Pertemuan kali ini tanpa melibatkan
karya tulis siapa pun. Kali ini KLPI bukan mau menjalankan rutin soal kritik
karya tulis. Pun juga tidak ada soal karya yang dibacakan. Dengan kata lain dua
mekanisme KLPI seperti biasa dilakukan ditangguhkan.
Pertemuan kali ini kawankawan hanya mau
datang akibat ajakan untuk mendengar pengalaman dari seorang yang sudah akrab:
Alto Makmuralto. Kawankawan dipanggil atas undangan sebelumnya yang mau menyoal
suatu tema: “Literasi dan Aksi: Literasi sebagai Aktivisme”. Dan Alto
Makmuralto, penulis yang sudah dikenal itu sebagai pembicara tamunya.
Sebenarnya ide ini sudah bergulir di
dua pekan sebelumnya. Namun akibat suatu hal, baru pekan 19 rencana ini
terealisasi.
Seperti biasa kelas bukan lagi ruang
yang ramai. Kali ini hanya ada beberapa muka yang sudah dihapal betul. Juga
ditambah dua muka baru. Yang terakhir ini belum jelas betul apa motivasinya
terlibat, tapi ada dugaan nama Alto Makmuralto yang jadi magnetnya. Jika
ditotal KLPI pekan 19 hanya diisi 8 orang, plus pembicara tamu maka berjumlah 9
orang.
Kelas dimulai pukul dua. Di siang yang
agak menyengat pembicaraan tidak langsung menjurus ke soal tema. Seperti
laiknya persamuhan komunitas, unsur nonformal lebih dominan menjadi bahan
obrolan.
Kali ini MIWF kemarin jadi tema pembuka
pembicaraan. Terutama terkait sehalaman Kompas yang menurunkan berita acara
tahunan itu. Dari situ akhirnya obrolan pelanpelan masuk ke halhal yang
bersangkupaut dengan literasi. Mulai dari kelompokkelompok penulis sampai soal kubukubu
sastrawan. Dari emerging writers sampai penulis bloger.
Hingga akhirnya tanpa mesti diabaaba
forum dirasa mesti dibuka secara formal. Muhajir, yang sering didapuk jadi
moderator mulai angkat bicara. Tak lama Alto Makmuralto ambil giliran.
Penulis novel Sekuntum Peluru ini
membuka pembicaraan dengan isuisu yang pernah aktual di tahuntahun 1960, soal
pertentangan mazhab sastra. Dari situ Alto, begitu nama akrabnya, mengambil
konteks bahwa literasi sebagai aksi bisa terkait langsung dengan selera seorang
penulis. Terkait dengan pilihan ideologis, literasi bisa mengandung beragam
polemik, apakah menulis hanya soal ekspresi kebebasan atau jauh melibatkan diri
kepada komitmen perubahan.
Dua perspektif ini disebutnya
pernah nampak menjadi perdebatan dan mempengaruhi jalannya kesusastraan
Indonesia. Akibatnya, menulis dikatakannya bisa hanya soal selera atau ada
sangkutpautnya dengan isuisu politik.
Alto juga menyinggung ihwal wacana
sastra kontekstual. Yang ini adalah suatu pemikiran yang pernah dipopulerkan
Ariel Heryanto dan Arief Budiman di seputar tahun 80an. Awalnya
perdebatan Sastra Kontekstual meneruskan tradisi kritisisme sebagai respon
terhadap pandangan Sastra Humanisme Universal yang mengandaikan sastra adalah
suatu upaya yang lahir dari nilainilai yang akrab di seputar sastrawan.
Berbeda dengan pandangan Sastra
Universal, Sastra Kontekstual lebih menekankan kemungkinankemungkinan yang tak
teramati dari kecenderungan anutan sastra universal yang identik dengan selera
kelas menengah terdidik. Dengan kata lain, Sastra Kontekstual menginginkan
bahwasannya sastra harus mampu terserap bukan saja buat segelintir orangorang
terdidik, melainkan bagi masyarakat yang jauh lebih luas.
Perdebatan akademis ini sesungguhnya
sedikit banyak pernah jadi problem di KLPI beberapa bulan yang lalu. Bahkan
saat itu pembicaraan sedikit menyampir kasus sastrawan Saut Situmorang yang
dilaporkan Fatin Hamama akibat pelecehan nama baik.
Namun, saat itu ada dua pandangan umum
soal bagaimanakah suatu karya harus dipahami, apakah suatu karya sastra seperti
posisi ilmuilmu sosial yang notabene berfungsi sebagai cerminan realitas
sosialnya, ataukah sastra memiliki cara yang lain ketika hendak menyuarakan
aspirasinya, di mana dalam konteks ini sastra adalah karya yang bisa saja tidak
terikat sama sekali dari keadaan sosio-historis masyarakat tertentu.
Pandangan pertama akan menempatkan
sastra sebagai bagian ilmuilmu yang rasional dan kaku, sementara kecenderungan
kedua akan membuat sastra seperti induknya itu sendiri yakni dia adalah seni
atas sesuatu.
Resiko sastra yang bernuansa kritis,
dalam sejarah kebangsaan adalah penarikan peredarannya dari ruang publik.
Sastra seperti yang pernah diprakarsai oleh Pramoedya Ananta Toer adalah salah
satu contoh ketika pemerintah menganggap sastra dapat berimplikasi terhadap
keberlangsungan keamanan negara. Jenis sastra yang terlalu kritis dianggap
sebagai suatu upaya pembangkangan dan subversif, maka di mata rezim model
sastra demikian adalah barang yang mesti dijauhkan dari kesadaran masyarakat.
Dalam konteks prosa, Alto menyebut
misalnya Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis dengan disertai latar peristiwa
kelam 65. Novel yang ditulis Ahmad Tohari ini disebutnya adalah bagaimana suatu
cerita prosa bisa diselipkan suatu kejadian sejarah yang dekat dengan konteks
kehidupan masyarakat.
Kadang sebut Alto, sastra bisa menjadi
kritik yang dijalankan dari aspekaspeknya yang metaforis. Walaupun di
satu sisi sifat metaforis yang sering kali membuat bahasa jadi bersayap
menyebabkan orang yang membaca tidak mampu menangkap maksud yang sebenarnya
diharapkan penulis. Karena itulah kadang jika ada kritik yang mengisi suatu
karya sastra tidak dapat banyak diketahui oleh orangorang yang membacanya.
Di akhir pembicaraannya Alto
menyatakan bahwa kadang pengetahuan atas perkembangan sastra tidak diikuti
dengan pengetahuan yang memadai tentang sastra itu sendiri. Hal ini kerap
terjadi dari salah tafsir atas sejumlah karya sastra yang dianggap menyeleweng
dari pemahaman sastra yang normatif diketahui pemerintah. Akibatnya, atas
sejumlah karya sastra yang dianggap memiliki potensi krirtisisme diberlakukan
sejumlah tindakan yang melarang karya yang bersangkutan beredar di masyarakat.
Dari perspektif kebudayaan, sikap yang
kontra produktif semisal pelarangan atas pemikiran yang disandingkan dalam
karya sastra disebutkan oleh Alto sebagai tindakan yang mengkerdilkan kesadaran
masyarakat itu sendiri.
***
Yang paling membahagiakan dari KLPI
jika ada karya kawankawan yang dimuat di media cetak. Ini merupakan salah satu
tolok ukur bahwa terjadi dinamika dan kemajuan atas targettarget yang selama
ini dipegang. Terakhir karya kawankawan KLPI yang terbit adalah tulisan Nur
Afiah Hasbullah soal pendidikan yang dimuat di harian Fajar tertanggal Senin 23
Mei kemarin.
Tulisan Vivi dapat kawankawan baca di
blog mahasiswi yang senang dengan tematema orangorang difabel ini. Begitu pula
ada liputan yang diturunkan di harian yang sama tentang Kelas Parenting dan
KLPI itu sendiri tertanggal 30 Mei 2016. Liputan yang menyoal dua program di
Paradigma Institute itu mengambil sudut pandangnya dari sosok yang selama ini
kawankawan kenal sebagai orang yang senantiasa memotivasi pembaca lewat
tulisantulisan parentingnya: Mauliah Mulkin.
Tentu dua pencapaian di
akhir Mei ini akan terus berlanjut di bulanbulan selanjutnya. Setidaknya buat
kawankawan di KLPI.