Langsung ke konten utama

Menyoal Pelarangan Belok Kiri Fest

Di Jakarta, barubaru ini heboh soal pelarangan Festival Belok Kiri oleh Pusat Kesenian Jakarta. Alasannya, dikutip dari Tempo.co, kegiatan yang mau digelar 27 Februari sampai 5 maret 2016 ini, belum mengantongi surat ijin. Terkuak saat suratijin diurus, Polda Metro Jaya menunjukkan beberapa surat dari berbagai oganisasi masyarakat yang melarang acara itu digelar.

Sebelumnya, versi Agnes, yang mewakili penyelenggara, surat ijin sudah sempat dimiliki. Hanya saja menurut pihak  PKJ masih perlu mendapatkan surat ijin dari pihak kepolisian. Dari pengurusan selanjutnya inilah baru diketahui ternyata ada surat aduan yang melarang kegiatan yang dimaksud.

Festival Belok Kiri belakangan ini banyak menyedot perhatian di beberapa media sosial, terutama kaum muda. Dari laman Facebooknya, festival ini dibuat untuk mengangkat kesadaran terhadap praktikpraktik Orde Baru berupa pelanggaran HAM, kekerasan negara terhadap masyarakat, ketidak adilan sosial, diskriminasi, dan pembelokkan sejarah.

Aksiaksi pelarangan semacam ini kalau mau dibuat daftarnya bakal panjang. Dan uniknya, selain wacana keagamaan, isuisu yang berkaitan dengan sejarah Tanah Air juga jadi incaran pelarangan. Apalagi, kaitannya dengan peristiwa 65 dan komunisme, di semesta kesadaran bangsa masih dianggap sebagai kosakata yang haram.

Ini menandai betapa negara melalui perangkat hukum dan penegaknya belum mampu menjamin kebebasan  dan hakhak berserikat warganya untuk menyampaikan pendapat. Padahal secara undangundang, hal ihwa semacam itu sudah dijamin. Di sini, dari kasuskasus seperti ini, jadi simptom negara  inkonsisten terhadap aturan mainnya sendiri.

Yang mengkhawatirkan, justru negara di dalam konteks kekuasaannya, memanfaatkan sejumlah badan penegaknya melakukan upayaupaya preventif agar terjamin keamanan dan ketentraman. “Keamanan” dan “ketentraman,” dua kosakata yang sarat perspektif. Mengacu Zlavoj Zizek, dua kata itu jadi point de caption. Istilah ini merujuk bidang ideologis yang artinya tarik menarik di antara dua kepentingan. Bagi negara, “keamanan” dan “ketentraman” digunakan bagi situasi tanpa perlawanan, sedang bagi aktivisme politik tertentu itu bisa berarti keadaan yang menjamin kebebabasaannya.

Begitu pula kasus Belok Kiri Festival, “kiri” jadi diksi yang diperebutkan. “Kiri” di kesadaran bangsa Indonesia tidak sekedar sikap politik yang menandai semangat progresif, namun juga mengandung metafora yang muram. Pengertian yang terbangun  di dalamnya setua sejarah bangsa yang pernah mengalami konflik ideologi.

Sementara “kiri” juga bermakna semangat kebaruan untuk mau melihat dengan jujur seperti apa sejarah itu dibentuk. Di bangsa ini, “kiri” bukan selalu berarti sikap politik revolusioner yang pernah diadopsi PKI, melainkan punya semangat pembaharuan. Suatu sikap yang secara universal sama dengan tujuan dibentuknya negara.

Karena itulah, perlu ada festivalfestival, pertemuanpertemuan, rapatrapat, forumforum, sebagai media semangat pembaharuan digalakkan. Dan, ini yang jadi metonimi sebagai kerjakerja kebudayaan. Namun malang, yang namanya metonimi sering jadi perkara. Bukan karena persetujuan atau ketidaksetujuan, melainkan karena absennya pengetahuan.

Namun, negara nampaknya jadi anti kebudayaan. Begitu juga sikap Pusat Kesenian Jakarta. Rancu kiranya pusat kesenian ikut serta menghalanghalangi kegiatan serupa festival. Padahal kegiatan semacam itu bisa jadi suatu alternatif bagi kesenian yang dirasa agak hiper. Juga, suatu hipokrisi bila itu dilakukan atas dasar kebudayaan.

Kalau boleh gamblang, sikap kebudayaan yang anti kebudayaan nampaknya masih bawabawa “kasus lama.” Ini soal paradigma kebudayaan. Visi kebudayaan, juga kesadaran yang menyertainya. Tidak afdol kiranya jika negara tidak menyediakan gelanggang terbuka agar dialektika kebudayaan berproses. Bukankah dari situ bisa muncul tesistesis baru yang jadi tunas. Suatu yang bisa memberikan pengertian baru tentang sejarah indonesia.

Akhirnya, suatu bangsa tidak akan besar jika masih berkutat dengan aksi laranglarang. Belum bisa menjamin warganya menggunakan hak dasarnya sebagai mahluk berserikat. Juga, naif kiranya masih mengkhawatirkan suatu ide berkembang. Mau pintar bagaimana,  jika seorang anak kecil dilarang naik sepeda. Kapan majunya? Begitulah, negara kerap jadi The Father, orang tua yang penuh bahasa imperatif daripada naratif.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...