pula untuk pembicara, PB sampai menyediakan mimbar sederhana.


Terakhir, yayasan kita direnovasi. Atapatapnya dibuat tinggi. Lantainya dibikin lebih landai. Juga dindingdindingnya, disempurnakan dengan cat berwarna terang. Bersamaan dengan itu semua, PB yang terletak di bagian belakang yayasan, ikut diperbaharui.


Upaya ini samasama kita tahu adalah perhatian besar dari gurunda bersama. Berkat perhatian beliau, yayasan yang semula pengap berubah jauh lebih sejuk. Akhirnya, yayasan, tempat semua kita bernaung, jadi lebih homely.

Sudah banyak tenaga, pikiran, bahkan materi yang diberikan gurunda selama ini. Yang telah lama beryayasan tidak bisa mengabaikan fakta benderang ini. Bahkan, apa yang diberikan gurunda sampai detik ini, tak mampu dibalas sekejap mata oleh semua kita di yayasan.

Karena itulah, sulit rasanya mengabaikan keadaan PB sekarang yang jauh dari harapan bersama. Terutama yayasan, yang sampai malam ini, detak jantung aktivitasnya sulit kita rasakan.

Belakangan, baik yayasan maupun PB, mendapati dirinya mandeg. Sangat sulit mau mengatakan mati suri. Perbedaan antara keduanya jelas. Mandeg berarti selama ini ada yang kurang care, sedangkan mati suri berarti hilangnya kesadaran dalam tubuh.

Mandeg juga berarti ada tindakan yang sengaja, sementara mati suri, siapa yang ingin mati suri? Itu artinya mau tidak mau, selama ini semua kita sengaja abai terhadap yayasan ataupun PB. Sengaja karena semua kita sibuk dengan aktifitas yang dirasa sulit ditinggalkan.

Akhirnya, belakangan PB justru kembali menjadi ruang terabaikan. Fungsi diskursifnya tidak berjalan. Bahkan, yayasan yang dipenuhi sumber daya tidak mampu digerakkan. Akhirnya, semua kita tahu, PB dan yayasan tergeletak begitu saja tanpa ada care ikut di dalamnya.

Sulit mau menjustifikasi ini salah siapa. Semua kita turut ikut bertanggung jawab di dalamnya. Tapi, bukankah tanggung jawab paralel dengan tugas yang sudah sebelumnya jadi amanah. Yakni, orangorang yang hari ini menjadi ujung tombak buat keberlangsungan PB, bahkan yayasan.

Terlepas dari semua itu, keadaan PB sekarang merupakan bagian dari dinamika komunitas. Adakalanya air berubah surut, juga di waktu lain justru menjelma gelombang tanpa ujung. Semuanya bagian dari proses tanpa henti.

Namun, dinamika alam berbeda dari dinamika komunitas. Ini bumi manusia, sebagian besarnya butuh keterlibatan, juga perhatian. Itu sebabnya, komunitas di mana pun harus digerakkan dengan perencanaan, dan semua itu tentu dilakukan di bawah terang visi kesadaran.

Syahdan, mau tidak mau hanya ada dua pilihan: ikut dibentuk keadaan, atau terlibat membentuk keadaan. Sampai di sini, kemungkinan yang ada tidak lepas dari semua kita yang berproses di dalamnya. Apakah itu Anda?


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...