“Saya
merasa kemampuan menulisku tidak berkembang,” ucap Jusna sambil memperlihatkan
mukanya yang memelas. Di kelas, Jusna membawa tulisan tentang perempuan. Tema
yang selama ini dia lakoni. Dari tulisannya itu, dia menemukan suatu pemahaman
bahwa dia sulit membuat tulisannya menukik kepada soalsoal konkrit. Keluhnya,
selama ini dia merasa tulisannya hanya mampu menyasar kepada soalsoal yang umum
tentang perempuan. Dia merasa yang umum terlampau sering ia tuliskan. Jusna
bilang, dia perlu sudut pandang baru. Dia ingin tulisannya tidak seperti
biasanya, tulisannya yang generalis.
Problem
Jusna hakikatnya adalah masalah kolektif. Yang ia alami sesungguhnya, kalau
tidak salah terka adalah pasal yang sering kali bikin kawankawan kelimpungan.
Bagaimana menulis dengan tema yang sama tapi punya kebaruan di dalamnya?
Bagaimana mendeskripsikan suatu soal yang sering kali umum tapi ingin
menunjukkan sudut pandang yang berlainan? Atau bagaimana mengolah tematema
general menjadi tematema khusus? Di forum saat itu, jawabannya (walaupun ini
tidak defenitif) adalah perbanyak sumber informasi.
Informasi
yang variatif dengan sendirinya akan membuat tulisan kaya alur. Ibarat aliran
sungai, informasi yang banyak akan mempermudah penulis membuat cabangcabang
baru dalam tulisannya. Dengan begitu, tulisan akhirnya akan menukik masuk
meninggalkan aliran sungai besar yang umum orang lewati. Hanya informasi yang
banyak sekaligus detaillah yang akan membuat penulis bisa membuat percabangan
aliran baru yang tak banyak diketahui orang. Aliran sungai baru, yang
kecilkecil inilah yang dengan sendirinya bakal memberikan kekuatan pada tulisan
dengan peristiwa-peristiwa yang detail sekaligus spesifik.
Lantas
bagaimanakah cara memperbanyak sumber informasi? Tidak ada cara lain dengan
tanpa melakukan riset. Setiap penulis pasti punya cara risetnya masingmasing
sebagai modal utama menulis. Tanpa riset tulisan bakal mentok dari informasi
yang tak bisa dikelola lagi. Hanya dengan risetlah penulis mampu menemukan
halhal baru yang selama ini tersembunyi entah di sudut mana. Akibatnya, dengan
cara itu, informasi yang selama ini tak sempat diketahui akhirnya dimungkinkan
dapat diketahui. Artinya, risetlah yang menjadi jembatan antara kertas kosong
dan beragam informasi yang berada di balik mata seorang penulis.
Riset
bisa dilakukan dengan banyak cara. Mulai dari memperkaya bacaan, studi
lapangan, wawancara, atau berdiskusi. Bahkan duduk diam mengamati suatu
peristiwa dengan pengamatan ganjil juga merupakan riset. Atau ketika anda mimpi
tentang suatu peristiwa, itupun juga merupakan riset yang bisa jadi informasi
berharga kala Anda ingin membuat dongeng atau cerpen. Singkatnya, riset bisa
apa saja. Bisa terjadi di mana saja Anda berada.
Tulisan
disebut tulisan karena dia ditulis. Ini yang membedakannya dengan karya
intelektual lain. Karya intelektual lain boleh saja hanya merupakan rekaman
atau penampakan suatu peristiwa, tapi kekuatan tulisan terletak ketika gagasan
sudah teraktuil di atas kertas kosong. Akan nampak suatu karya tulis jika
ucapan verbal dan pikiran imajinatif sudah nyata tertera melalui aksara. Itulah
mengapa satusatunya jalan untuk menulis ya harus menulis. Kata laporan di suatu
media massa, menulis itu bukan teori melainkan perilaku. Bukan ucapan melainkan
tindakan.
Setidaknya
prinsip inilah yang dipegang kawankawan di KLPI. Jalan literasi hanya satu,
yakni menulis. Jadi di sini tidak berlaku bunyi pepatah itu: “banyak jalan
menuju Roma.”
***
Andi
hanya duduk mengamati tiap kejadian di dalam kelas. Seakanakan setiap kejadian
adalah data berharga baginya. Biar bagaimanapun ini adalah hari pertamanya
terlibat. Itulah sebabnya dia butuh banyak input informasi soal lingkungan baru
yang dihadapinya. Ini penting untuk membandingkan ucapan yang didengar dari
seniornya dengan kejadian yang sebenarnya terjadi. Keakuratan informasi itu
penting, begitu barangkali batinnya. Seiring dengan itu ekor matanya diarahkan
di setiap sudut ruangan yang penuh buku itu. Sepertinya ada yang ingin
ditangkap dari bulatan matanya, tapi entah apa. Bukubuku yang banyak itu
membuatnya bingung.
Tak
jauh dari Andi duduk dua perempuan sembari membungkukbungkuk. Akibatnya hanya
bayangan hitam saja yang tertangkap dari sudut tempat Andi duduk. Tak jelas
bagaimana rupa dua perempuan itu. Nampak mereka berdua sedang menekuri bacaan
entah apa. Andi memicingkan matanya, dari sudut jauh di tangan dua perempuan
itu dia berhasil membaca satu kalimat tunggal: Kala.
“Tabe
Andi, ini selebaran Kala. Buletinnya anakanak di sini.” Sodor pemuda yang
menemaninya sejak pertama tiba.
“Iye.”
“Sambil
menunggu, sambil dibaca.” Timpal pemuda berkaos hitam itu.
Andi
membolakbalik selebaran Kala di tangannya. Di bacanya dari halaman belakang. Di
situ dia berhenti; “Pembebasan dan Isra’ Mi’raj.” Lama dia berdiam. Waktu terus
berjalan. Kala, selebaran yang diarsir warna biru itu dibacanya.
Tak
lama selang waktu, seorang pemuda tetiba menyosor masuk ke dalam kelas. Dia,
seperti mencarisesuatu di antara bukubuku yang dipajang di sepanjang rak yang
menjadi dinding kelas. Tangannya melayanglayang di sekitar pagina seperti
sedang ingin menggenggam sesuatu. Tak ada yang kenal pemuda itu.
“Iye,
di sini bukubuku pribadi. Kalau buku yang dijual di ruangan depan.” Jusna
memberikan informasi.
Pria
itu kebingungan. Ia salah melangkahkan kaki. Tanpa dia sadari dia telah masuk
ke dalam kelas yang terhubung dengan toko buku.
“Oh
iya,” sembari melempar senyum berjalan menuju keluar kelas. Melihat gelagatnya
yang salah kaprah, sontak kami berempat tertawa. Tak terkecuali Andi yang
sedari tadi seperti kehilangan suaranya.
***
Kali
ini kelas dibuka bersamaan dengan bunyi azan. Kirakira pukul tiga lewat. Harus
diakui kelas molor. Tapi itu bukan soal utama, sebab biar bagaimanapun kelas
harus terus berjalan. Yang utama, jika evaluasi yang pertama diajukan, maka itu
adalah intensitas kehadiran kawankawan memang agak kendor. Sudah hampir tiga
empat pertemuan belakangan beberapa kawankawan jarang melibatkan diri. Soal ini
bukan perkara mekanisme, melainkan individual. Asumsi yang mampu menjawab
perkara ini barangkali karena semangat kawankawan sedang terganggu.
Sebabnya macammacam. Mungkin memang sedang minim motivasi.
Evaluasi
yang kedua adalah soal ketepatan waktu. Semenjak KLPI sesi dua dibuka, soal
waktu memang mengalami perubahan drastis. Jika kelas angkatan pertama sering
dibuka jelang pukul empat sore, maka di angkatan kedua kelas dimulai pukul satu
siang. Perubahan ini diajukan sebagai respon balik atas mekanisme forum yang
berubah. Karena membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk sesi penggeledahan
karya tulis, akhirnya kelas dimajukan sampai pukul satu. Yang kedua,
pertimbangan ini diambil karena bertambahnya jumlah peserta KLPI kala itu.
Namun, seiring kelas dibuka tiap minggu, banyak yang akhirnya kurang disiplin
soal waktu.
Kelas
yang sering kali molor belakangan ini kalau mau ditelisik sebenarnya
dipengaruhi suasana kelas itu sendiri. Ini ada hubungannya dengan berkurangnya
keterlibatan kawankawan yang berimbas kepada banyaknya waktu lowong yang
dipunyai kelas selama masa penyelenggaraan. Akibat minimnya kawankawan
yang jarang terlibat, maka jalan pikirnya adalah tidak ada salahnya jika kelas
dimulai di waktu sore. Dengan kata lain, tidak jadi soal kelas dimulai di waktu
belakangan sebab tidak akan butuh banyak waktu buat kawankawan yang tidak
seluruhnya datang.
Suasana
yang moderat macam itu akibatnya merembes kepada suasana kelas yang pelanpelan
melempem. Secara psikologis efek dari melempemnya kelas mau tak mau
berdampak langsung terhadap turunnya titik didih mentalitas sebagian kawankawan
yang terlibat. Setidaknya karena itu ada dua dampak yang dilahirkan dari
suasana kelas yang demikian.
Pertama,
semangat literasi kawankawan yang menurun. Indikatornya adalah daya tulis
kawankawan yang jalan di tempat. Bahkan akibat turunnya daya tulis, ada
beberapa kawankawan yang sulit membuat atau memulai ideidenya bisa terhampar di
atas kertas. Selanjutnya, kehadirannya di kelas hanya membawa tulisantulisan
yang sudah lama bersemayam di pustaka folder perangkat ketik demi menutupi
keharusan membawa karya tulis yang selama ini menjadi kebiasaan.
Tradisi
selama ini di KLPI, setiap kawankawan punya medan waktu yang cukup selama
sepekan buat membawa tulisan yang fresh di tiap pertemuan. Ini sebenarnya bukan
aturan wajib. Selama ini kewajibannya hanya satu, yakni yang terlibat
diharuskan membawa segala jenis tulisan agar bisa dipresentasekan. Jadi tidak
ada anjuran apakah karya tulis harus memuat unsurunsur kebaruan atau karya
tulis itu sendiri yang harus baru. Hanya saja ada semacam gengsi yang
berkibarkibar jika tulisan yang dibawa adalah karya tulis yang belum kering
betul tintanya. Selain itu, tulisan yang terbarukan setiap akhir pekannya
adalah ukuran maju tidaknya kemampuan menulis kawankawan. Itulah sebabnya,
tulisan yang betulbetul memuat hal baru adalah suatu prestasi yang sering
membuat penulisnya patut diacungi jempol.
Persoalan
ini pada akhirnya membuat suatu alur terusan kepada masalah yang kedua, yakni
mandegnya gagasan. Ihwal gagasan adalah hal yang imanen dalam tindakan menulis.
Artinya, tanpa gagasan maka mustahil melahirkan karya tulis. Kemungkinan ini
hanya bisa dimulai jika seorang penulis mampu membuka peluang hadirnya ideide
baru dengan berbagai macam cara. Salah satu caranya adalah intens bersentuhan
dengan segala macam literatur. Cara ini adalah cara yang paling mudah dibentuk
jika kawankawan setia dengan bacaanbacaan tertentu. Dengan mekanisme ini,
horison kawankawan akan dengan sendirinya mengalami pememuaian seiring luasnya
cakrawala bacaan. Dengan begitu, betapapun sederhananya bacaan kawankawan,
pasti akan memungkinkan lahirnya ide sebagai modal dasar jika mau dibuat
tulisan.
Cara
yang lain adalah mekanisme yang kerap dipakai filsuffilsuf; bermenung. Yang
kedua ini hanya bisa dimulai dengan maksud melihat setiap kenyataandari dari
sudut yang ganjil. Kenyataan yang dipandang ganjil akan membuka sudut pandang
berbeda dari pandangan orang kebanyakan. Sudut pandang yang ganjil dengan
melibatkan penghayatan itulah yang dimaksudkan bermenung. Artinya, tulisan
hanya bisa direalisasi karena ditunjang dengan penghayatan atas peristiwa yang
dilihat dari “mata” yang ganjil. Itulah mengapa setiap filsuf punya segala
pemikiran yang minor sekaligus anti mainstream di kala menghampar pemikirannya
di hadapan khalayak. Kata orang, setiap penulis mirip cara berbikir filsuf;
melihat kompleksitas segala soal di balik perkara yang sederhana.
Selain
itu, ide menulis bisa ditemukan dari gagasangagasan yang dieksperimentasikan.
Ekperimen gagasan ini sering kali diwujudkan dengan cara membangun ikatan
diskursif dengan kelompokkelompok diskusi. Maksudnya, setiap gagasan yang dipunyai
akan semakin tajam jika dielaborasi melalui medan diskusi. Di sini, dengan cara
berdiskusi, gagasan yang kadang masih setengah matang akan menemukan penajaman
lewat tukar pikiran antara beberapa orang yang terlibat diskusi. Bahkan bukan
saja penajaman, melainkan justru akan menuntun kita menemukan gagasangagasan
baru yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Sederhananya jika mau dibuatkan
bahasa imperatifnya maka akan menjadi; “makanya diskusiko!!!”
Bahan
evalauasi yang kedua adalah ihwal iuran peserta. Selama ini kesepekatan kelas
yang bertujuan buat menopang keberlangsungan kelas jadi madat. Perhatian
terhadap iuran kelas memang belum maksimal. Selama ini di setiap
pertemuan diharuskan menyumbang dana taktis sebesar lima ribu rupiah. Awalawal
diterapkan kebijakan ini berjalan sebagaimana diharapkan, namun seiring derajat
perhatian yang makin menurun membuat aturan ini sedikitsedikit diabaikan.
Padahal tujuan kebijakan ini mau membikin kebutuhan kelas jadi terpenuhi.
Setidaknya soal logistik kawankawan. Dan, tentu buat selebaran Kala yang tiap
akhir pekan harus naik cetak.
Yang
ketiga, ini juga penting; pertofolio. Kaitannya dengan KLPI, pertofolio adalah
arsip pribadi yang harus dipenuhi setiap peserta kelas literasi. Keberadaan
pertofolio ini sebagaimana tujuannya adalah tempat karya tulis kawankawan
disimpan. Kegunaan jangka panjangnya sebenarnya buat bahan penilaian yang akan
dievaluasi di momenmomen tertentu. Dari terkumpulnya karya tulis kawankawan,
maka dari situ akan nampak secara kuantitatif maupun kualitatif kemajuan
kawankawan. Berkembang tidaknya teknik menulis kawankawan hanya bisa dinilai
dari kumpulan karya tulis yang dikumpulkan satu persatu di tiap akhir pekannya.
Juga, dari aktifitas macam begituan, kawankawan dilatih menjadi pustakawan yang
mengarsip secara mandiri karya tulisnya masingmasing. Sehingga dengan begitu,
selain dilatih menjadi penulis, secara tidak langsung peserta KLPI diajarkan
menjadi seorang pustakawan. Yang terakhir inilah, adalah kerja tahuntahunan
seorang Sulhan Yusuf dan Mauliah Mulkin, dua sosok yang selama ini terus
banyak menyuport kawankawan di Paradigma institute.
***
KLPI
masih lenggang. Siang itu belum ada tandatanda kelas bakal dimulai. Halaman
depan Paradigma Institute hanya didiami satu orang lelaki. Kala itu sekitar
pukul satu siang. Dia duduk menggerayangi gawainya. Tak jelas apa yang
dipikirkannya bersaamaan saat matahari mulai tergelincir, dia masih duduk
seorang diri tepat di samping tas ransel hitamnya.
Berjamjam
dia menunggu ketidakpastian. Yang dia tahu, tempat yang dia datangi bukan
tempat yang salah. Sesuai informasi dari seniornya, Minggu ini, di tempat yang
di jambangi pertama kalinya adalah tempat yang kerap membuka kelas literasi.
Tapi, dari bilik panjang ruangan yang ia lihat justru berkata lain. Ekor
matanya hanya menangkap rakrak buku dan ruangan yang melompong kosong. Di ujung
belakang, matanya yang lurus menangkap pintu yang dibuka lebar. Anginangin
masuk, tapi belum ada tandatanda kelas seperti yang diceritakan kepadanya.
Jika
orangorang cepat bosan, suasana yang meliputi lakilaki ini adalah salah satu
sebab kebosanan. Menunggu memang bikin hati jadi runyam. Biar dunia ini pasti
bakal berakhir, tapi menanti dengan ketidakpastian membuat dunia seperti bangku
yang ditumbuhi onak. Duduk jadi tidak nyaman. Segala macam gaya duduk bakal
dicoba. Dunia tibatiba menjadi suatu keberadaan yang berubah drastis karena
hanya soal duduk yang sedikitsedikit berubah. Kadang memangku kaki, semenit
kemudian pantat diputar bikin kaki lebih nyaman akibat keram. Tak lama pantat
digeser lebih ke dalam biar dapat landasan yang lebih lebar karena dingin
tembok yang bikin sejuk ujung pinggul akibat panas yang mulai menggerogoti.
Kalau sudah begini, otototot bokong bakal jadi lebih fresh. Intinya, akibat ketidakpastian
duduk saja mesti harus banyak tingkah.
Tapi
untung dunia berhasil menemukan alat canggih itu. Gawai yang sedikitsedikit
dipelototinya membikin suasana sedikit terhibur. Dari layar kecil itu lakilaki
ini bisa melintas dunia macammacam. Dia bisa sedikitsedikit mengintip
statusstatus di facebook, lihatlihat fotofoto menarik temantemannya, atau
membalas komentar status yang dibuatnya. Beberapa lama dia juga bisa googling
halhal yang terlintas tibatiba dibenaknya, mungkin soal katakata yang tak dipahaminya
yang diingat dari suatu buku yang tak sengaja dibacanya; istilah
ilmiah yang baru saja dia dengar dari dosennya yang baru saja pulang
pelesiran dari luar negeri; atau sedang bebas mencari bahanbahan untuk
mempersiapkan tugas kuliahnya yang malas dikerjakannya. Singkatnya, dari layar
kecil gadgetnya itu, lakilaki sekira 25 tahun ini bisa melakukan apa saja.
Sesekali
dia mengulangulangi lagi menengok gawainya hanya untuk memastikan waktu. Juga,
setelah itu otomatis matanya dilempar begitu saja di tiap penjuru untuk
menemukan sesuatu yang tak ia ketahui apa. Dibenaknya, dia hanya memastikan
jika di pukul satu seperti kabar yang dia dapat dari seniornya kelas menulis di
tempat ini sudah dimulai. Tapi sepertinya keadaan masih terus sama, tak ada tandatanda
orang yang datang. Satusatunya barangkali yang ia temui adalah perempuan yang
muncul dari dalam pintu di sebelah meja yang ditumpuki bukubuku.
Keyakinannya
barangkali hampir saja punah seperti tumpukan gunung pasir yang dibuat
bocahbocah kala bermain di bibir pantai akibat disapu ombak jika seorang
lakilaki tibatiba tidak muncul begitu saja tanpa ia sangkasangka. Lakilaki itu
begitu saja menyosor masuk memarkir motornya di bawah pohon bunga kertas,
bungabunga berdaun merah yang dari tadi ia lihat ditiup angin. Tapi tak jelas
apakah lakilaki ini punya niat yang sama soal kelas yang bakal ia ikuti. Ini
sama halnya seperti melihat fatamorgana di tengah gurun pasir sepanjang
beriburibu depa. Sama saja tidak pasti. Walaupun begitu dia berharap mendapatkan
sedikit informasi dari pemuda yang baru saja datang dengan polah yang melempar
senyum.
“Mauki
ikut kelas literasi,” ucap lakilaki itu memecah udara kosong.
“Iye..,”
tangkas Andi. Nama lakilaki yang lama menunggu itu. Suaranya agak pelan dibawa
angin.
“Waduh,
kayaknya dari tadiki menunggu. Belumpi ada yang datang barangkali.” Lakilaki
yang baru datang itu menyorong kepalanya ke dalam ruangan.
“Kalau
begitu kita’ tunggutunggumi di’, masih di jalan yang lain itu. Sebentar lagi
datang” lakilaki itu meyakinkan.
Andi
hanya mengiyakan, dia duduk kembali pasca berdiri seperti jika ada tamu datang.
Tak lama lakilaki yang baru datang itu membuka percakapan. Andi yang sedari
tadi menunggu akhirnya mendapatkan kepastian. Dia tak salah tempat. Ini memang
seperti yang dikabarkan kepadanya: Kelas Literasi Paradigma Institute.
***
Kelas
selama ini menandai kemajuan teknik menulis kawankawan dengan beragam tema yang
disorotinya. Soal tema tak ada batasan yang harus dijadikan ukuran. Segalanya
bisa menjadi tema. Begitu pula genre tulisan, bisa ilmiah ataupun nonilmiah.
Esai atau puisi. Catatan perjalanan atau cerita pendek. Pamflet atau status
facebook. Singkatnya apapun itu, selama merupakan karya tulis, dengan
sendirinya adalah karya yang selalu diapresiasi di KLPI.
Selain
itu, kemajuan karya tulis juga diindikatori oleh minimnya typo dan kesalahan
EYD. Yang terakhir ini sejenis jalan suluk kawankawan di PI. Maksudnya,
betapapun majunya teknik menulis kawankawan, canggihnya gaya menulis yang sudah
jadi ciri, kesalahan EYD merupakan dosa yang tak pernah terhindarkan. Dalam
kasus ini, EYD adalah kesalahan yang sering kali jadi dosa turunan. Sudah
takdirnya dia muncul di balik silapnya konsentrasi penulis.
Kasus
EYD ini juga yang jadi perhatian pria asal Ambon yang salah masuk kelas itu.
Entah dorongan apa yang membuatnya turut nimbrung di kelas kala itu. Nampaknya,
sehabis meninggalkan ruangan yang dikiranya masih bagian toko buku, dia urung
pergi. Dari ruang sebelah dia mendengar dan melihat aktivitas diskusi yang tak
dia sangka sebelumnnya. Berkumpulnya kawankawan PI ini yang membuatnya tertarik
ikut di kelas. Tanpa diundang dia pun akhirnya turut duduk bersila di dalam
kelas.
“Nama
saya Imran. Saya dari Seram, Ambon,” pria berbaju kuning itu membuka
identitasnya kala ditanya.
Sejak
saat itu Imran seperti sudah biasa mengikuti kelas menulis PI, di tangannya
turut menggenggam satu kertas berisi tulisan. Perhatiannya mirip saat pertama
kali dia masuk kelas. Seperti mencari sesuatu. Entah apa, tapi seperti
kawankawan lainnya, meyakini di setiap tulisan pasti ada kesalahan ejaan yang
dititipkan oleh entah siapa di dalam karya tulis. Matanya masih menyisir berpuluhpuluh
deret huruf. Pikirannya berkejaran. Pasti ada ejaan yang salah di situ. Pasti.
Imran
khusyuk dengan tulisan di tangannya. Sementara kawankawan lain masih
menerkanerka, apakah dia masih akan datang di kelas pekan depan? Tak ada yang
tahu. Tapi, seperti kedatangannya yang tak didugaduga, KLPI butuh orangorang
kayak Imran. Orangorang yang senang terlibat dalam forumforum diskusi. Orang
yang melempar senyum tanpa tedeng alingaling tanpa di suruh ikut melibatkan
diri duduk bersila dalam suatu lingkaran diskusi. Orangorang yang menyukai
budaya literasi. Budaya oranorang tercerahkan.