Kalau sakit kepala begini susah memikirkan apa yang bisa ditulis.
Berat pikir soalsoal yang kritis. Padahal niat menulis hari ini harus
direalisasi. Dua hari belakangan memang saya tidak menulis apaapa. Terakhir
saya sempat menulis soal konsistensi penulis, terutama bagaimana meneruskan
kebiasaan menulis.
Beberapa waktu belakangan memang ada naskah tentang cerpen Puthut
EA. Sudah hampir dua minggu terbengkalai. Saya heran mengapa belum bisa
dituntaskan. Dua kali saya mencobanya, tapi selalu gagal. Dua kali juga, di
saat ingin menyelesaikannya justru tulisan lain yang jadi. Kebiasaan ini malah
sering dialami. Menulis halhal yang sebelumnya tak diduga.
Saya pikir kalau begitu saya bukan orang yang bisa konsisten
mengawal ide menjadi tulisan yang utuh. Kadang memang suatu ide bisa saya
tulis dalam jangka waktu yang lama. Terutama itu kaitannya dengan tulisan yang
agak formal. Jadi kalau hari pertama saya mengerjakan bagian pendahuluan, hari
itu bisa saya tunda dan menyambungnya di hari lain. Dan, di hari lain, tidak
susah kalau tulisan itu saya lanjutkan kembali.
Agak berbeda dengan beberapa tulisan saya yang agak nyantai.
Maksudnya tulisan yang punya konten pengalaman seharihari. Belakangan itu bisa
saya tuliskan tidak lebih dari tiga jam. Mengalir begitu saja. Tanpa ada yang
berat kalau dituliskan. Saya berkeyakinan kalau itu karena yang saya tulis
adalah soal yang dekat dari diri saya. Sesuatu yang memang saya ketahui betul.
Pengalaman di mana memang saya terlibat di dalamnya.
Belakangan saya ingat, barangkali ini yang
dimaksud free writing. Gaya menulis yang mengalir begitu saja, tanpa mau
di skak mat aturanaaturan yang mengikat. Sampai sekarang saya belum paham betul
apa itu free writing. Sebagai suatu konsep atau gaya alternatif kepenulisan,
saya kira ini patut dibincangkan. Diomongin.
Makanya, saya sadar kenapa tulisan soal cerpen Puthut EA tidak
kelarkelar. Mungkin saya belum begitu akrab dengan gaya bercerita Puthut EA,
bagaimana dia sering membangun cerita, seperti apa plot yang dipakainya, dan
konflik apa yang sering muncul di cerpencerpennya. Atau, memang saya belum
begitu menghayati cerpen yang saya sitir. Ini yang mungkin jadi penting: saya
harus menghidupkan seluruh indera, membangun suatu kerangka seperti yang ada
dalam cerpennya. Seolaholah saya berada di dalamnya. Bahkan terlibat di dalam
ceritanya.
Itu juga yang dialami salah satu naskah sebelumnya. Jauh
sebelumnya, saya sedang menulis ihwal Luis Borges, pengarang fenomenal dari
benua Amerika. Tulisan prematur ini, bahkan sudah hampir tiga bulan tak
diutak atik. Tergeletak begitu saja tanpa pernah berkembang menjadi tulisan
yang fixed. Sampai di sini kesimpulannya sama; saya belum menghayati Luis
Borges sampai ke karyakaryanya.
Sampai di sini ada prinsip, yang dalilnya dirumuskan menjadi
“menulislah apa yang kau ketahui” vs “menulislah apa yang kau senangi.” Yang
pertama penerapannya banyak ditemui dalam tulisantulisan yang mengandung nuansa
research; biasa digolongkan tulisantulisan nonfiksi. Sementara yang kedua,
biasa ditemui dalam tulisan yang berbau pengalaman. Yang pertama sering
ditulis oleh ilmuwan, peneliti, ahliahli profesi, atau kaum teknokrat,
sedangkan yang kedua banyak dialami oleh pengarang, sastrawan, budayawan,
maupun seniman.
Saya agak ragu kalau ada penggolongan semacam yang saya bikin di
atas. Jadi itu tidak usah ditanggapi serius. Penggolongan itu hanya sebatas
yang saya tahu. Tidak ada data informasi yang bisa dijadikan ukuran. Apalagi
kedua golongan di atas bisa saling menyampir, filosofi gaya pertama bisa
diterapkan kepada gaya penulisan kedua, atau sebaliknya.
Namun, kalau mau dipikirpikir, dua filosofi di atas tidak
bertolakbelakang. Bisa jadi itu hanya soal tahapan belaka. Janganjangan memang
yang satu tak bisa dilakukan kalau prinsip sebelumnya belum terpenuhi.
Artinya, banyak hal yang diketahui, tapi tidak semua disenangi. Begitu
juga banyak yang disenangi, tapi belum tentu diketahui. Jadinya kalau mau
menulis hal ihwal yang disenangi, pasti itu juga yang diketahui. Sebaliknya,
kalau ingin menulis dari yang diketahui, usahakanlah itu juga yang disenangi.
Rasarasanya, itu yang dialami oleh dua naskah saya. Belum
terbangun rasa suka dan cukup informasi. Saya harus menyenanginya dulu sebelum
diteruskan lagi. Pun kalau ada itu tidak bulat. Masih setengah hati. Ibarat
kekasih, saya harus tulus menyukainya. Kalau sudah begitu pasti saya akan
senang dan akan mencari tahu seluruh kaitan tentangnya. Kesimpulan saya ini
besar kemungkinan benar. Itu yang saya rasakan.
Prinsip ini sebenarnya saya dapat dari sebuah postcard di
FB. Di waktuyang agak sudah lama. Saya pikir ada benarnya. Banyak hal yang
sulit dilakukan lantaran tidak disenangi. Banyak pekerjaan yang tersendat
begitu saja akibat terpaksa dilakukan. Bisa juga karena idealideal yang
dipancang di atas tiang harapan, tapi malah sebaliknya terbatasi. Di titik ini
saya kira orangorang sering merasa berat merealisasikan tujuannya karena
terlalu tinggi mengharapkan hasil. Orangorang kadang lupa, proses jauh lebih
penting daripada hasil.
Sebab itulah dua naskah tadi saya biarkan saja dulu. Tak apa lama
dia mengendap, sembari menunggu saya senang melanjutkannya. Saya kira ini yang
memang penting, mengerjakan sesuatu karena senang melakukannya. Bukan desakkan
suatu tuntutan. Saya harus akrab dengannya. Akhirnya saya juga mulai mengerti
mengapa tesis saya tersendasendat; dia prematur akibat tidak disertai
rasa senang didalamnya. Seperti dua naskah sebelumnya, saya juga harus
menyenanginya, sama halnya tulisan saya yang lain.