catatan kelas menulis PI, pekan 16

“Saya merasa kemampuan menulisku tidak berkembang,” ucap Jusna sambil memperlihatkan mukanya yang memelas. Di kelas, Jusna membawa tulisan tentang perempuan. Tema yang selama ini dia lakoni. Dari tulisannya itu, dia menemukan suatu pemahaman bahwa dia sulit membuat tulisannya menukik kepada soalsoal konkrit. Keluhnya, selama ini dia merasa tulisannya hanya mampu menyasar kepada soalsoal yang umum tentang perempuan. Dia merasa yang umum terlampau sering ia tuliskan. Jusna bilang, dia perlu sudut pandang baru. Dia ingin tulisannya tidak seperti biasanya, tulisannya yang generalis.

Problem Jusna hakikatnya adalah masalah kolektif. Yang ia alami sesungguhnya, kalau tidak salah terka adalah pasal yang sering kali bikin kawankawan kelimpungan. Bagaimana menulis dengan tema yang sama tapi punya kebaruan di dalamnya? Bagaimana mendeskripsikan suatu soal yang sering kali umum tapi ingin menunjukkan sudut pandang yang berlainan? Atau bagaimana mengolah tematema general menjadi tematema khusus? Di forum saat itu, jawabannya (walaupun ini tidak defenitif) adalah perbanyak sumber informasi.

Informasi yang variatif dengan sendirinya akan membuat tulisan kaya alur. Ibarat aliran sungai, informasi yang banyak akan mempermudah penulis membuat cabangcabang baru dalam tulisannya. Dengan begitu, tulisan akhirnya akan menukik masuk meninggalkan aliran sungai besar yang umum orang lewati. Hanya informasi yang banyak sekaligus detaillah yang akan membuat penulis bisa membuat percabangan aliran baru yang tak banyak diketahui orang. Aliran sungai baru, yang kecilkecil inilah yang dengan sendirinya bakal memberikan kekuatan pada tulisan dengan peristiwa-peristiwa yang detail sekaligus spesifik.

Lantas bagaimanakah cara memperbanyak sumber informasi? Tidak ada cara lain dengan tanpa melakukan riset. Setiap penulis pasti punya cara risetnya masingmasing sebagai modal utama menulis. Tanpa riset tulisan bakal mentok dari informasi yang tak bisa dikelola lagi. Hanya dengan risetlah penulis mampu menemukan halhal baru yang selama ini tersembunyi entah di sudut mana. Akibatnya, dengan cara itu, informasi yang selama ini tak sempat diketahui akhirnya dimungkinkan dapat diketahui. Artinya, risetlah yang menjadi jembatan antara kertas kosong dan beragam informasi yang berada di balik mata seorang penulis.

Riset bisa dilakukan dengan banyak cara. Mulai dari memperkaya bacaan, studi lapangan, wawancara, atau berdiskusi. Bahkan duduk diam mengamati suatu peristiwa dengan pengamatan ganjil juga merupakan riset. Atau ketika anda mimpi tentang suatu peristiwa, itupun juga merupakan riset yang bisa jadi informasi berharga kala Anda ingin membuat dongeng atau cerpen. Singkatnya, riset bisa apa saja. Bisa terjadi di mana saja Anda berada.

Tulisan disebut tulisan karena dia ditulis. Ini yang membedakannya dengan karya intelektual lain. Karya intelektual lain boleh saja hanya merupakan rekaman atau penampakan suatu peristiwa, tapi kekuatan tulisan terletak ketika gagasan sudah teraktuil di atas kertas kosong. Akan nampak suatu karya tulis jika ucapan verbal dan pikiran imajinatif sudah nyata tertera melalui aksara. Itulah mengapa satusatunya jalan untuk menulis ya harus menulis. Kata laporan di suatu media massa, menulis itu bukan teori melainkan perilaku. Bukan ucapan melainkan tindakan.

Setidaknya prinsip inilah yang dipegang kawankawan di KLPI. Jalan literasi hanya satu, yakni menulis. Jadi di sini tidak berlaku bunyi pepatah itu: “banyak jalan menuju Roma.”

***

Andi hanya duduk mengamati tiap kejadian di dalam kelas. Seakanakan setiap kejadian adalah data berharga baginya. Biar bagaimanapun ini adalah hari pertamanya terlibat. Itulah sebabnya dia butuh banyak input informasi soal lingkungan baru yang dihadapinya. Ini penting untuk membandingkan ucapan yang didengar dari seniornya dengan kejadian yang sebenarnya terjadi. Keakuratan informasi itu penting, begitu barangkali batinnya. Seiring dengan itu ekor matanya diarahkan di setiap sudut ruangan yang penuh buku itu. Sepertinya ada yang ingin ditangkap dari bulatan matanya, tapi entah apa. Bukubuku yang banyak itu membuatnya bingung.

Tak jauh dari Andi duduk dua perempuan sembari membungkukbungkuk. Akibatnya hanya bayangan hitam saja yang tertangkap dari sudut tempat Andi duduk. Tak jelas bagaimana rupa dua perempuan itu. Nampak mereka berdua sedang menekuri bacaan entah apa. Andi memicingkan matanya, dari sudut jauh di tangan dua perempuan itu dia berhasil membaca satu kalimat tunggal: Kala.

“Tabe Andi, ini selebaran Kala. Buletinnya anakanak di sini.” Sodor pemuda yang menemaninya sejak pertama tiba.

“Iye.”

“Sambil menunggu, sambil dibaca.” Timpal pemuda berkaos hitam itu.

Andi membolakbalik selebaran Kala di tangannya. Di bacanya dari halaman belakang. Di situ dia berhenti; “Pembebasan dan Isra’ Mi’raj.” Lama dia berdiam. Waktu terus berjalan. Kala, selebaran yang diarsir warna biru itu dibacanya.

Tak lama selang waktu, seorang pemuda tetiba menyosor masuk ke dalam kelas. Dia, seperti mencarisesuatu di antara bukubuku yang dipajang di sepanjang rak yang menjadi dinding kelas. Tangannya melayanglayang di sekitar pagina seperti sedang ingin menggenggam sesuatu. Tak ada yang kenal pemuda itu.

“Tabe, tidak dijual itu buku. Di sebelahki. Kalau di sini koleksi pribadi.”  Teriak Hajrah. Sontak membuat pria itu kaget.

“Iye, di sini bukubuku pribadi. Kalau buku yang dijual di ruangan depan.” Jusna memberikan informasi.

Pria itu kebingungan. Ia salah melangkahkan kaki. Tanpa dia sadari dia telah masuk ke dalam kelas yang terhubung dengan toko buku.

“Oh iya,” sembari melempar senyum berjalan menuju keluar kelas. Melihat gelagatnya yang salah kaprah, sontak kami berempat tertawa. Tak terkecuali Andi yang sedari tadi seperti kehilangan suaranya.

***

Kali ini kelas dibuka bersamaan dengan bunyi azan. Kirakira pukul tiga lewat. Harus diakui kelas molor. Tapi itu bukan soal utama, sebab biar bagaimanapun kelas harus terus berjalan. Yang utama, jika evaluasi yang pertama diajukan, maka itu adalah intensitas kehadiran kawankawan memang agak kendor. Sudah hampir tiga empat pertemuan belakangan beberapa kawankawan jarang melibatkan diri. Soal ini bukan perkara mekanisme, melainkan individual. Asumsi yang mampu menjawab perkara ini barangkali karena semangat kawankawan sedang  terganggu. Sebabnya macammacam. Mungkin memang sedang minim motivasi.

Evaluasi yang kedua adalah soal ketepatan waktu. Semenjak KLPI sesi dua dibuka, soal waktu memang mengalami perubahan drastis. Jika kelas angkatan pertama sering dibuka jelang pukul empat sore, maka di angkatan kedua kelas dimulai pukul satu siang. Perubahan ini diajukan sebagai respon balik atas mekanisme forum yang berubah. Karena membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk sesi penggeledahan karya tulis, akhirnya kelas dimajukan sampai pukul satu. Yang kedua, pertimbangan ini diambil karena bertambahnya jumlah peserta KLPI kala itu. Namun, seiring kelas dibuka tiap minggu, banyak yang akhirnya kurang disiplin soal waktu.

Kelas yang sering kali molor belakangan ini kalau mau ditelisik sebenarnya dipengaruhi suasana kelas itu sendiri. Ini ada hubungannya dengan berkurangnya keterlibatan kawankawan yang berimbas kepada banyaknya waktu lowong yang dipunyai kelas selama  masa penyelenggaraan. Akibat minimnya kawankawan yang jarang terlibat, maka jalan pikirnya adalah tidak ada salahnya jika kelas dimulai di waktu sore. Dengan kata lain, tidak jadi soal kelas dimulai di waktu belakangan sebab tidak akan butuh banyak waktu buat kawankawan yang tidak seluruhnya datang.

Suasana yang moderat macam itu akibatnya merembes kepada suasana kelas yang pelanpelan melempem.  Secara psikologis efek dari melempemnya kelas mau tak mau berdampak langsung terhadap turunnya titik didih mentalitas sebagian kawankawan yang terlibat. Setidaknya karena itu ada dua dampak yang dilahirkan dari suasana kelas yang demikian.

Pertama, semangat literasi kawankawan yang menurun. Indikatornya adalah daya tulis kawankawan yang jalan di tempat. Bahkan akibat turunnya daya tulis, ada beberapa kawankawan yang sulit membuat atau memulai ideidenya bisa terhampar di atas kertas. Selanjutnya, kehadirannya di kelas hanya membawa tulisantulisan yang sudah lama bersemayam di pustaka folder perangkat ketik demi menutupi keharusan membawa karya tulis yang selama ini menjadi kebiasaan.

Tradisi selama ini di KLPI, setiap kawankawan punya medan waktu yang cukup selama sepekan buat membawa tulisan yang fresh di tiap pertemuan. Ini sebenarnya bukan aturan wajib. Selama ini kewajibannya hanya satu, yakni yang terlibat diharuskan membawa segala jenis tulisan agar bisa dipresentasekan. Jadi tidak ada anjuran apakah karya tulis harus memuat unsurunsur kebaruan atau karya tulis itu sendiri yang harus baru. Hanya saja ada semacam gengsi yang berkibarkibar jika tulisan yang dibawa adalah karya tulis yang belum kering betul tintanya. Selain itu, tulisan yang terbarukan setiap akhir pekannya adalah ukuran maju tidaknya kemampuan menulis kawankawan. Itulah sebabnya, tulisan yang betulbetul memuat hal baru adalah suatu prestasi yang sering membuat penulisnya patut diacungi jempol.

Persoalan ini pada akhirnya membuat suatu alur terusan kepada masalah yang kedua, yakni mandegnya gagasan. Ihwal gagasan adalah hal yang imanen dalam tindakan menulis. Artinya, tanpa gagasan maka mustahil melahirkan karya tulis. Kemungkinan ini hanya bisa dimulai jika seorang penulis mampu membuka peluang hadirnya ideide baru dengan berbagai macam cara. Salah satu caranya adalah intens bersentuhan dengan segala macam literatur. Cara ini adalah cara yang paling mudah dibentuk jika kawankawan setia dengan bacaanbacaan tertentu. Dengan mekanisme ini, horison kawankawan akan dengan sendirinya mengalami pememuaian seiring luasnya cakrawala bacaan. Dengan begitu, betapapun sederhananya bacaan kawankawan, pasti akan memungkinkan lahirnya ide sebagai modal dasar jika mau dibuat tulisan.

Cara yang lain adalah mekanisme yang kerap dipakai filsuffilsuf; bermenung. Yang kedua ini hanya bisa dimulai dengan maksud melihat setiap kenyataandari dari sudut yang ganjil.  Kenyataan yang dipandang ganjil akan membuka sudut pandang berbeda dari pandangan orang kebanyakan. Sudut pandang yang ganjil dengan melibatkan penghayatan itulah yang dimaksudkan bermenung. Artinya, tulisan hanya bisa direalisasi karena ditunjang dengan penghayatan atas peristiwa yang dilihat dari “mata” yang ganjil. Itulah mengapa setiap filsuf punya segala pemikiran yang minor sekaligus anti mainstream di kala menghampar pemikirannya di hadapan khalayak. Kata orang, setiap penulis mirip cara berbikir filsuf; melihat kompleksitas segala soal di balik perkara yang sederhana.

Selain itu, ide menulis bisa ditemukan dari gagasangagasan yang dieksperimentasikan. Ekperimen gagasan ini sering kali diwujudkan dengan cara membangun ikatan diskursif dengan kelompokkelompok diskusi. Maksudnya, setiap gagasan yang dipunyai akan semakin tajam jika dielaborasi melalui medan diskusi. Di sini, dengan cara berdiskusi, gagasan yang kadang masih setengah matang akan menemukan penajaman lewat tukar pikiran antara beberapa orang yang terlibat diskusi. Bahkan bukan saja penajaman, melainkan justru akan menuntun kita menemukan gagasangagasan baru yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Sederhananya jika mau dibuatkan bahasa imperatifnya maka akan  menjadi; “makanya diskusiko!!!”

Bahan evalauasi yang kedua adalah ihwal iuran peserta. Selama ini kesepekatan kelas yang bertujuan buat menopang keberlangsungan kelas jadi madat. Perhatian terhadap iuran kelas memang belum  maksimal. Selama ini di setiap pertemuan diharuskan menyumbang dana taktis sebesar lima ribu rupiah. Awalawal diterapkan kebijakan ini berjalan sebagaimana diharapkan, namun seiring derajat perhatian yang makin menurun membuat aturan ini sedikitsedikit diabaikan. Padahal tujuan kebijakan ini mau membikin kebutuhan kelas jadi terpenuhi. Setidaknya soal logistik kawankawan. Dan, tentu buat selebaran Kala yang tiap akhir pekan harus naik cetak.

Yang ketiga, ini juga penting; pertofolio. Kaitannya dengan KLPI, pertofolio adalah arsip pribadi yang harus dipenuhi setiap peserta kelas literasi. Keberadaan pertofolio ini sebagaimana tujuannya adalah tempat karya tulis kawankawan disimpan. Kegunaan jangka panjangnya sebenarnya buat bahan penilaian yang akan dievaluasi di momenmomen tertentu. Dari terkumpulnya karya tulis kawankawan, maka dari situ akan nampak secara kuantitatif maupun kualitatif kemajuan kawankawan. Berkembang tidaknya teknik menulis kawankawan hanya bisa dinilai dari kumpulan karya tulis yang dikumpulkan satu persatu di tiap akhir pekannya. Juga, dari aktifitas macam begituan, kawankawan dilatih menjadi pustakawan yang mengarsip secara mandiri karya tulisnya masingmasing. Sehingga dengan begitu, selain dilatih menjadi penulis, secara tidak langsung peserta KLPI diajarkan menjadi seorang pustakawan. Yang terakhir inilah, adalah kerja tahuntahunan seorang Sulhan Yusuf dan Mauliah Mulkin, dua sosok yang  selama ini terus banyak menyuport kawankawan di Paradigma  institute.

***

KLPI masih lenggang. Siang itu belum ada tandatanda kelas bakal dimulai. Halaman depan Paradigma Institute hanya didiami satu orang lelaki. Kala itu sekitar pukul satu siang. Dia duduk menggerayangi gawainya. Tak jelas apa yang dipikirkannya bersaamaan saat matahari mulai tergelincir, dia masih duduk seorang diri tepat di samping tas ransel hitamnya.

Berjamjam dia menunggu ketidakpastian. Yang dia tahu, tempat yang dia datangi bukan tempat yang salah. Sesuai informasi dari seniornya, Minggu ini, di tempat yang di jambangi pertama kalinya adalah tempat yang kerap membuka kelas literasi. Tapi, dari bilik panjang ruangan yang ia lihat justru berkata lain. Ekor matanya hanya menangkap rakrak buku dan ruangan yang melompong kosong. Di ujung belakang, matanya yang lurus menangkap pintu yang dibuka lebar. Anginangin masuk, tapi belum ada tandatanda kelas seperti yang diceritakan kepadanya.

Jika orangorang cepat bosan, suasana yang meliputi lakilaki ini adalah salah satu sebab kebosanan. Menunggu memang bikin hati jadi runyam. Biar dunia ini pasti bakal berakhir, tapi menanti dengan ketidakpastian membuat dunia seperti bangku yang ditumbuhi onak. Duduk jadi tidak nyaman. Segala macam gaya duduk bakal dicoba. Dunia tibatiba menjadi suatu keberadaan yang berubah drastis karena hanya soal duduk yang sedikitsedikit berubah. Kadang memangku kaki, semenit kemudian pantat diputar bikin kaki lebih nyaman akibat keram. Tak lama pantat digeser lebih ke dalam biar dapat landasan yang lebih lebar karena dingin tembok yang bikin sejuk ujung pinggul akibat panas yang mulai menggerogoti. Kalau sudah begini, otototot bokong bakal jadi lebih fresh. Intinya, akibat ketidakpastian duduk saja mesti harus banyak tingkah.

Tapi untung dunia berhasil menemukan alat canggih itu. Gawai yang sedikitsedikit dipelototinya membikin suasana sedikit terhibur. Dari layar kecil itu lakilaki ini bisa melintas dunia macammacam. Dia bisa sedikitsedikit mengintip statusstatus di facebook, lihatlihat fotofoto menarik temantemannya, atau membalas komentar status yang dibuatnya. Beberapa lama dia juga bisa googling halhal yang terlintas tibatiba dibenaknya, mungkin soal katakata yang tak dipahaminya yang diingat dari suatu buku yang tak sengaja dibacanya;  istilah ilmiah  yang baru saja dia dengar dari dosennya yang baru saja pulang pelesiran dari luar negeri; atau sedang bebas mencari bahanbahan untuk mempersiapkan tugas kuliahnya yang malas dikerjakannya. Singkatnya, dari layar kecil gadgetnya itu, lakilaki sekira 25 tahun ini  bisa melakukan apa saja.

Sesekali dia mengulangulangi lagi menengok gawainya hanya untuk memastikan waktu. Juga, setelah itu otomatis matanya dilempar begitu saja di tiap penjuru untuk menemukan sesuatu yang tak ia ketahui apa. Dibenaknya, dia hanya memastikan jika di pukul satu seperti kabar yang dia dapat dari seniornya kelas menulis di tempat ini sudah dimulai. Tapi sepertinya keadaan masih terus sama, tak ada tandatanda orang yang datang. Satusatunya barangkali yang ia temui adalah perempuan yang muncul dari dalam pintu di sebelah meja yang ditumpuki bukubuku.

Keyakinannya barangkali hampir saja punah seperti tumpukan gunung pasir yang dibuat bocahbocah kala bermain di bibir pantai akibat disapu ombak jika seorang lakilaki tibatiba tidak muncul begitu saja tanpa ia sangkasangka. Lakilaki itu begitu saja menyosor masuk memarkir motornya di bawah pohon bunga kertas, bungabunga berdaun merah yang dari tadi ia lihat ditiup angin. Tapi tak jelas apakah lakilaki ini punya niat yang sama soal kelas yang bakal ia ikuti. Ini sama halnya seperti melihat fatamorgana di tengah gurun pasir sepanjang beriburibu depa. Sama saja tidak pasti. Walaupun begitu dia berharap mendapatkan sedikit informasi dari pemuda yang baru saja datang dengan polah yang melempar senyum.

“Mauki ikut kelas literasi,” ucap lakilaki itu memecah udara kosong.

“Iye..,” tangkas Andi. Nama lakilaki yang lama menunggu itu. Suaranya agak pelan dibawa angin.

“Waduh, kayaknya dari tadiki menunggu. Belumpi ada yang datang barangkali.” Lakilaki yang baru datang itu menyorong kepalanya ke dalam ruangan.

“Kalau begitu kita’ tunggutunggumi di’, masih di jalan yang lain itu. Sebentar lagi datang” lakilaki itu meyakinkan.

Andi hanya mengiyakan, dia duduk kembali pasca berdiri seperti jika ada tamu datang. Tak lama lakilaki yang baru datang itu membuka percakapan. Andi yang sedari tadi menunggu akhirnya mendapatkan kepastian. Dia tak salah tempat. Ini memang seperti yang dikabarkan kepadanya: Kelas Literasi Paradigma Institute.

***

Kelas selama ini menandai kemajuan teknik menulis kawankawan dengan beragam tema yang disorotinya. Soal tema tak ada batasan yang harus dijadikan ukuran. Segalanya bisa menjadi tema. Begitu pula genre tulisan, bisa ilmiah ataupun nonilmiah. Esai atau puisi. Catatan perjalanan atau cerita pendek. Pamflet atau status facebook. Singkatnya apapun itu, selama merupakan karya tulis, dengan sendirinya adalah karya yang selalu diapresiasi di KLPI.

Selain itu, kemajuan karya tulis juga diindikatori oleh minimnya typo dan kesalahan EYD. Yang terakhir ini sejenis jalan suluk kawankawan di PI. Maksudnya, betapapun majunya teknik menulis kawankawan, canggihnya gaya menulis yang sudah jadi ciri, kesalahan EYD merupakan dosa yang tak pernah terhindarkan. Dalam kasus ini, EYD adalah kesalahan yang sering kali jadi dosa turunan.  Sudah takdirnya dia muncul di balik silapnya konsentrasi penulis.

Kasus EYD ini juga yang jadi perhatian pria asal Ambon yang salah masuk kelas itu. Entah dorongan apa yang membuatnya turut nimbrung di kelas kala itu. Nampaknya, sehabis meninggalkan ruangan yang dikiranya masih bagian toko buku, dia urung pergi. Dari ruang sebelah dia mendengar dan melihat aktivitas diskusi yang tak dia sangka sebelumnnya. Berkumpulnya kawankawan PI ini yang membuatnya tertarik ikut di kelas. Tanpa diundang dia pun akhirnya turut duduk bersila di dalam kelas.

“Nama saya Imran. Saya dari Seram, Ambon,” pria berbaju kuning itu membuka identitasnya kala ditanya.

Sejak saat itu Imran seperti sudah biasa mengikuti kelas menulis PI, di tangannya turut menggenggam satu kertas berisi tulisan. Perhatiannya mirip saat pertama kali dia masuk kelas. Seperti mencari sesuatu. Entah apa, tapi seperti kawankawan lainnya, meyakini di setiap tulisan pasti ada kesalahan ejaan yang dititipkan oleh entah siapa di dalam karya tulis. Matanya masih menyisir berpuluhpuluh deret huruf. Pikirannya berkejaran. Pasti ada ejaan yang salah di situ. Pasti.

Imran khusyuk dengan tulisan di tangannya. Sementara kawankawan lain masih menerkanerka, apakah dia masih akan datang di kelas pekan depan? Tak ada yang tahu. Tapi, seperti kedatangannya yang tak didugaduga, KLPI butuh orangorang kayak Imran. Orangorang yang senang terlibat dalam forumforum diskusi. Orang yang melempar senyum tanpa tedeng alingaling tanpa di suruh ikut melibatkan diri duduk bersila dalam suatu lingkaran diskusi. Orangorang yang menyukai budaya literasi. Budaya oranorang tercerahkan.