Bisa dibilang tak ada yang problematis di kelas menulis PI. Pun
kalau ada hanya soal beda cerpen dan esai. Itu juga sudah terang. Cuman
beberapa tulisan punya kesan ambigu. Entah esai entah cerpen. Tapi Muchniart
bilang, esai punya dua ragam; esai deskriptif dan esai tajuk. Esai deskriptif
tulisan yang bergerak dengan narasi, menggambarkan suatu keadaan, bendabenda,
peristiwa, atau kondisi kejiwaan. Esai tajuk, tulisan yang memuat sudut pandang
penulisnya atas suatu topik soal. Sedang cerpen jelas, tulisan yang memuat
keberadaan tokoh, plot, sudut pandang dsb.
Pengetahuan di atas penting. Terutama bagi penulis pemula.
Selain itu ada soal teknis yang mulai harus dipertimbangkan.
Hubungannya dengan jumlah kawankawan yang terlibat. Dua mekanisme forum yang
sering dijalankan; menarasikan karya tulis dan kritik karya tulis. Cara
bekerjanya di forum, yang pertama kawankawan akan diberikan kesempatan
mendeskripsikan tulisannya, mulai dari motivasi dasar menulis sampai isi
tulisan. Kritik karya tulis, sesi yang dipakai untuk mengintrogasi tulisan
kawankawan secara bergilir.
Masalahnya, dua mekanisme ini tak efektif seiring dengan
bertambahnya jumlah anggota. Terutama mekanisme yang kedua. Waktu tak lagi
memadai untuk memberikan kesempatan kawankawan dapat berbicara atas tulisan
yang dikritik. Apalagi yang akan jadi objek tulisan yang sekira 20 jumlahnya.
Hitunghitungannya; dua jam diskusi dibagi dua sesi, dan sesi terakhir harus
saling mengintrogasi tulisan, rasarasanya tak cukup.
Problem ini jadi agak genting dua pekan belakangan. Banyak tulisan
yang tak sempat diulas. Di sisi lain, saya pribadi ingin menaruh perhatian
lebih kepada kawankawan yang masih baru. Bukan soal tulisan saja, melainkan
perhatian yang bisa mendongkrak semangat mereka agar terus menulis. Saya
pribadi berkeinginan peserta yang terlibat punya tradisi menulis yang baik,
intens, dan kontinyu. Tiga hal ini saya kira harus jadi targer terutama anggota
baru.
Makanya, mulai pekan sebelumnya, tulisan yang ingin diintrogasi
sudah harus diupload minimal sehari sebelum kelas dibuka. Aturan ini disepakati
untuk meminimalisir kekurangan mekanisme yang dipakai selama ini. Juga, dengan
cara dipublish di media sosial, kritik dapat berlangsung lama dan terbuka bagi
siapa pun yang membacanya. Sekopnya yang lebih luas inilah yang diharapkan
dapat merangsang perbaikan demi perbaikan tulisan yang masuk.
Ada saran dari Sulhan Yusuf, lebih efektif kalau tulisan dipublish
saja di grup Paradigma Institute. Tujuannya agar lebih mudah mengidentifikasi
tulisantulisan yang masuk. Juga agar kawankawan tidak ribet mondarmandir dari
wall satu ke wall lainnya. Saya kira ini harus segera dilakukan.
Kala, mini buletin kelas menulis PI sudah sebulan terbit. Empat
pekan tanpa jeda. Ini bukan prestasi. Agaknya sudah mulai menemukan sejumlah
tantangan. Pertama dimulai dari alat produksi yang masih belum jelas, sampai
soal penulis yang mau menghibahkan tulisannya. Selama ini Kala masih khusyuk
saya tekuni. Tiap akhir pekan harus mengumpulkan dan mengedit tulisan. Tapi,
tantangannya tulisan minim masuk. Kecuali sejumlah karya sastra yang dikirim oleh
beberapa penulis (bahkan ada penulis dari Jeneponto yang mengirim langsung),
esai yang jadi tulisan halaman pertama dan kedua jadi minim.
Pekan keempat, selain Ishak, tak ada yang mau mengirim tulisan.
Untung ada sejumlah esai Muhajir yang mau disumbangkan. Akhirnya masalah
sedikit beres dengan menyisakan satu kolom lowong. Ini celah kritisnya, tulisan
macam apa yang panjangnya pas dimuat di situ. Sampai siang kolom itu tidak
terisi. Masalah belum selesai betul.
Waktu hampir pukul tigabelas, kolom yang kosong masih terpampang.
Tidak mungkin Kala terbit dengan menyisakan satu kolom yang bolong. Berharap
tulisan dari kawankawan tidak mungkin. Lagian ini hanya satu kolom kecil dari
setengah halaman yang belum terisi. Toh kalau diminta jangan sampai kepanjangan.
Tanpa pikir lama, saya ambil sikap. Saya tulis sebisanya. Esai pendek yang
mencukupi kolom yang tersisa. Tak banyak selang waktu jadilah tulisan bertajuk
Pentingnya Kesadaran Berbahasa. Kala siap cetak. Masalah Beres.
Selama empat pekan Kala dicetak pakai print dan beberapa lembar
kertas panjang. Setiba di lokasi percetakan (sebenarnya sekretariat L****)
print kurang maksimal. Kertas pun ternyata tak ada. Karena kepepet karton pun
dipakai sebagai bahan cetakan. Tak ada rotan akar pun jadi. Tak jadi soal,
sebentar juga akan digandakan lewat mesin foto kopi. Makanya hasil cetakan Kala
pekan ini di bawah standar. Copyannya juga kurang maksimal.
Yang juga mesti diperhatikan kembali, ihwal pertofolio kawankawan.
Sampai saat ini hanya baru Ali dan Ari yang punya. Kawankawan yang lain
barangkali lupa. Jangan sampai abai. Ada niat, kumpulan tulisan yang
dipertofoliokan menjadi bahan penilaian sejauh mana kemampuan menulis
berkembang. Bukan dibandingkan dengan tulisan sesama peserta, melainkan tulisan
kawankawan sendiri di tiap minggunya. Ini cukup adil. Lawan kawankawan adalah
kawankawan sendiri. Di tiap tulisannya.
Terakhir, kelas diumumkan kembali gelar di sekretariat PI. Seperti
biasa kelas dibuka jam tiga siang.
Sore datang dan lalu jelang. Kala jalan padat, mukamuka tirus
lenggang dan pulang. Sepersekian malam datang. Langit jadi gelap. Di
masingmasing bilik, tinta masih basah. Jangan hilang asa, tilik satusatu. Tulis
jangan siasia…