Dua gambar di bawah
menunjuk dua hal; harapan dan kenyataan. Di sebelah kiri harapan, yang lainnya
kenyataan.

Hari kedua, sisa sepojok
halaman belakang. Sore kemarin ramairamai kerja bakti. Mengaduk, mengangkat,
membuang sampah. Hampir dua jam sampah tak habishabis. Keringat cucur. Sore
jelang. Lama kemudian sampah pupus. Digerakkan kenyataan.
Begitulah, dua frame antara
harapan dan kenyataan berkelindaan di benak. Bergerak dan berubah jadi otot
yang tegang. Juga, tubuh yang basah. Akhirnya, yang tersisa tinggal halaman tak
terpakai, ruang sekira 3×5 meter, dinding bata kecoklatan, dan ide yang harus
bekerja.
Dulu tempat ini nyaris tak
terurus. Dibiarkan begitu saja. Tak berguna. Jika dimanfaatkan, faedahnya hanya
satu: tempat sampah. Bertahuntahun itu terjadi. Segala musim datang, juga
tikus, juga berbagai serangga liar.
Lama tempat ini ditinggal
berbarengan tumbuhnya tanaman entah. Hari ke hari merambati tembok yang
dibiarkan berdiri tanpa atap. Menjalar sanasini dengan serabut akar halus
menembusi celahcelah tembok. Di situ, juga tumbuh lelumutan, hijau. Sampah,
yang ditinggal pergi, jadi lahan subur kembang biak cacing.
Tapi, tempat ini sempat
punya fungsi lain. Akibat tak ada atap bergantung, di bawahnya jadi tempat
jemuran. Di sini sinar matahari mulus turun. Tak ada penghalang sekalipun.
Angin, yang kerap menyisir atapatap dengan bunyinya, juga bebas keluar masuk.
Jemuran, apapun itu, tak bakal lama tetiba kering segera.
Pernah juga, dibuat semacam
balebale di situ. Sekira dua tahun kemarin. Rencananya jadi tempat alternatif
akibat hawa panas bunker. Jadi tempat diskusi.
Saya tak tahu siapa pernah
berjibaku membangunnya. Saat itu, saya sempat lama meninggalkan bunker. Ketika
datang, sudah berdiri empat tiang beratap spanduk bekas.
Jadi, struktur tiang dibuat
dari kayu balok. Lantainya juga kayu yang disusun. Kemudian dua tiang lain
disandarkan di atas bubungan atap. Di atasnya, dihampar spanduk bekas. Yang
terakhir mudah didapat, tapi balok tiang berkualitas bagus itu saya tak tahu siapa
membawanya.
Cuman, kebiasaan berkumpul
di bawahnya tak sempat lama. Biasanya di situ ditempati ngopi, berdiskusi,
sesekali ketawaketiwi. Balebale berbentuk kotak itu bisa muat empat sampai lima
orang. Lamalama, satusatu pergi. Balebale akhirnya ditinggalkan.
Kejadian itu bersamaan
musim penghujan. Kala air deras menyapu, tak ada mau duduk di bawahnya. Karpet
yang jadi pengalas ikut basah. Orang akhirnya ogah mau berdiskusi di situ.
Basah. Becek.
Bila malam jelang, tempat
ini beralih jadi lahan parkir. Akibat tempatnya tertutup, motormotor aman
ditaruh di situ. Jika dihitung, tempat ini muat menampung sampai sepuluh motor.
Itu jika diparkir kayak model rapat pusatpusat belanjaan.
Sekarang tempat ini kosong
menganga. Kalau mau dibilang agak lumayan bersih. Rambatan tetumbuhan di
temboktembok juga sudah tercabut. Satusatunya yang masih tertinggal di sana
hanyalah ide yang mau dibuat jadi kenyataan.
Kalau dilihat, sesuai rencana, di situ mau dibikin semacam tempat diskusi. Saya bilang nanti dibuat kursi dari bambu, disusun model sepatu kuda. Kemudian di tengahnya disimpan dua meja dari ban bekas mobil disusun dua lapis. Buat pemateri, dibuatkan khusus kursi serta meja kecil tempat kopi disuguhkan. Di dinding belakangnya, papan menggelantung jika sesekali butuh pemaparan yang mau ditulis.
Kalau dilihat, sesuai rencana, di situ mau dibikin semacam tempat diskusi. Saya bilang nanti dibuat kursi dari bambu, disusun model sepatu kuda. Kemudian di tengahnya disimpan dua meja dari ban bekas mobil disusun dua lapis. Buat pemateri, dibuatkan khusus kursi serta meja kecil tempat kopi disuguhkan. Di dinding belakangnya, papan menggelantung jika sesekali butuh pemaparan yang mau ditulis.
Hitunghitungannya, tempat
ini bisa muat sepuluh sampai limabelas orang. Lumayan jika suatu sore sembari
ngopi digelar diskusi ringan di situ. Di bawah langit senja, jelang magrib
berbicara banyak hal dan segala yang dianggap samar.
Ide itu akhirnya jadi
kolektif. Semua bergerak. Pasca dibersihkan, sisa kayu dikumpul, dipotong,
dibelah dua. Halaman diukur, dibincang berapa panjang kursi mau dibuat. Berapa
tiang sanggah dipakai agar kuat pijakannya. Berapa jumlah kayu dipotong. Berapa
jumlah bambu dibutuhkan. Tak lupa, berapa jumlah ban mobil dibuat jadi meja.
Bayangan kolektif kami
akhirnya sisa separuh. Separuhnya sudah dibuat lewat gambar. Besok, jika waktu
berkenan tempat ini sudah ramai. Barangkali sudah ada diskusi digelar, sudah
ada kopi yang diseruput. Separuhnya sisa diperjuangkan.
Kemarin sudah ada program
dibuat. Ide ini dipantik Jahir, dia mau bikin diskusi. Yang disepakati akhirnya
mau gelar diskusi berkala. Teknisnya, buku "Pemikiran Yang Membentuk Dunia
Modern" karya F.Budi Hardiman jadi bahannya. Jadi, kawankawan yang
terlibat mengambil satu tema dan menjadi penyerta. Begitu seterusnya digilir
tiap pekan.
Kalau "Pojok
Bunker" sudah jadi, program itu siap dilaksanakan. Ini hanya tinggal
sedikit usaha membuat pojok sisa dari bunker jadi bermanfaat. Menggunakan ruang
kosong, dengan forum berdesain minimalis.
Syahdan, ini hanya soal
waktu dan tenaga yang disulut ramai. Sisanya, barangkali suatu sore diskusi
sudah dibuka. Dan, di atasnya langitlangit berubah jingga, menganga.