Langsung ke konten utama

kala bunker harus impor beras

Kali ini mau bilang apa lagi? Musim paceklik datang. Bunker diserang kelaparan. Lumbung beras kosong. Melompong.

Sudah dua hari tandatanda itu tercium. Kantung plastik tempat beras disimpan jauh lebih kresek bunyinya. Kalau tong kosong nyaring bunyinya, bunyi kresekkresek tanda beras menipis.

Seperti Indonesia, bunker kurang tanggap menghadapi keadaan. Tidak ada langkah taktis diambil untuk mengantisipasi. Orangorang dì bunker sibuk urusan masingmasing. Soal perut jadi terbengkalai. Kalau ini situasi perang, tak perlu kongkalikong dengan sekutu, bunker dengan mudah ditaklukkan.

Dua hari belakangan, bunker dikunjungi mantan penghuni lama. Pertama, Andank. Dia sudah anumerta. Sudah pindah medan juang. Dia datang di bunker karena urus keluarganya yang sakit. Di bunker dia menginap dua malam. Urusan perut Andank yang tanggung. Penghuni bunker selamat.

Andank tibatiba harus pulang. Sepupu yang dirujuknya di rumah sakit, di waktu shubuh meninggal dunia. Pagipagi buta dia ditelpon. Dia harus segera ke rumah sakit. Pagi itu juga dia kembali ke Majene. Mengantar sepupunya pulang.

Kami sebenarnya masih rindu. Tapi boleh buat apa? Keadaan mengharuskan Andank segera pulang. Padahal kami lama tak berkoloni bersama. Dulu dia salah satu teman koloni. Hidup susah versi kaum miskin mahasiswa. Punya duit makan bersama. Krisis datang utang bersamasama.

Setelahnya di hari berikutnya, Ilman datang. Dia juga bagian koloni. Sekarang sudah bukan. Dia sudah punya bene. Juga sudah punya anak. Tidak mungkin bertahan hidup di bunker. Pagipagi dia datang. Tak disangkasangka.

Yang bikin senang, dia mentraktir seluruh penghuni bunker sebungkus nasi kuning. Ini kebiasaannya dari dulu kalau punya fulus lebih. Barangkali dia kasihan dengan penghuni bunker. Maklum dia juga pernah mengalami keadaan yang sama. Karena itulah dia menyelamatkan kami semenjak pagi dengan nasi kuning. Untuk sementara aman. Kami kenyang.

Ilman tak lama di bunker. Siangnya dia pulang menjemput istrinya. Kami tenang saja, lagian itu sudah jadi tugasnya. Karena kenyang kami sulit bergerak. Ilman pulang dengan pahala yang besar. Membahagiakan orangorang yang paceklik.

Tak tahu bintang apa yang jatuh. Selama dua hari bunker bisa bertahan. Selalu saja ada yang bisa dikunyah bikin perut penuh.

Cuman malang, perut yang kenyang bikin akal jadi pendek. Kami kurang responsif menangkal musim paceklik. Baru tadi siang kami sadar, lumbung beras ternyata hampa tanpa sebiji pun beras. Celaka tiga belas, kami sedikit panik. Ke mana bunker harus mengimpor beras. Negaranegara yang kami target disinyalir sudah memboikot bunker. Toh kalau ada, negara yang bersangkutan juga paceklik.

Saya tak tahu tadi siang apakah beberapa penghuni bunker sudah makan. Saya dan Ridho keluar lebih awal. Sementara yang lain memilih tinggal seperti cacing di bunker. Malamnya saya langsung ke daerah Tamalanrea mau dengar diskusi soal pemikiran Simone de Beauvoir. Sebelum jam duabelas saya memilih pulang. Di perjalanan pikiran saya melayanglayang ke bunker, pasti saat tiba penanak nasi masih kosong.

Saking paceklik, di FB, Muhajir sudah posting foto penanak nasi dengan buku Nietzsche karangan St Sunardi. Katanya kalau belum terisi beras, besok dia punya tulisan soal penanak nasi yang kosong dan juga Nietzsche dalam satu esai. Logika apa yang mau dia pakai, Nietzsche dan penanak nasi dalam satu tema. Saya tak tahu. Entahlah. Kita tunggu saja apa besok tulisannya nongol di lini masa FB.

Tapi sejak sampai di bunker, Ujhe tibatiba datang. Entah negara mana dia kunjungi. Di tangannya ada sekantung beras. Saya taksir tak cukup satu liter. Yang lain bilang, bisa ditaktisi dengan memperbanyak gorengan untuk menutupi keterbatasan nasi yang masak. Jahir yang sibuk lapakan dengan gesit langsung menanaknya. Kami senang, bisa bertahan satu malam.

Sekarang kami sedang menunggu nasi masak. Ada rapat dadakan sempat terjadi. Agendanya soal impor beras. Bunker harus menggalakkan kerja sama dengan negaranegara tetangga. Ini penting. Juga genting.

Saat kami menunggu nasi, di kepala masingmasing sudah menyusun rute kerja sama. Negara apa saja yang akan kami kunjungi. Besok pagi, agenda pertama di bunker, sebelum lapakan dibuka, semua harus bergerak ke negara kaya beras. Kalau perlu kita perang demi keberlangsungan dapur bunker. Biar bagaimana pun penanak nasi tak boleh kosong. Sangat tidak mungkin nanti kami menanak bukubuku. Kami masih waras, buku itu makanan rohani. Kalau beras makanan biologis.

Tapi, tunggu dulu, kampret!! Omongomong ternyata penanak nasi tidak dalam kondisi on. Jahir lupa menekannya. Puki mak!!!


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...