Langsung ke konten utama

catatan kelas menulis PI pekan 24

Sesuatu yang mengejutkan. Di pekan ke-24, kelas menulis PI sedang kedatangan enam peserta baru. Lima orang yang, entahlah, belum diketahui apakah mereka memang ingin menggeliati tulis-menulis, ataukah hanya sekadar nongkrong sambil kongkow bersama teman-teman di kelas literasi PI, ataukah coba-coba lihat situasi dulu. Soalnya, dari enam orang itu, hanya satu orang yang membawa tulisan— suatu petanda niatannya untuk mengikuti pembelajaran di kelas.

Tapi kelas literasi Pi sudah selalu kedatangan tamu semacam itu. Ada yang akhirnya bertahan, dan ada yang akhirnya hanya menampakkan batang hidungnya sekali-dua kali belaka. Itu tak masalah. Kelas literasi PI memang bukan ruang di mana orang-orang dipaksa belajar. Bukan seperti itu. Kelas literasi PI hanya membuka ruang belajar mendalami perihal tulis menulis. Selebihnya, pilihan masing-masing. Sukur-sukur mereka mau nimbrung belajar di tempat ini. Artinya ada suatu semangat yang mereka bawa. Suatu gairah belajar yang jarang dimiliki oleh orang banyak.

Ya, kelas menulis PI memang dibuka untuk siapa saja yang mau belajar. Apakah mau belajar menulis, atau hanya mau mendengarkan diskursus yang muncrat di mulut para peserta kelas. Bahkan jin kapere’, genderuwo, parakang, atau babi ngepet sekalipun bisa ikut di kelas menulis PI, sejauh niatannya mau bertobat dan belajar menulis.

Dari enam orang itu, lima di antaranya mahasiswa, dan satu di antaranya tukang bentor (untuk sementara bahasa yang kugunakan seperti itu). Eitss...,tapi, jangan asal ngomong dulu! Ini orang bukan tukang bentor biasa. Dia pembaca buku yang giat. Rajin membeli buku. Dan, Kecerdasannya memang sangat terlihat saat dia mulai berbicara banyak hal di kelas PI. Mulai dari agama, sampai perdebatan klasik antara pendukung teori heliosentris dan geosentris.Jago toh? dan, untuk enam orang itu, selamat datang di kelas PI.

***

Seperti biasa, Muhajir M.A, sosok yang cerdas dan ganteng yang kata orang mirip Ariel itu, membuka kelas menulis PI dengan ucapan pembuka yang bertele-tele. Ishak Boufakar memulai membahas tulisannya. Ia yang ditunjuk pertama. Sebab, cuma ia saja yang baru datang lagi saat sudah begitu lamanya bersemedi dikampungnya.

Ishak membawa tulisan berupa cerita bersambung. Berupa kisah antara ayah dan sang anak. Di mana sang anak memiliki rutinitas yang tak disenangi ayahnya. Sementara Ari membawa dua tulisan. Satunya berupa opini, atau, bisa juga dibilangkan sebagai suatu diskursus, yang satunya berupa esai. Seperti kecenderungan Ari yang biasanya, muatan tulisannya berupa kritik-kritik sosial yang cenderung provokatif. Dan satunya lagi, tulisan berupa cerpen dari peserta baru, Ilyas Ibrahim Husain.

Di antara para peserta, hanya empat orang yang membawa tulisan. Mudah-mudahan minggu depan setiap orang sudah membawa tulisannya masing-masing. Agar kelas literasi PI semakin ribut. Karena pastinya, kita merindukan kelas yang gaduh itu. Sekian dan terima kasih.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...