Kelas menulis PI ramai. Seperti biasa. Cuman kali ini tempatnya
berbeda. Sekarang di Unhas. Di tepi danau, di pelataran sebuah gedung.
Awalnya agak bingung. Kawankawan repot. Mencari tempat pertemuan.
Sebabnya sejak awal hanya disebut danau Unhas.
Tapi yang sms langsung tahu. Di gedung IPTEK tempatnya.
Ini kelas ketiga. Sebahagian sudah dari awal berkumpul. Beberapa
malah datang dari sekretariat di dalam kampus. Mereka anakanak fakultas
tehnik. Mereka peserta baru. Yang lain mukamuka lama.
Agak lama kami menunggu yang lain. Maklum ini pertama kalinya di
Unhas. Sebelumnya di sekretariat PI. Yang belum tahu, sekretariat PI sebenarnya
TB Paradigma Ilmu. Di Alauddin, Pabbentengang.
Di Unhas lumayan bagus. Pemandangannya indah. Sebab di pinggir
danau. Cuman agak bising suarasuara yang lain. Banyak kelompok mahasiswa yang
juga di situ. Rapat organisasi barangkali, mereka banyak. Syalnya birubiru.
Saya duga mereka anak palang merah. Entahlah.
Kelas berjalan alot. Hampir semua membawa tulisan. Hanya saya yang
tidak. Sanksinya jelas, bagi yang tidak, minggu depan dua tulisan harus
disetor. Saya siap. Lagian saya punya banyak stok tulisan. Jadi minggu depan
aman.
Tulisan kawankawan ratarata bagus. Saya pikir semuanya tahu itu.
Cuman ada beberapa koreksi yang perlu. Pertama kesalahan ejaan. Ini lumrah.
Saya kadang sering. Kawankawan malah lebih sering. Jadi banyak yang salah.
Akhirnya mesti diperbaiki.
Kedua hampir sama dengan yang pertama. Kesalahan ketikan. Ini juga
lumrah. Ada beberapa tulisan yang salah saya dapati. Akhirnya diperbaiki. Mudahmudahan
tidak terulang kembali. Ini masalah dasar. Yang paling elementer.
Kalau dilihat masih banyak yang bingung. Terutama masalah ejaan
yang disempurnakan. Ada satu dua peserta yang sulit membedakan bahasa lisan dan
tulisan. Dua hal itu sebenarnya berbeda. Bahasa lisan lebih lugas. Bahkan bisa
blakblakan. Bahasa tulisan lebih tersirat. Makanya perlu kesabaran.
Itu yang sering banyak lupa. Kesabaran. Menulis berarti mau
bersabar. Menahan ego. Mengendapkan emosi. Kadang banyak yang lupa. Emosi
jangan sampai bermain. Itu bahaya. Tulisan malah jadi ambisius. Tidak objektif.
Justru subjektif.
Makanya perlu mau pelanpelan. Tulisan tak ada yang langsung jadi.
Di balik karya tulis ada sabar yang berlipatlipat. Itu rahasianya. Setidaknya
menurut saya. Kata lain setiap satu tulisan berarti sepuluh kesabaran. Dua
tulisan duapuluh kesabaran. Tiga tulisan tigapuluh kesabaran. Seterusnya begitu.
Bayangkan tulisan yang sabar. Hasilnya pasti jernih. Karena
ditunjang dengan berkalikali koreksi. Berkalikali pembacaan ulang. Ini artinya
ada evaluasi. Ada editing. Mulai dari kesalahan ketik sampai kesalahan argumen.
Kalau sudah begitu insyaallah. Tulisan itu bernas.
Ketiga, argumentasi. Ada tulisan yang saya pikir kurang
argumentatif. Ini kadang karena tatanan pikir yang rusak. Argumentasi yang baik
pikiran yang lurus. Logis. Rasional. Paragraf yang baik paragraf yang lurus.
Runut. Ini karena tatanan pikir beres.
Keempat soal sudut pandang. Ini salah satu yang menentukan. Semua
bisa menulis kasus bom jalan Thamrin. Tapi jarang yang punya ceruk landai.
Maksudnya ruang kosong yang luput. Carilah itu. Ruang kosong yang banyak orang
abaikan. Itulah banyak ulasan tentang sepatu polisi. Pakaian polisi yang mahal.
Ledakan bom sudah biasa. Life style polisi di lapangan yang jarang. Itu
sudut pandang. Dari mana matamu melihat.
Tapi yang membuat tersentak K Niart. Dia guru saya. Diamdiam dia
tidak tahu. Dulu dia sering mengoreksi tulisan saya. Itu dulu. Bahkan sampai
sekarang. Di forum dia mengoreksi beberapa tulisan. Dia banyak ulas soal aturan
menulis. Terutama yang elementer; penggunaan imbuhan dan awalan.
Dia bilang dia pending mengirim tulisan di media. Dia ingin
kembali ke dasar. Itu yang membuat saya tersentak. Yang lain tak menyangka, di
situ ada yang kritis. Bahwa perlu evaluasi. Mari menengok kembali. Yang dasar,
yang kadang lupa.
Saya tak tahu apa maksud dasar di situ. Dia tak jelaskan panjang.
Tapi saya duga, itu penting. Itu genting. Terutama bagi penulis yang lama
belajar. Kadang perlu diingatkan. Bahwa menulis sebenarnya menengok terus ke
dasar. Melihat kembali dari mana kau berniat. Untuk apa menulis. Dengan apa
menulis. Katakata apa yang kau pakai. Ini yang dasar barangkali. Menurut saya
dari yang dibilangnya.
Saya kadang jumawa. Itu salah. Itu tidak layak. Yang
dasariah dari itu tak ada penulis yang sempurna. Yang ada penulis yang selalu
mencoret kembali katakatanya. Kalimatkalimatnya. Tulisantulisannya. Sewajibnya
memperbaiki yang salah. Bukan menguatkan yang baik. Itu dua yang berbeda.
Memperbaiki yang salah berarti mau belajar. Menguatkan yang baik
berarti cepat puas. Memperbaiki yang salah berarti mengakui belum sempurna.
Menguatkan yang baik belum tentu sempurna. Itulah saya merasa harus memperbaiki
yang salah. Jumawa berarti menganggap sudah baik. Seharusnya mengakui yang
salah itu yang etis.
Kembali ke dasariah artinya mengingat. Yang kurang. Yang awal. Yang
pertama. Tulisan yang pertama pasti jelek. Pasti kacau balau. Jadi ibarat
cermin. Lewat cermin diperhadapkan kembali kepada kesalahan. Agar kita tahu
yang mana yang kurang. Yang mana yang salah. Agar ada proses. Ini yang penting.
Yang dasar bukan berarti berbalik kebelakang. Itu berbeda.
Dasariah jauh lebih dari itu. Ini soal kedalaman. Melihat kembali ke bawah.
Ibarat sumur. Seberapa dalam lubang yang digali. Seberapa banyak air yang
ditampung. Semakin dalam semakin banyak daya tampung air. Yang dasar artinya
melihat ke lubang yang kita bikin. Sudahkah banyak air di sana.
Yang dasar juga masalah etis. Untuk apa menulis. Untuk siapa
menulis. Ini pertanyaan yang harus pas jawabannya. Sebab banyak tulisan yang
dibentuk karena tujuannya. Yang jadi soal kalau tulisan jadi heroik. Itu
berarti karena ingin dipuja. Bisa juga tulisan jadi romantik. Yang ini karena
masa lalu. Tujuan itu penting bagi nasib tulisan. Karena itu katakata bisa
dipilih. Tidak mungkin memilih kata berat untuk pikiran yang ringan. Intinya
lihat konteks.
Banyak yang bisa ditulis dari kelas menulis PI. Tapi saya justru
menulis hal yang dibilang K Niart. Bagi saya sikap yang dia ambil adalah sikap
pembelajar. Ini yang harus dicontoh. Terutama saya.
Kemudian ada yang lain. Soal bentuk cerpen dan esai. Saya sempat
berdiskusi dengan Ecce. Panggilan Andi Reski JN. Saya tak tahu apa itu JN.
Bukan itu yang penting. Yang penting obrolan saya. Di situ kami kembali
mempersoalkan apa batasan esai dan cerpen. Bagaimanakah kalau ada esai tapi
memuat unsur cerpen? Misalkan tulisan saya Malaikat Bukubuku. Saat saya anggap
esai. Tapi ketika dibaca, K Niart justru bilang ini bisa juga disebut cerpen.
Saya dan Ecce jadi bingung. Ini perlu dibahas kembali. Menurut saya penting.
Juga ada tanggapan dari Jusnawati. Hubungannya kritik saya
terhadap cerpen Muhajir. Dia tidak sepakat kalau saya bilang penting arti
sebuah nama. Apalagi dalam cerpen. Bagi dia tanpa nama karakter tokoh bisa
dengan sendirinya terungkapkan. Jadi Jusna memilih menulis cerpennya dengan
kata Aku sebagai tokohnya. Tanpa nama. Hanya Aku saja.
Itu juga bisa disoalkan lagi. Bagaimanakah penting suatu nama
dalam cerpen. Apalagi dalam karya sastra. Apakah bisa tanpa nama. Ataukah nama
ihwal yang krusial. Tanpa itu tokoh jadi anonim. Entahlah. Ini juga penting.
Harus segera dibahas.
Terakhir tentang Kala. Saya mengimbau kepada semua. Kala butuh
kontributor tulisan. Awalnya diniatkan menampung tulisan kawankawan. Di satu
sisi saya merasa penting kawan memang berniat menulis untuk Kala. Saya punya
semangat besar kepada Kala. Walaupun itu selembar kertas sederhana. Besokbesok
ini bisa jadi penting. Kalau konsisten. Disiplin.
Sampai hampir magrib diskusi alot. Kami bertukar pendapat.
Saling bertanya. Kemudian dijawab, menjawab. Sore tinggal sebentar. Kami akhiri
segera. Kelas literasi ramai. Seperti biasa. Bergegas pulang. Yang beda, minggu
depan tempatnya di UNM. Di pelataran gedung Phinisi. Di pinggir jalan A.P
Pettarani.