Langsung ke konten utama

Membangun Pemberitaan Berperspektif*

Kekerasan bisa menjelma di mana saja, termasuk dalam pemberitaan. Dan bisa jadi, pelakupelakunya tiada lain adalah orangorang yang berprofesi sebagai penulis, terutama para pewarta berita.

Bila menggeledah bagaimana suatu kabar diproduksi, maka seperti yang dipahami selama ini, media memang menjadi kaki tangan anarki.

Noam Chomsky nyatanya tidak mainmain ketika mendenotasikan media sebagai sumber anarki. Bila menilik kasus "kopi bersianida" sulit rasanya bisa dibedakan yang mana disebut kasus publik dan televisi itu sendiri sebagai intrumen penting dalam menyebarluaskan berita. Begitulah apa yang dibilangkan Alwy Rachman, scholar ilmu budaya, di dalam suatu pertemuan diskusi yang diselenggarakan kerjasama LBH Apik Makassar dan OXFAM.

Seperti yang diungkapkan Alwy Rachman saat mempercakapkan bagaimana akar kekerasan bisa begitu sulit diretas, kekerasan bisa dimotori berbagai motif. Mulai dari sifat khas manusia yang agresif hingga bahasa sebagai medan simbolik yang menjadi sumbersumber terang dalam konstelasi tatanan masyarakat.

Bahasa sebagai elemen dasar informasi, sadar tidak sadar menjadi medan yang licin saat digunakan. Bahasa, termasuk unitnya yang paling kecil, yakni kata, menjadi wadah pengertian yang mendua.

Pertama, bahasa -dalam konteks media, bukan sekadar penyampai faktafakta atas suatu peristiwa, melainkan mampu menyelundupkan pengertian lain yang berkembang diskriminatif.

Kedua, akibat berjaraknya pengalaman penulis berita dengan pengalaman pembaca berita, membuat maksud awal dari penggunaan bahasa melenceng dari pengertian yang sebenarnya.

Misalnya dalam pemberitaan kasuskasus korban kekerasan, terkadang penggunaan bahasa hingga sampai membentuk frame pemberitaan, malah berperan serta dalam memproduksi kekerasan di level simbolik.

Pada tahap selanjutnya, kekerasan simbolik bisa menjerumuskan masyarakat dalam istilah yang sering digunakan Alwy Rachman sebagai cultural bleeding. Pengandaian ini --sejauh daya mengingat, merujuk kepada situasi sosial yang dilingkupi tatatan budaya yang secara tidak langsung menjadi sumbersumber anomali sosial.

Malangnya, korbankorban kekerasan yang acapkali terjadi adalah perempuan dan anakanak. Perempuan dan anakanak yang menjadi korban, selain menjadi korban langsung dari peristiwa kekerasan itu sendiri, di lapisan yang lain, juga mengalaminya di tahap simbolik.

Di poin inilah, media yang tak memiliki perspektif keperempuanan dan anakanak, malah menjadi pelaku kedua dari tindak kekerasan yang terjadi.

Hal ini dalam tahapantahapan produksi berita hingga penggunaan bahasa, secara tidak sadar malah melanggengkan kekerasan atau bahkan justru mempertebal intensitas kekekerasan itu sendiri.
  
Apabila ditilik dari teori kekerasan pembelajaran sosial, beritaberita yang menyuguhkan bahasa, gambar, simbol, maupun gesture yang tampak dipemberitaan, sebagai bagian langsung dari dunia simbolik, seperti yang diutarakan sebelumnya, turut membangun dunia simbolik sebagai akar kekerasan.

Itu sebabnya, penting membangun pemberitaan yang berperspektif perempuan dan anakanak. Pemberitaan yang berperspektif perempuan maupun anakanak, harus bisa dimulai dari pemahaman pewarta berita ataupun orangorang yang menjadi wakil publik dalam mentransmisikan informasi.

Penulisan yang berperspektif setidaknya adalah suatu mekanisme kerja penulisan yang ditulis dari standarstandar best practice, termasuk bagaimana mengambil stand of view di saat memulai kerja penulisan berita.

Hal lain yang mesti diperhatikan, pemberitaan yang berperpspektif selain harus memerhatikan pilihan atas penggunaan bahasa, juga harus dibangun atas niatniat humanis di dalamnya. Termasuk di antaranya pemberitaan yang dibuat mesti informatif, edukatif, dan akurat.

Tentu pengalaman penulisan semacam ini, harus bertumpu kepada kode etik jurnalisme yang menjadi ramburambunya. Jika hal ini diabaikan, maka barang tentu apa yang diungkapkan di atas, termasuk media sebagai pelaku kedua kekerasan, menjadi makanan seharihari pembaca berita.

Terakhir, mesti diketahui, kekuatan modal yang banyak mendeterminasi keberpihakan penulisan berita, adalah persoalan klasik yang masih terus menyusupi praktikpratik pemberitaan selama ini. Akibatnya, banyak ditemukan pemberitaanpemberitaan yang tidak peka terhadap isuisu kekerasan perempuan dan anak yang lebih banyak disebabkan kebijakan redaksi yang terus dibayangbayangi kebijakan yang jauh lebih besar di atasnya.

Itu sebab, ketika kejadian di atas masih menjadi persoalan internal antara pekerja berita dengan pengambil kebijakan di dalam industri media, mesti ada suatu model penulisan berita independen baik secara institusional maupun pribadi yang leluasa mengabdikan diri kepada isuisu yang mendeskreditkan perempuan dan anakanak.
  
Dalam konteks kasus inilah, model pemberitaan citizen journalism harus mengambil peran, termasuk model penulisan blogger yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber daya baru dalam mengantisipasi persoalan di atas.

*Saduran dari diskusi hari pertama Pelatihan Jurnalistik LBH Apik Makassar dan OXFAM, "Membangun Perspektif Perempuan dan Anak dalam Pemberitaan"

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...