Langsung ke konten utama

Dari Mana Membangun Kritik Sastra


Sejarah kebudayaan Indonesia, tidak sedikit yang bilang sama halnya sejarah perkembangan sastra. Kebudayaan dan Sastra, di sejarah awal Indonesia bisa saling menyampir. Saling mengisi. Atau bahkan sulit dibedakan. Yang terakhir akibat pandangan yang bilang kalau sastra adalah cermin kebudayaan masyarakat. Sastra tidak berbeda dengan norma atau tradisi yang tumbuh di tengah masyarakat, sehingga kalau mau bilang kebudayaan suatu masyarakat, berarti harus mengikutkan sastra di dalamnya.

Ada juga penolakan bahwa sastra merupakan perkembangan yang khas dari kebudayaan. Sastra menempati posisi yang unggul dari hanya sekedar tatanan nilai anutan masyarakat. Justru sastra memiliki kekebalan dari cemar kebudayaan. Sastra-lah yang membentuk nilainilai. Posisinya melampaui yang manifes.

Karena itulah lahir kritik sastra. Suatu cabang ilmu sastra yang lahir untuk memilah baik buruknya suatu karya sastra. Atau memberikan justifikasi suatu karya dapat disebut sastra atau bukan.

Kritik sastra, di Indonesia disebutsebut tidak berkembang baik seperti di dunia barat. Kritik sastra banyak nian bersentuhan dengan politik. Malah politik lebih dominan daripada sastra itu sendiri. akibatnya, pertumbuhan sastra di Tanah Air tak bisa lepas dari variabel apa dan di mana dia tumbuh.

Tapi perkembangan yang demikian, justru memberikan dampak yang berkepanjangan terhadap perkembangan sastra selanjutnya. Perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane, Manikebu dengan Lekra, dan yang paling dekat dari kita antara Komunitas Salihara dengan Boemi Putra, merupakan titiktitik sejarah yang terus membangun garis pemisah antara pelbagai pandangan sastra yang berkembang.

Sejarah sastra Indonesia pada hakikatnya adalah pertanyaan besar yang selama ini masih relevan diperbincangkan: dari mana datangnya kebudayaan Indonesia? Atau pertanyaan paling prinsipilnya yakni apa sebenarnya kebudayaan Indonesia itu?

Dua pertanyaan besar inilah yang sampai saat ini terus mendasari kritik sastra bahkan sampai membentuk suatu pola pemikiran yang khas dan jamak Namun , bagaimana sebenarnya kritik sastra itu bermula? Dari perkembangannya ada dua bentuk kritik sastra. Kalau mau pakai bahasa sederhana, yang pertama kritik yang menaruh perhatian terhadap isi, dan yang kedua cenderung memberikan perhatian kepada bentuk.

Dua pola ini punya sejarah panjang. Di mulai dari kritik Platon terhadap sumber keilmuan selain filsafat. Bisa dibilang kritik sastra disulutdari perendahan Platon terhadap sastra daripada filsafat. Konteksnya punya variabel macammacam. Variabel pertama diacu dari pandangan Platon tentang Philosofer-King.Platon, melalui  konteks negara Polisnya, memberikan kepercayaan hanya kepada filsuf sebagai kelas ideal. Selain filsuf tak ada profesi yang palig agung. Hanya filsuf-lah yang mampu memimpin, sebab dia punya kualitas ideal sebagai manusia.

Sementara seorang sastrawan, adalah tukang replika. Kata Platon, sastra hanya mengimitasi imitasi. Hanya mengulang apa yang sudah terulang. Tidak sejati. Bentuk yang dicandra sastrawan hanya bayangbayang. Sastrawan hanya mereplikasi replika dari bentukbentuk ideal. Lewat panggung, puisi hanya numpang dibacakan, lewat panggung, teater hanya mengulang. Panggung tidak langsung, dia dunia kedua. Palsu. Begitu kirakira pandangan Platon.

Karena itulah Platon emoh terhadap sastra. Di mata Platon sastra menduduki posisi nomor dua dalam hirarki keilmuannya setelah filsafat. Sebab intinya, sastra hanya bermain pada gaya bahasa, isi kadang kabur akibat bahasa yang mendua. Sastra hanya berusaha rethoris saja.

Tapi, Platon tidak  bisa selamanya jumawa. Aristoteles punya cara pandang lain. Muridnya, melalui rhetorika, membangun kritik. Sastra justru membantu, tidak selamanya yang ideal (universal), jadi titik pusat. Partikularia (kenyataan) mampu juga membawa manusia kepada suatu nilai. Lewat suatu gaya bahasa yang indah, justru kebenaran akan mudah diterima.

Kirakira begitulah awalnya, kritik sastra dimulai. Dua nama besar ini agak susah mau disingkirkan. Juga, perkembangan sastra Indonesia. Agak susah bila tidak dikatakan sejarah sastra sebenarnya sejarah persitegangan.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...