yang tinggal dari "geliat atte dalam dua novel"

Jusnawati bilang, tulisannya mengandung dua hal; segi informatif dan evaluatif. Berdasarkan itulah dia membangun perspektif. Di tulisannya, dia banyak omong tentang hal yang patut diketahui, dan yang patut dievaluasi. Ini posisi yang dia tempuh.

Dia memberi tahu, Titisan Cinta Leluhur dan Djarina, dua novel yang patut dibaca. Setidaknya yang senang dengan sejarah suatu kaum. Jusna bilang kalau dia tidak suka baca sejarah. Tapi, dari dua novel yang diresensinya, dia mulai mempertimbangkan minatnya.

Pemaparan Jusna lumayan banyak. Saya agak kurang perhatikan. Tidak tahu kawankawan yang lain. Banyak suara bising. Motormotor berkejaran. Apalagi mobil yang macet. Tapi ada hal yang saya tangkap. Hubungannya dengan nuansa feminin yang dibilangnya.

Di warkop yang ramai sayupsayup saya dengar Jusna juga bilang kalau Titisan Cinta Leluhur punya judul yang filosofis. Judulnya menarik, ada kesan filosofis. Begitu dia bilang. Tapi dia kritik balik, bahwa dia tidak menemukan kesan yang sama. Seakanakan novel itu bercerita yang lain. Tidak ada kesan titisan cinta leluhur , begitu katanya. Ini kritik pertama.

Kedua Jusna ajukan kepada Djarina. Novel kedua yang diresensinya. Katanya tak relevan antara sinopsis dan isi novel. Di sinopsisnya, Djarina disebut membahas Bantaeng era pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, tapi Jusna tangkap justru disitu tak ada ulasan yang disebut di bagian sinopsis. Jusna ajukan pertanyaan: apakah sinopsis itu ditulis langsung penulisnya atau penerbit bukunya. Ini kritik kedua.

Lanjutan dari kritik kedua. Ini dari saya. Kalau disebut sinopsis mewakili keseluruhan isi novel, Djarina novel yang abai terhadap relevansi ceritanya. Ketika seseorang berdasar sinopsis memilih memiliki bukunya, tapi justru isinya berbeda, nanti disebut penipuan. Bisa jadi. Ini hanya prasangka saja. Sahsah saja.

Tapi yang dibilang Jusna menarik. Dia menemukan unsur feminin di dalam dua novel karangan Atte Maladevi ini. Juga unsur lokalitas. Dia sebut unsur keperempuanan begitu kuat di dalamnya. Ini patut dicontoh, katanya. Terutama yang ditunjukkan tokoh Djarina.

Di sisi lain Andi Reski tidak sepakat. Katanya banyak hal yang bisa diulas. Bukan saja kandungan nilai perempuan. Tapi maskulinitas tokohnya. Bilang Andi Reski, justru tokoh lakilaki dalam novel Titisan Cinta Leluhur juga patut diperhatikan. Justru Djarinah hanya jadi media bagaimana tokohtokoh di sekitarnya dikenal. Terutama maskulinitasnya.

Selanjutnya tentang nama Djarina. Nama yang sama dalam dua novel harus mengandung pertanyaan. Ini Jusna yang soalkan. Dia punya indikasi kalau dua novel Atte saling berhubungan. Itu bisa terjadi kalau ceritanya saling terkait. Atau saling menyahuti. Seperti novel Pram.

Tapi saya bilang bisa juga tidak. Banyak penulis sering gunakan nama yang sama untuk cerita yang beda. Putu Wijaya misalnya, selalu pakai Pak Ami dan Ibu Ami dihampir cerpencerpennya. Juga beberapa cerpen Eka Kurniawan. Ceritanya berbeda dengan nama yang sama.

Ada kemungkinan kalau dua novel Atte berhubungan. Tidak pada ceritanya, tapi latarnya. Dua novelnya dihubungkan sejarah Bantaeng. Tradisi masyarakatnya. Juga bisa jadi tempatnya. Bisa dibilang dua novel Atte dipertemukan oleh konteks yang sama. Ini yang mungkin Jusna maksud. Yang disebut berhubungan. Tapi, entahlah…

Selebihnya diskusi dimulai, agak formal, padahal bukan itu mau saya. Niat awal ini hanya untuk ngobrol ringan tapi berbobot. Atau berbobot sambil santai. Dengan sedikit menyeruput kopi. Atau teh tarik seperti dipesan Itto. Yang lain kopi. Sedang saya teh susu.

Saya jelaskan sebelumnya Bahrulamsal For Literacy hanya ingin mengumpulkan beberapa kawankawan yang senang ngopi. Berdiskusi daripada lowong sembari online tanpa sadar. Lebih baik yang individual dikolektifkan. Waktu senggang jadi ilmu. Kebiasaan jadi pengetahuan. Itulah saya undang Jusnawati untuk diajak ngobrol bersama yang lain. Tentang tulisannya di koran tempo hari.

Itulah niat Bahrulamsal For Literacy, mengajak kawankawan mengulas tulisan yang terbit di media. Ini bukan komunitas. Ini juga bukan organisasi seperti diduga Jusna. Apalagi ini adalah untuk pemenangan tertentu seperti dikata Andi Reski. Bahrulamsal For Literacy hanya halaman FB yang saya buat. Tujuannya hanya satu, mengembangkan tradisi literasi.

Ada soal yang mesti diperjelas. Ini lanjutan dari kritik Andi Reski buat Jusna. Mengapa harus dibaca lewat nuansa yang feminis. Apakah memang di novel Atte mengandung nilainilai keperempuanan. Atau itu hanya pembacaan Jusna. Tafsirnya pribadi. Kalau dilebarkan ini malah serempet soal dari mana terbentuknya makna, intrepetasi penafsir atau sudah dari awal dikandung dalam teks. Apakah makna dalam teks, atau di luar teks.

Ini malah akan jadi soal lain. Yang mana objektif itu. Di dalam teks atau disaat tafsir bekerja. Kalau ditafsir, apakah tafsir penulis yang objektif, atau justru pembaca selain penulis. Ini soal lama. Tapi gaungnya masih terasa sampai sekarang.

Ujhe juga tanya, terkait problem etis. Dia bilang bagaimana makna kebebasan bagi sastrawan. Apakah etis menggunakan kata seronok dalam sastra. Apakah itu mungkin, kalau itu diartikan berbeda. Dia sentil kasus Saut, apakah soal keparat di kasus itu harus dipahami dengan etis, atau itu punya kemungkinan lain. Intinya bagaimanakah etika dalam sastra. Perlukah sastra tampil etis.

Soal itu panjang. Banyak yang masih buram. Diskusi jadi a lot. Muhajir menjawab sahsah saja. Sastra tidak seperti agama. Ada kebebasan yang tak sama dalam agama. Saya juga bilang sahsah saja. Banyak contoh bisa diajukan di sini. Yang kaitannya dengan sastra yang etis atau tidak. Di kasus ini Andi Reski agak kurang sepaham. Diskusi masih terus berlanjut.

Satu hal yang hampir saya lupa. Jusna bilang lewat dua novel ini ada kesadaran sejarah yang dibangkitkan. Bahkan ini suatu yang penting bagi generasi masa kini. Lokalitas hampir hilang tercerabut, makanya genting untuk membaca sejarah. Kesimpulan dari ini, banyak cara menengok sejarah suatu masyarakat, salah satunya lewat sastra. Ini simpulan Ujhe.

Bisa dikata Titisan Cinta leluhur dan Djarina mengambil peran medium kesadaran sejarah. Tapi bukan sekedar medium, yakni harus ada upaya verifikasi, ungkapjawab, penelusuran dokumen, bahkan ceritacerita dari saksi sejarah. Ringkasnya perlu riset sekalipun itu untuk karya sastra.

Akhirnya diskusi ditutup. Itu hanya formalitas saja. Diskusi sebenarnya berlanjut sanasini. Sandra Ramli beberapa kali ajukan pandangan, juga kritik. Nizar Fahrezi juga turut bertanya. Intinya semua banyak dialog. Hanya Jahir dan Ilham yang banyak mendengarkan. Sedang Ridho, sejak awal duduk di meja berbeda. Seperti kebiasannya yang aneh.