Saya mulai risau. Soal plagiarisme. Dua hal yang bikin jadijadi.
Pertama janganjangan sebagian besar karya tulis saya plagiat. Kedua, bisa jadi
di luar sana banyak yang curi tulisan saya. Tapi, yang bikin akut, soal
pertama. Apalagi kalau itu dilakukan dengan kesadaran penuh. Gawat.
Tempo hari sudah ada diskusi. Menyoal plagiarisme dan pencuri
bahasa. Saya tak tahu apakah dua konsep itu berbeda. Saya tak sempat tanyakan.
Atau mungkin itu punya arti yang sama. Kalau iya, jadi itu hanya soal teknis
judul saja. Suatu teknik promosi.
Inti diskusi itu yang jadi perkara. Apa itu plagiarisme? Sejauh
apa batasannya? Bagaimanakah bentuknya? Seperti apa jenisnya? Siapasiapa
pelakunya? Siapa korbannya? Bagaimana plagiarisme dilakukan? Pada tekskah?
Simbol; ide; gagasan? Atau niat barangkali?
Kalau mau dipersoalkan lebih jauh bisa berupa, bagaimanakah
plagiarisme masuk dalam wacana ilmupengetahuan? Siapa yang berkepentingan di
dalamnya? Apakah ini soal wewenang? Soal hak cipta? Sejauh manakah suatu karya
disebut memiliki hak cipta? Lantas untuk apa hak cipta itu sebenarnya?
Pasca diskusi itu juga jadi soal. Banyak yang belum jelas betul.
Termasuk perkara etik. Kejujuran.
Omongomong soal kejujuran, terutama soal ide, saya agak ragu kalau
saya punya wewenang mau sebut itu murni karya saya. Banyak tulisan saya hasil
replika atas karya orang lain. Apalagi itu karena didorong oleh gagasan yang
saya daur ulang. Kalau sudah begitu, saya berjagajaga dari pelbagai prasangka:
saya sematkan nama atau dari mana saya dapat ide yang dibilang. Aman.
Di Indonesia pernah jadi soal dalam sejarah kesusastraan.
Misalnya, sebagian karya Chairil Anwar yang dianggap saduran dari beberapa
karyakarya Willem Elsschot, Archibald MacLeish, E Du Perron, John Cornford, Hsu
Chih-Mo, Conrad Aiken, WH Auden. Beberapa ahli bilang, kalau beberapa karya
pelopor angkatan 45 ini hanya berupa peralihan bahasa asing ke bahasa
Indonesia. Juga kasus “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” Buya Hamka yang
disinyalir mengikuti cerita Musthafa al-Manfaluthi berjudul Magdalaine. Ini
pernah ditulis Seno Gumira Ajidarma tahun 2008 yang dimuat di Kompas, Senin, 9
Juni.
Bahkan, sempat juga jadi buah bibir, atau sampai bikin ribut,
karya Seno sendiri "Dodolidodolitdodolibret" yang jadi pemenang
cerpen terbaik versi Kompas 2011. Walaupun di akhir tulisannya, Seno sudah
mewanti cerpennya hanyalah versi ulang sendiri dari ceritacerita agama, namun
tetap saja jadi soal, plagiatkah Seno? Cerita yang ditulis Seno sendiri juga
ada yang mengaitkan dengan karya Leo Tolstoy karena kemiripan cerita dan plotnya.
Lantas kalau sudah begini, apa soal?
Dari soal itu berkembang dua problem subtansial. Pertama tentang
keorisinalitasan pengarang. Kedua, soal kematian pengarang. Yang pertama
menyoal keagungan pengarang. Yang kedua mau bilang kalau pembaca punya posisi
penting dalam menentukan kebesaran pengarang.
Orientasi problem pertama akan krusial jika diajukan kepada
pertanyaan seberapa pentingkah sang pengarang dalam problem plagiarisme. Apakah
karya yang rusak akan mempengaruhi kredibilitas sang pengarang? Ataukah itu
akan jadi lain jika sudah terjadi pemutusan antara sang pengarang dengan
karangannya seperti diorientasikan problem yang kedua.
Dua problem di atas hanya soal. Boleh jadi sudah jadi buah bibir.
Apalagi wacana. Kalau yang terakhir baik jadi urusan para scholar. Agar jelas.
Biar tuntas.
Sudah sering saya dengar kasus plagiarisme. Apalagi kejadiannya di
pucukpucuk peradaban; kampus. Ini miris. Plagiarisme jadi lakon intelektual.
Saya kira pasalnya bukan soal pengetahuan semata, tapi etika intelektual.
Soal etika intelektual juga soal iklim intelektual. Banyak kasus
plagiarisme tumbuh karena tidak ditunjang iklim yang baik. Contoh kecil ada
beberapa kawan yang saya tahu melakukan plagiarisme karena hidup di iklim
intelektual yang buruk. Saya duga mereka melakukan itu karena tidak ditunjang
wawasan literasi yang baik. Akibatnya mental meniru sudah jadi budaya.
Mental meniru saya kira sudah jadi urusan bawaan yang integral
dari bangsa pasca kolonial. Banyak ahli menyitir soal mentalitas bangsa bekas
jajahan. Hampir semua lini jadi medan tiruan. Semuanya hasil jiplakan. Yang
soal kalau tidak ada proses daur ulang di dalamnya. Tidak ada usaha refleksi
disertakan. Makanya mandiri itu penting. Mau mengambil apaapa yang dipunyai.
Mengolahnya jadi hal yang baru. Dengan usaha sendiri, tenaga sendiri.
Jenis plagiarisme bisa berlapis. Lapis paling ringan ada yang
bilang plagiarisme minimalis. Model ini ditampakkan dengan cara mengambil ide,
gagasan, atau pikiran melalui pengungkapan bahasa yang lain, bahasa yang
berbeda. Ini masih diragukan apakah masuk kategori plagiasi.
Yang kedua, plagiat jenis parsial. Model ini memadukan beberapa
sumber dengan penggabungan menjadi bentuk baru. Walaupun ada ada unsur
kreatifitas di dalamnya, tapi tetap tidak mengubah konten.
Plagiat berat adalah plagiat yang paling gampang ditemukan.
Bahasa, ide, ataupun gagasan tak berubah sama sekali. Plagiator hanya
memindahkannya belaka. Tanpa menyebut dari mana sumbernya. Ini model yang
sering banyak orang lakukan.
Plagiasi saya kira bisa jauh ditarik di masa mitosmitos. Mitos
Prometheus saya kira contoh bagaimana plagiasi atas ide ilmupengetahuan
diwartakan. Atas nama ilmupengetahuan, Prometheus dikutuk karena mencuri api
pengetahuan dewa tertinggi sebelum membagibagikannya kepada manusia. Akibatnya
Prometheus dikutuk seumur hidup. Sanksinya abadi berupa cabikan patukan burung
nasar di hati dan jantung bertahuntahun lamanya.
Plagiasi Prometheus adalah aksi pemberontakan. Tindakan yang
diarahkan untuk melawan dominasi dewadewa. Pencuriannya dilakukan atas dasar
semangat pencerahan kepada umat manusia. Dari kacamata dewadewa, Promotheus
adalah pencuri ilmupengetahuan, tapi di mata manusia, dia adalah pahlawan yang
memberikan terang cahaya ilmu.
Saya khawatir di balik pelarangan plagiasi, ada dominasi yang
ingin kukuh berdiri. Suatu sistem yang butuh pengakuan. Wewenang yang tak ingin
bergeser. Jadi ini hanya seolaholah soal orisinalitas, soal sumber, ide,
gagasan, yang semuanya dijunjung untuk satu tujuan; kekuasaan.
Tapi, itu hanya dugaan saya saja. Sampai di sini plagiasi, yang
berarti menculik itu, semua orang sepakat adalah tindakan yang sewenangwenang.
Aktifitas kejahatan yang tidak etis. Kalau saja, ini hanya soal siapa dahulu
menemukan apa, siapa yang lebih orisinal, dan dari mana ide gagasan itu
ditemukan, saya kira tidak sesederhana itu plagiarisme.
Plagiasi jadi genting kalau memang suatu komunitas sudah melek
literasi. Itu mengapa plagiarisme jadi marak, soalnya literasi di sekitar kita
belum jadi obrolan. Belum jadi yang penting.