Langsung ke konten utama

Pojok Bunker

Dua gambar di bawah menunjuk dua hal; harapan dan kenyataan. Di sebelah kiri harapan, yang lainnya kenyataan.

Begitulah, dua hari belakangan penghuni bunker sibuk. Semua berjibaku, bekerja. Hari pertama, semaksemak dibabat. Rerumputan liar dipotong. Juga,tanaman liar lainnya dicabut. Digerakkan harapan.

Hari kedua, sisa sepojok halaman belakang. Sore kemarin ramairamai kerja bakti. Mengaduk, mengangkat, membuang sampah. Hampir dua jam sampah tak habishabis. Keringat cucur. Sore jelang. Lama kemudian sampah pupus. Digerakkan kenyataan.

Begitulah, dua frame antara harapan dan kenyataan berkelindaan di benak. Bergerak dan berubah jadi otot yang tegang. Juga, tubuh yang basah. Akhirnya, yang tersisa tinggal halaman tak terpakai, ruang sekira 3×5 meter, dinding bata kecoklatan, dan ide yang harus bekerja.

Dulu tempat ini nyaris tak terurus. Dibiarkan begitu saja. Tak berguna. Jika dimanfaatkan, faedahnya hanya satu: tempat sampah. Bertahuntahun itu terjadi. Segala musim datang, juga tikus, juga berbagai serangga liar.

Lama tempat ini ditinggal berbarengan tumbuhnya tanaman entah. Hari ke hari merambati tembok yang dibiarkan berdiri tanpa atap. Menjalar sanasini dengan serabut akar halus menembusi celahcelah tembok. Di situ, juga tumbuh lelumutan, hijau. Sampah, yang ditinggal pergi, jadi lahan subur kembang biak cacing.

Tapi, tempat ini sempat punya fungsi lain. Akibat tak ada atap bergantung, di bawahnya jadi tempat jemuran. Di sini sinar matahari mulus turun. Tak ada penghalang sekalipun. Angin, yang kerap menyisir atapatap dengan bunyinya, juga bebas keluar masuk. Jemuran, apapun itu, tak bakal lama tetiba kering segera.

Pernah juga, dibuat semacam balebale di situ. Sekira dua tahun kemarin. Rencananya jadi tempat alternatif akibat hawa panas bunker. Jadi tempat diskusi.

Saya tak tahu siapa pernah berjibaku membangunnya. Saat itu, saya sempat lama meninggalkan bunker. Ketika datang, sudah berdiri empat tiang beratap spanduk bekas.

Jadi, struktur tiang dibuat dari kayu balok. Lantainya juga kayu yang disusun. Kemudian dua tiang lain disandarkan di atas bubungan atap. Di atasnya, dihampar spanduk bekas. Yang terakhir mudah didapat, tapi balok tiang berkualitas bagus itu saya tak tahu siapa membawanya.

Cuman, kebiasaan berkumpul di bawahnya tak sempat lama. Biasanya di situ ditempati ngopi, berdiskusi, sesekali ketawaketiwi. Balebale berbentuk kotak itu bisa muat empat sampai lima orang. Lamalama, satusatu pergi. Balebale akhirnya ditinggalkan.

Kejadian itu bersamaan musim penghujan. Kala air deras menyapu, tak ada mau duduk di bawahnya. Karpet yang jadi pengalas ikut basah. Orang akhirnya ogah mau berdiskusi di situ. Basah. Becek.

Bila malam jelang, tempat ini beralih jadi lahan parkir. Akibat tempatnya tertutup, motormotor aman ditaruh di situ. Jika dihitung, tempat ini muat menampung sampai sepuluh motor. Itu jika diparkir kayak model rapat pusatpusat belanjaan.

Sekarang tempat ini kosong menganga. Kalau mau dibilang agak lumayan bersih. Rambatan tetumbuhan di temboktembok juga sudah tercabut. Satusatunya yang masih tertinggal di sana hanyalah ide yang mau dibuat jadi kenyataan.


Kalau dilihat, sesuai rencana, di situ mau dibikin semacam tempat diskusi. Saya bilang nanti dibuat kursi dari bambu, disusun model sepatu kuda. Kemudian di tengahnya disimpan dua meja dari ban bekas mobil disusun dua lapis. Buat pemateri, dibuatkan khusus kursi serta meja kecil tempat kopi disuguhkan. Di dinding belakangnya, papan menggelantung jika sesekali butuh pemaparan yang mau ditulis.

Hitunghitungannya, tempat ini bisa muat sepuluh sampai limabelas orang. Lumayan jika suatu sore sembari ngopi digelar diskusi ringan di situ. Di bawah langit senja, jelang magrib berbicara banyak hal dan segala yang dianggap samar.

Ide itu akhirnya jadi kolektif. Semua bergerak. Pasca dibersihkan, sisa kayu dikumpul, dipotong, dibelah dua. Halaman diukur, dibincang berapa panjang kursi mau dibuat. Berapa tiang sanggah dipakai agar kuat pijakannya. Berapa jumlah kayu dipotong. Berapa jumlah bambu dibutuhkan. Tak lupa, berapa jumlah ban mobil dibuat jadi meja.

Bayangan kolektif kami akhirnya sisa separuh. Separuhnya sudah dibuat lewat gambar. Besok, jika waktu berkenan tempat ini sudah ramai. Barangkali sudah ada diskusi digelar, sudah ada kopi yang diseruput. Separuhnya sisa diperjuangkan.

Kemarin sudah ada program dibuat. Ide ini dipantik Jahir, dia mau bikin diskusi. Yang disepakati akhirnya mau gelar diskusi berkala. Teknisnya, buku "Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern" karya F.Budi Hardiman jadi bahannya. Jadi, kawankawan yang terlibat mengambil satu tema dan menjadi penyerta. Begitu seterusnya digilir tiap pekan.

Kalau "Pojok Bunker" sudah jadi, program itu siap dilaksanakan. Ini hanya tinggal sedikit usaha membuat pojok sisa dari bunker jadi bermanfaat. Menggunakan ruang kosong, dengan forum berdesain minimalis.

Syahdan, ini hanya soal waktu dan tenaga yang disulut ramai. Sisanya, barangkali suatu sore diskusi sudah dibuka. Dan, di atasnya langitlangit berubah jingga, menganga.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...