Di
bulan Ramadan nanti, sesiapa pun umat muslim harus menjaga hati, lisan, dan
perbuatannya. Ini adalah tuntutan agama. Puasa, ritual yang digelar penuh
selama sebulan itu memang bermaksud sebagai momen penyucian.
Dari
situ manusia diharapkan mengambil suatu kesadaran baru, bahwa yang namanya jiwa
perlu dibebaskan dari seluruh sampah yang menghambat perkembangannya. Tuhan
tahu, mahluk kecil bernama manusia itu butuh surga kecil, butuh jedah, suatu
masa waktu segala niat dan sikap harus dibersihkan ulang dan
dilipatgandakan rewardnya. Dan puasa adalah medianya.
Puasa
jika itu cara agar manusia hatihati, juga harus bekerja dari cara manusia
berkomunikasi. Apalagi di masa sekarang tak semua informasi yang dikonsumsi
adalah bahan obrolan yang bersih. Kadang akibat motifmotif tertentu suatu
informasi malah hanya berisi rasa sentimen dan kecurigaan berlebihan terhadap
sesuatu, juga tidak sedikit dari informasi yang lahir dengan cara itu tak lebih
dari kebohongan belaka.
Ditinjau
dari massifnya informasi yang beredar, bisa dibilang informasi yang berisi
kebohongan malah jauh lebih banyak dikonsumsi orangorang dari pada informasi
yang benar. Di sini bukan malah amal jariah yang terjadi, justru dosa jariah.
Makanya,
bagi seorang yang sering menyebarkan informasi lewat tulisan punya sedikit
tantangan lebih besar dibanding orangorang. Seorang penulis di kasus ini,
selain tubuh dan jiwanya yang harus berpuasa, juga harus lebih berhatihati
dalam menyatakan pikirannya. Bagi seorang penulis, tulisannya harus sedikit
diperhatikan. Adakah tulisannya bukan issu semata? bukan gonjangganjing belaka?
Atau kebohongan itu sendiri? Syahdan apapun informasinya seorang penulis juga
harus meramadhankan buah pikir karya tulisnya. Tulisannya juga harus berpuasa.
Lalu
bagaimanakah tulisan yang berpuasa itu? Pertama, caranya tentu harus dimulai
dari bacaan yang harus seselektif mungkin. Yang pertama ini lumayan susahsusah
gampang, soalnya tidak semua bacaan itu bersih dari kontenkonten vulgar.
Apalagi bacaan terutama sastra, tidak sedikit prosaprosa mutakhir malah
mengeksplore tema seksualitas sebagai pabrik wacananya. Bahkan di dalamnya
kadang digambarkan suatu peristiwa yang “anehaneh” soal persetubuhan dua mahluk
biologis.
Walaupun
itu bisa dimaknai sebagai metafora, namun tetap saja bacaan demikian selalu
mengambil reka peristiwa yang melibatkan tubuh manusia sebagai medium
pemaknaannya. Di titik ini kadang dua lapis pemaknaan berlaku sekaligus: makna
harfiah dan metaforis. Jika kesadaran itu bersifat transfiguratif, maka itu
malah akan membuat sang pengimajinasi bisa “liar” menggambarkan peristiwa yang
dimaksud. Dari pada itu terjadi, maka lebih baik bacaan demikian harus ditunda
sementara. Puasa bukan saja soal tubuh dan sikap, tapi juga imajinasi.
Kedua
soal motif. Seorang penulis bisa melahirkan beragam motif di balik proses
kreatif tulisannya. Kadang waham kebesaran adalah motif yang kuat yang
sering kali mendorong seorang penulis menuliskan karyanya. Motif ini juga kerap
hadir bersamaan dengan motif kepahlawanan.
Dua
motif ini walaupun agak berbeda tapi memiliki tujuan yang sama, yakni dari
tulisan yang dibuatnya bisa mendatangkan citra kebesaran. Dari kacamata
sufistik, motif ini disebut bisa mendatangkan riya’. Tentu tulisan yang riya’
adalah tulisan yang tak berharga apaapa selain makna kesombongan itu sendiri.
Di saat puasa dengan tulisan macam demikian tentu akan mengurangi pahala dari
ibadah yang sedang dijalankan. Makanya, karena itu, berhatilahhatilah membangun
motif dibalik tulisan Anda. Niatkanlah hanya untuk ibadah semata.
Informasi
yang baik adalah kabar yang menyertakan fakta. Dengan kata lain apa yang
disampaikan merupakan apa yang terjadi itu sendiri. Itulah sebabnya kebenaran
begitu krusial dalam konteks pekerja informasi. Bahkan kebenaran adalah sentral
yang harus ada dalam setiap pengetahuan yang ingin disampaikan.
Bagi
seorang sastrawan, yang kadang menulis dengan bentukbentuk kebenaran yang
disamarkan barangkali bisa berkelit soal informasi yang ditulisnya. Seorang
sastrawan memang punya semacam kekuasaan dalam memberlakukan informasi agar
terkesan ambigu.
Tapi,
bagi orangorang semisal wartawan, atau orangorang yang sering menyampaikan
kebenaran lewat artikel, kebenaran adalah kebenaran. Tak peduli informasi apa
yang sampaikannya selain itu memang pengetahuan yang berbasis kenyataan atau
akal sehat. Yang terakhir ini malah penting dalam konteks kiwari di mana banyak
informasi hoax yang kerap beredar. Dengan kata lain, tulisan yang diramadankan
adalah karya yang ditulis atas asas kejujuran.
Tulisan semacam ini seringkali
ditemukan dari situssitus berbasis keagamaan dan kesukuan yang menghujani
pembacanya dengan informasiinformasi yang tidak bertanggung jawab. Padahal jika
suatu karya berita ditulis berdasarkan kaidah jurnalisme, maka hampir sebagian
besar informasi yang disebut ini adalah berita yang tidak memiliki sumber yang
valid.
Mudahmudahan
tulisan ini bukan termasuk ke dalam golongan yang sudah disebutkan sebelumnya.
Jika seperti itu kejadiannya, maka Anda hanya membaca kesombongan dan
kesiasiaan belaka. Tak lebih tak kurang.